Saya ingat kala dulu bersama mendiang mertua melakukan perjalanan Lamongan-Jember. Agar tak terlalu repot oleh urusan perut itu, mertua saya membungkus nasi lengkap dengan lauknya memakai daun pisang. Ritual ini, saya kira, lazim dilakukan oleh orang tua siapapun dengan dalih, "Daripada beli di jalan". Bahkan, untuk minum, mertua membawa sendiri air rebusan dari rumah dengan botol Aqua sebagai wadah.
Bisa jadi, anak dan cucu --serta saya sebagai menantu-- sedikit malu akan hal itu. Tetapi, harus diakui; senyampang segala sesuatu bisa disiasati yang itu dapat menghemat pengeluaran dan tidak terlalu ngrepoti, kenapa tidak?
Naik kendaraan sendiri tentu bisa lebih bebas. Mau bawa bekal dari rumah (untuk kemudian dimakan dipinggir jalan ramai-rama serombongan, seperti sering saya temui bahkan di keteduhan pohon di pinggir jalan tol), atau mampir ke depot yang ada di pinggir-pinggir jalan macam Depot Rawon Nguling yang sering bikin macet itu.
"Untuk agar tidak di-entol," nasihat seorang kawan, "kalau makan di jalan, carilah warung nasi Padang. Dimanapun, harganya standar, tidak terlalu mahal."
Bisa jadi ia benar.
Saya pernah mengalami saat bareng si sulung, Edwin, balik dari Jember ke Surabaya naik R-2. Dengan berkendara dan tidak sedang naik angkutan umum begitu, saya bisa berhenti dan makan di warung mana saja yang saya mau. Kekeliruan saya adalah; saya menduga kalau bentuk fisik warungnya itu sederhana dengan dinding gedhek/anyaman bambu dan di depannya terparkir banyak truk, "Warung tempat makan para sopir tentulah tidak mencekik secara harga" pikir saya.
Ketika si Edwin memesan lalapan penyet ayam, saya pun mengikutinya. Sambil menunggu pesanan dihidangkan, saya amati kondisi warung yang terletak di pinggir jalan Pasuruan ini; toples-toples yang kosong, juga botol-botol Sprite/Fanta yang juga melompong. Hanya ada dua piring pisang goreng di meja sebagai dagangan. Dengan tulisan menu mulai soto, jangan asem, lodeh, penyet ayam sampai pecel terpampang jelas di pinggir jalan, saya mulai menyangsikannya sebagai kenyataan. Ya, cuma semacam PHP lah sepertinya.
Lama sekali pesanan kami terhidang membuat saya berbisik kepada Edwin, "Tenang, ayamnya masih dikejar untuk dipotong dan nasinya masih berupa beras dan sedang akan ditanakkan."
Lebih duapuluh menit menunggu akhirnya makanan siap juga. Tapi tunggu dulu, benar sih ada ayam goreng dan sambal, tetapi mana lalapannya? Tiada mentimun, tiada kacang panjang, tiada pula daun kemanginya. Rasa lapar membuat kami memakan yang ada saja walau merasa kurang lengkap. Agak kecewa sih iya, tetapi agak kecewa itu meningkat tarafnya menjadi sungguh kecewa manakala kami selesi makan dan bertanya, "Berapa?" untuk dua piring nasi dan dua gelas es teh. Tadinya kami hendak memakai kerupuk sebagai pelengkap tetapi karena tak ada, tentu pisang goreng akan menjadi aneh dipakai pelengkap makan 'lalap'.
"Empat puluh ribu," kata si ibu warung.
Mendengar itu saya yang masih kepedesan makin pedes saja rasanya.
Berdasar pengalanan tadi, saat mudik kemarin, agar tidak kena petegik lagi, saya memilih andok makan di warung yang selain memajang menunya, melengkapi pula dengan harganya. Ini penting, lebih-lebih bagi orang yang hanya punya sangu cumpen, berdompet tipis.
Meja kursi dicat warna merah sebagai ciri Warung Merah, tetapi yang penting harganya terbilang relatif murah. |
Di terminal Bayuanga Probolinggo, ada banyak depot berjejer. Menunya pun beragam sesuai keinginan, tetapi yang memajang harga hanya sedikit saja. Dari yang sedikit itu, Warung Merah salah satunya. Menu yang tersedia? Mulai soto, bakso, lodeh, kare, jangan bening, sop sampai lalapan pun ada. Minumnya mulai susu soda, kopi, teh, es jeruk dan lain sebagainya. Kesitulah kami menuju dengan kalkulasi tak mengkinlah 'terperosok' lagi.
Benar juga, untuk semua yang kami makan, total jenderal saya cuma harus membayar empat puluh ribu saja, dengan perincian; dua piring nasi lalapan ayam 11 ribu per porsi, sepiring soto kesukaan si kecil sembilan ribu saja dan es teh tiga ribu per gelasnya. Murah bukan? *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar