SEBAGAI yang hanya perkemampuan cekak, ditambah sudah agak lama tidak berdiri di depan orang banyak, membuat rasa grogi datang tak diundang. Setegar-tegarnya kaki saya berdirikan, dengkul kothekan juga.
“Asssalamu’alaikum warahmatullaahi wabarokaatuh...”
Uluk salam saya itu dijawab suara gemuruh hadirin yang lumayan banyak. Ya, memang itu pengajian umum. Saking umumnya, sampai menutup satu sisi jalan umum. Yang tidak umum adalah, setelah uluk salam itu, mukaddimah yang semalaman saya hapalkan, tiba-tiba pergi tanpa pesan.
Titik panik mulai terpantik. Mau tak mau saya merogoh saku; cari kerpekan. Apesnya lagi, contekan yang saya tulis itu adalah draft kasar. Tulisannya laksana huruf pada selembar resep dokter. Ini dia, saya jadi kesulitan membaca tulisan sendiri. Saking groginya, ngawur tangan saya meraih mik yang sebenarnya sudah ada tiang penyangganya.
Anak-anak kecil dideretan depan mulai berulah,”Huuuu...” teriaknya seperti menyoraki penyanyi dangdut yang tiba-tiba lupa syairnya.
Sementara para hadirin-hadirat dewasa tetap duduk manis didepan saya yang nyaris nangis. Setelah menarik nafas, saya luncurkan kata pembuka seadanya. Secepatnya.
Setelah membacakan susunan acara, menuruni tangga panggung tubuh saya terasa limbung.Uiiisiiinnnn.....
Seorang bos stasiun televisi swasta, pada saat peresmian mengudaranya stasiun tv itu secara nasional beberapa tahun lalu, juga mengalami hal serupa. Dengan busana resmi, berjas dan berdasi, dengan disorot close up kamera, dan disiarkan secara live ke seantero Indonesia.
Berdiri ditengah panggung megah, beliau membuka pidatonya dengan uluk salam,
“Asmala....., as..., asmala.... , asmalaikum....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar