SAYA pernah mendapat hadiah celana panjang dari paman. Ia bukanlah celana baru. Ia hanya lungsuran semata. Bekas celana sekolah yang tidak dipakainya lagi. Warnanya putih bersih. Layaknya celana dokter.
Karena putihnya itu saya menjadi kurang PD memakainya. Ada saja yang mengatainya. Dibegitukan teman, tentu saya harus memutar otak agar saya dapat mengenakannya dengan nyaman. Caranya, sepotong celana itu harus saya hitamkan.
Membelilah saya sebungkus pewarna pakaian dipasar. Sesampainya dirumah, mulailah saya melakukan 'operasi wajah' kepada si celana. Terbayang diangan ia akan segera berganti warna. Harapan saya, begitu ia menjadi hitam, ia akan cocok dikenakan dengan paduan atasan apa saja. Sungguh, hanya segitu itu pemahaman saya atas cara berbusana.
Air dipanci mendidih sudah. Sebungkus pewarna saya larung kedalamnya. Diaduk sedemikian rupa didalam air yang terus saja saya jerang. Ketika air sudah menghitam, tibalah giliran si celana putih saya rebus. Diwolak-walik. Harapan saya kian membumbung. Celana panjang warna hitam akan segera hadir sebagai penjelmaan si putih yang tamat riwayatnya, di godok dalam kawah candradimuka bertabur pewarna merk Srigunting.
Setelah sekian menit dibegitukan, saya angkatlah si celana. Hasilnya? Ia menjadi abu-abu! Lengkap dengan wiru abadi yang pating njekithut. Sungguh makin tak pantas saya kenakan.
Begitulah, kenyataan memang kadang tak sesuai harapan. Diperlukan ilmu untuk meraihnya. Bukan sekadar asal rebus saja.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar