“KATA orang, presiden kita itu peragu
ya, kang?”
“Wah, gak tahu ya aku,” sahut kang
Karib.
“Lamban,” lanjut mas Bendo.
Kang Karib diam. Dan diam itu, dinilai
mas Bendo sebagai kelambanan pula.
“Kok sampeyan gak komentar, kang?”
protes mas Bendo.
“Komentar apa?”
“Ya misalnya tentang reshuffle yang
lamban ini.”
“Waduh, kamu kok makin tak sabaran,
nDo?”
“Geregeten aku.”
“Kenapa?” tanya kang Karib.
“Ya mestinya jadi pemimpin itu yang
cag-ceg, tidak klunah-klunuh begitu.”
“Hust, hati-hati kamu kalau
ngomong.”
“Lha, supaya pasti gitu lo, kang.”
“Terus efeknya apa buat kamu kalau
sudah ada reshuffle? Hm?”
Mas Bendo diam. "Iya ya, kang. Sepertinya kok gak ngefek ya buat aku," ujar mas Bendo kemudian.
“Begini, nDo. Ibaratnya, presiden kita itu sedang
pegang sebutir apel. Yang akan dibagikan kepada sekian banyak
orang. Sebelum mengiris apel, harus matang perhitungannnya. Siapa
dapat berapa iris. Siapa yang irisannya tebal, siapa yang agak
tipis.”
“Lha, kalau ada yang maksa minta
irisannya lebih tebal dari yang lain, bagaimana hayo?” tanya mas
Bendo.
“Ya, itulah yang bikin pengirisan
apel makin tak kunjung dilakukan,” sahut kang Karib.
"Bukankah reshuffle itu hak prerogatif presiden, kang?"
"Iya, tetapi hak itu laksana kalimat; 'keputusan panitia mengikat kecuali diganggu gugat'. Begitu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar