Minggu, 10 Mei 2020

Waswas Tes Swab (1)

SEBAGAIMANA pernah saya tulis, saya sudah agak menjauh dari mengikuti kabar tentang Covid-19. Menghindar dari paparan berita yang, menurut saya, sudah tidak baik untuk selalu saya konsumsi. Berita-berita tentangnya senantiasa lebih kepada sebarannya yang makin luas, dengan korban yang terus berjatuhan. Termasuk dari kalangan medis. Ada juga sih berita yang positif. Dalam artian berita yang menyulut harapan. Progres penemuan obat atau vaksin, ilmuwan dalam negeri yang berhasil membuat ventilator, perusahan plat merah bidang farmasi yang akan memproduksi massal alat test, pasien sembuh dan semacamnya. Tapi, berita model begini masih kalah (baik secara jumlah maupun gaung), dibanding berita-berita tentang penderita baru, korban baru dan hal-hal 'horor' lainnya dari Covid-19. Ya mungkin istilah bad news is good news masih jauh dari masa expired-nya. Paling tidak pada media-media kita. Paling tidak itu persepsi subjektif saya.

Menjauh dari paparan berita, bukan lantas saya abai akan kemungkinan terpapar Covid-19. Ini virus gila, menurut saya. Dan kadang saya merasa, kok ya mengalami pageblug modern ini. Dulu sih sempat dengar cerita dari orang-orang sepuh. Tentang pageblug, penyakit aneh yang ganas. Ibarat kata, bila terserang, pagi sakit sore meninggal. Sore sakit, malam meninggal.

Menyikapi kebaradaan Covid-19 ini, respons orang memang macam-macam. Tidak hanya kita orang-orang bawah. Kalau kita putar ulang, dan sekarang gampang sekali mengintip jejak digital seseorang, tidak sedikit pejabat pusat yang awalnya meremehkan. Tenang... Belanda masih jauh, begitu istilah peremehan ala ludruk.

Ada orang yang begitu negara tetangga kita kena langsung waspada, ada yang ketika ada orang Ibukota kena baru jaga-jaga, ada yang baru mak-jenggerat kaget saat tetangganya kena. Inilah yang tadi saya bilang, ini virus gila. Sudah tidak terlihat (namanya juga virus!), penularannya cepat. Pakai banget!


Saya tidak tahu teman saya sudah kena atau belum, sebagaimana teman saya juga tidak tahu saya ini sudah terpapar atau belum. Menjaga jarak adalah kunci. Selalu pakai masker juga kunci berikutnya. Dan disiplin adalah kuncinya kunci. Sedangkan kita semua tahu, bagaimana kebiasaan pejabat eh masyarakat kita ding!

Disiplin sendirian di tengah ketidakdisiplinan yang dilakukan secara berjamaah, adalah musibah. Kemungkinan terpapar tinggal menunggu waktu. Bagi sebagian orang memang bisa tetap #dirumahsaja. Namun bagi sebagian besar orang lain, itu hil yang mustahal, begitu almarhum Asmuni mengistilahkan. Lalu bagaimama?

Baiklah, saya cerita tentang lingkungan terkecil saya saja. Yang saya bisa menekan. Bisa membuat aturan agak ketat. Harus sering cuci tangan pakai sabun. Harus selalu pakai masker. Harus begini, harus begitu. Harus di rumah saja. Bisa. Anak-anak saya bisa. Yang besar kuliah dari rumah, yang kecil sekolah dari rumah. Saya dan istri yang tidak bisa. Harus tetap keluar rumah. Bekerja. Dengan selalu mengikuti protokol yang diterapkan perusahaan. (Yang syukurlah, di lingkungan tempat kami (saya di perusahaan tempat kerja saya dan ìstri di tempatnya bekerja), segala protokol diterapkan dengan support penuh perusahaan. Masker, hand sanitizer, vitamin C, disediakan oleh perusahaan.)

Tidak lupa, setelah mematuhi protokol yang ada, kami ikuti pula dengan senantiasa berdoa.

Tetapi, tiada gading yang tak retak. Tiada penjaga gawang yang tak kebobolan. Perusahaan tempat istri saya bekerja kebobolan. Ada karyawan positif Covid-19. Ada yang meninggal, setelah sempat dirawat di rumah sakit. Begitu keterangan resmi yang dirilis Gugus Tugas seperti banyak dikutip media. Heboh. Terlebih setelah dilakukan tracing, disusul rapid test, terjaring sekian banyak orang karyawan terindikasi positif.

Itu perusahaan besar. Dengan jumlah karyawan yang besar. Risiko penularannya juga besar. Lalu diambillah keputusan ini; karyawan dirumahkan. Termasuk istri saya. Ikut dirumahkan. Sampai batas waktu yang entah sampai kapan.

Begitulah, protokol bisa dilakukan ketat di lingkup perusahaan. Namun di luar, di jalan, di pasar (yang masih tetap buka) kita bisa melihat bagaimana keadaannya. Biasa. Tetap seperti biasa. Iya sih ada yang sadar; jaga jarak, pakai masker dan sejenisnya. Tetapi yang sembrono tetap selalu ada. Dan itu tidak sedikit.

Bobolnya pertahanan bisa jadi dari perilaku di luar lingkup perusahaan. Terpapar. Mungkin tanpa gelaja. Lalu memapari teman lain yang imunnya sedang turun. Yang telah terpapar memapari lagi teman di dekatnya lagi. Dan seterusnya, dan seterusnya. Pendek kata, virus ini berpotensi menulari orang yang melakukan kontak dekat.

Nah, istri saya yang diliburkan, (alhamdulillah kondisinya sehat) secara tidak langsung menjadi waswas. Saya juga ketularan ikut waswas. Jangan-jangan....

Kabar tentang kasus di perusahaan tempat istri saya bekerja, diikuti pula secara seksama oleh perusahaan tempat saya bekerja. Saya ikut dipantau. Istilahnya saya ikut sebagai ODP. Ini hal lumrah. Saya termasuk dalam 'kontak dekat' dengan istri saya. Dan ketika oleh perusahaan, saya juga dirumahkan, saya tentu bisa maklum. Demi kebaikan bersama.

Apakah istri saya telah ikut rapid test? Belum. Jadi saya tidak tahu status istri saya terkait paparan virus ini. Beruntung, di saat kami tidak tahu kondisi masing-masing atas paparan Covid-19 ini, perusahaan tempat kerja saya menghubungi saya. Intinya, saya diminta melalukan tes swab. Untuk memastikan kondisi saya atas virus ini.

Hasilnya? (Klikdisini).





Tidak ada komentar:

Posting Komentar