Selasa, 08 November 2011

Saya Pernah Menjadi WNA


SETTING catatan harian saya kali ini masih se-TKP dengan tulisan sebelumnya. Yaitu sebuah bank swasta nasional yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat kerja saya. Kesitulah saya menuju setiap kali setor tunai. Biasanya saya lakukan disaat istirahat siang.

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Tiga ratus ribu (atau sering kurang dari itu) sebulan atau kadang tiga bulan sekali, akhirnya lumayan. Untuk menyiasati agar tidak sedikit-sedikit saya ambil, sejak awal memang saya tidak meminta kartu ATM. Dulu saya membuka rekening sebenarnya di Rungkut, dekat tempat tinggal saya. Tetapi karena letak kantor cabang pembantu itu lebih dekat dengan kantor saya, kesitulah saya lebih sering bertransaksi.

Setahun lebih sekian bulan kemudian, buku tabungan saya penuh. Sekalipun tidak penuh uang, tetapi telah tiba saatnya ganti buku. Setelah tanya teman, ternyata untuk mengganti buku baru, saya tidak perlu ke kantor dimana saya buka rekening dulu. Di capem manapun bisa.

“Mau ganti buku,” jawab saya ketika seorang satpam membukakan saya pintu kaca.

Dengan sopan dia menunjuk ke sebuah tempat di sudut kiri depan. Lebih depan ketimbang deretan tiga orang teller. Pada papan dimejanya tertera; Customer Service.

“Selamat siang, pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa berhias senyum itu menerpa saya.

Setelah saya duduk manis didepan si customer service yang teramat manis itu, saya utarakan maksud saya. Ia meminta buku lama saya yang penuh sesak oleh catatan transaksi potongan pajak dan bunga yang tak seberapa, dibanding setoran yang tak tentu munculnya.

Setelah menerima buku tabungan, ia mencocokkan dengan data base  di komputer. Beberapa saat kemudian, ia memandang saya sambil mengernyitkan dahi. Oh, rupanya ia lupa-lupa ingat wajah saya. Sering orang menyangka saya ini artis yang sering nongol disinetron. Hehehe...

“Bapak WNA?!”

Saya tak siap mendapat pertanyaan itu.
Dan setahu saya, Lamongan, domisili saya sesuai KTP, belum memisahkan diri dari Indonesia. Juga, kalau data itu sampai menyangkut kota kelahiran saya; Jember-pun masih dalam wadah NKRI.

“Tetapi didata kami, bapak WNA,” si costumer service menyangkal keterangan saya.

Lhadalah. Makanya saya sering heran, setiap setor tunai yang tak seberapa itu, selalu saja saya dimintai biaya administrasi secara tunai. Tidak besar sih. Cuma 3000 rupiah per transaksi. Yang saya heran, lha saya setor untuk rekening saya sendiri kok dikenakan biaya. Tetapi karena saya memang baru kali itu punya rekening di bank, saya anggap memang begitu peraturannya.

“Maaf, pak. Kami tidak bisa memprosesnya disini. Bapak harus ke kantor dimana bapak buka rekeing ini dulu,” mbak CS itu berkata.

“Kantor capem di Rungkut sudah tidak ada, mbak. Saya tidak tahu pindah kemana.”

“Kalau begitu, bapak bisa ke kantor kami di Kendangsari.” ia menjelaskan.

Jelasnya, ini makin tidak jelas.


Besoknya saya ke Kendangsari. Manisnya wajah sang costumer service, sudah tak terlalu saya perhatikan. Feeling saya, urusan mengubah kewarganegaraan saya ini tidak mudah.

“Maaf, pak, atas kesalahan kami,” kata CS di Kendangsari.

Ya, tentu saya maafkan, batin saya.

“Begini, pak. Daripada mengubah status kewarganegaraan bapak yang makan waktu lama, lebih baik bapak membuka rekening baru. Dan nanti uang yang direkening lama dipindahbukukan ke rekening baru. Bagaimana, pak?”

Tentu saja saya setuju. Yang penting status saya aman. Uang saya juga aman.

Jadilah saat itu juga saya membuka rekening baru. Membuat data baru. Termasuk tentu saja ditanya nama ibu kandung. Juga membayar dua lembar materai. Baru setelahnya mbak CS yang ramah itu meminta KTP saya untuk difoto copy.

Ia memerhatikan KTP saya. “Lho, kok KTP Lamongan, pak?”

Perasaan saya tidak enak lagi.

“Maaf, pak. Dulu memang bisa membuka rekening di Surabaya pakai KTP luar kota. Tetapi peraturan baru, kami tidak diperkenankan begitu lagi, pak.”

“Lalu saya harus bagaimana, mbak?”

“Bapak harus membuka rekening baru di kota bapak.”

Wih, menjadi WNA ternyata kok urusan menjadi ruwet begini. Tetapi mau bagaimana lagi. Kalau saya berkeras menaturalisasi status WNA saya dengan menjadi warga negara Indonesia, tentu ini bukan dalam rangka sok nasioalis. Ini perkara uang! Sekalipun jumlahnya tak seberapa.

Setelah urusan kewarganegaraan saya kembali, dengan membuka rekening baru bukan di bank itu, saya ayem. Lebih ayem lagi ketika uang saya ketika menjadi WNA itu telah berhasil pindah tempat ke rekening baru. Di bank baru itu, saya kembali menjadi WNI. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar