Sabtu, 01 Oktober 2011

Kaos Kaki Edwin





     ANAK SULUNG saya, Edwin, sudah kelas enam SD. Ia saya ‘hijrahkan’ dari LA (baca: Lamongan) ke Surabaya ketika masuk semester dua saat kelas lima. Dan alhamdulillah, sekalipun pindahan dari kampung, ia bisa mengikuti dan tidak ketinggalan pelajaran sekolah di kota. Walau tentu ada penyesuaian disana-sini.
     Penyesuaian itu antara lain ini; jam berangkat sekolah.
Kalau dulu di kampung, karena sekolah masuk jam tujuh, ia baru berangkat dari rumah jam 7 kurang seperempat. Disini, jam enam thet, ia harus sudah berangkat. Walau masuk kelasnya tetap sama; jam tujuh.
     Jam enam sudah harus berangkat, karena jam enam seperempat tepat dilaksanakan sholat dhuha secara berjamaah di sekolah.

     Berangkat lebih pagi, menimbulkan efek samping; sarapan juga harus dilaksanakan menyesuaikan. Dan kebiasaan si Edwin yang ikut terbawa ke Surabaya, setiap makan, selain sendok dan segelas air yang harus ada didekatnya, juga harus memegang remote control televisi. Baginya, sarapan tanpa nonton tivi bagai sayur tanpa garam.
     Urusan televisi ini yang sering bikin saya berlaku keras kepadanya. Dia saya larang menonton acara lucu-lucuan yang tidak memberi nilai lebih. Dagelan-dagelan yang tidak mencerdaskan. Ia saya ceraikan dengan si Opera van Java dan sejenisnya! Tidak boleh nonton Termehek-mehek dan sebangsanya. Nonton sinetron atau Infotanment, juga tidak boleh. Untunglah sejak sebulan lalu ada Kompas (tanpa ada huruf TV dibelakangnya. Karena ia adalah ‘hanya’ content provider?) Yang setiap hari selalu  menyajikan acara yang lebih ‘beradab’ ketimbang saluran lain. Karenanya, sungguh saya merindukan kenyataan bahwa Kompas akan benar-benar menjadi, sesuai tagline-nya; Inspirasi Indonesia.

     Kembali tentang Edwin;
Setiap sambil sarapan, acara yang selalu ditontonnya  adalah Lensa Olahraga di antv atau Sport7di Trans7. Untuk dua acara ini saya belum punya alasan untuk melarangnya. Seperti juga saya, Edwin juga gemar berita olahraga. Lebih-lebih yang memberitakan Persela. Rupanya sekalipun sudah di Surabaya, ia belum bisa melupakan si Laskar Joko Tingkir.
     Edwin begitu bangga akan namanya. Sebagai penggemar sepak bola, ia sering memiripkan nama depannya dengan kiper timnas Belanda Edwin van der Sar. Padahal namanya itu hanya kependekan dari nama saya. Hehehe…
     Asyik melototi berita olahraga, sarapannya jadi lamban dan kurang ngebut. Padahal jarum jam sudah nyaris menunjuk angka enam tepat.
     “Sudah, jangan nonton tivi melulu. Lihat jam itu,” saya mengambil alih remote control dan mematikan televisi.
     Edwin memang belakangan ini tidak seperti hari-hari pertama sekolah di Surabaya dulu. Dulu, jam enam kurang lima dia sudah tergopoh-gopoh berangkat. Takut terlambat, katanya. Beberapa hari ini dia terlihat lebih santai.
     Terlihat wajah Edwin sedikit kecewa ketika televisi saya matikan. Tetapi, saya pikir, sebagai orang tua saya kadang memang harus ‘kejam’. Lebih-lebih ia sudah kelas enam.
     Setelah menggosok gigi dan menyandang tas sekolah, saya lihat ia tak juga beranjak berangkat sekolah. Ia celingukan didekat rak sepatu.
     “Kenapa?” tanya saya.
     “Kaos kakiku mana?” tanyanya dengan wajah cemberut.
     Diburu waktu, mata saya secepat kilat ikut mencarinya.
     “Itu,” saya menunjuk sepasang kakinya yang sudah berkaos.
     Edwin menanggalkan cemberut dari wajahnya. Saya melihat, sambil mengayuh sepeda berangkat sekolah ia tertawa sendiri. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar