Sabtu, 25 Juli 2015

Puasa Berita

LAMAT-LAMAT Kang Karib ingat jaman ketika televisi cuma satu saluran. Pada jam sembilan malam, muncullah program Dunia Dalam Berita. Dan pada segmen terakhir ini Sazli Rais dengan suaranya yang khas dan ngebas muncul membawakan Ramalan Cuaca. Sebuah acara yang sama sekali tak menarik perhatian orang sekampungnya Kang Karib. Karena, untuk menggelar hajatan, mantu misalnya, orang tak pernah berdasar ramalan cuaca, namun lebih bersandar kepada petunjuk Mbah Selar. Orang yang diyakini mempunyai kemampuan linuwih, salah satunya memindah turunnya hujan. Sayangnya, jaman itu informasi menyebar tidak sedahsyat sekarang. Sehingga kesaktian Mbah Selar menjalar hanya melalui tutur berantai dari mulut ke mulut saja.

Bandingkan, coba, dengan jaman sekarang!
Jaman ketika sekecil apapun berita, ia bisa langsung diketahui orang sedunia (maya). Ambil misal; kalau di pelosok Trenggalek ada orang yang menemukan sebongkah batu yang telah dibentuk sebagai akik, yang ketika batu itu disinari lampu akan tampak bentuk kutang di dalamnya (yang kalau diamati BH itu serupa milik artis ternama), unggahlah ke medsos, niscaya ia akan kondang dalam sekejap. Padahal, ketika inforrnasi menjadi sesuatu yang
nggegirisi, haus akan ia, sementara yang digelonggongkan untuk menghapus dahaga adalah sampah, duh betapa akan membuat kembung belaka.

Makanya Mas Bendo ingin puasa. Bukan tak makan minum seperti lazimnya, namun ia nawaitu tak akan mengkonsumsi berita dari manapun dan dari siapapun. Ia tak ingin mendengar Tolikara yang oleh media (online utamanya) dijadikan dagangan; bukan untuk memadamkan, tetapi agar lebih berkobar. Tak pula ia ingin mendengar tokoh dan awam bicara ini-itu tentang, misalnya, Islam Nusantara padahal (bisa jadi lho ya) ia tak pernah konfirmasi kepada para kyai yang menggagas istilah itu tentang apa makna istilah yang dijadikan tema Muktamar NU ke 33 di Jombang 1-5 Agustus ini.

Kalau tidak makan berita tidak apa-apa,” dalih Mas Bendo, “lalu untuk apa aku harus mengkonsumsi berita?”

Tahu berita itu penting,” sok bijak Kang Karib menjawab, “lebih penting lagi kita harus bisa menyaring; ini berita atau hanya sekadar sampah”

Lha kalau untuk menikmati berita saja aku repot harus menyaring dulu, ya buang-buang waktu, Kang. Mending puasa berita sekalian.”

“Lho, jangan salah, nDo. Isi kitab suci itu, antara lain, juga adalah 'berita'. Lalu, apa
njur kamu juga berhenti nderes dan ngaji? Lak ndak to?”

Lalu Kang Karib bicara bahwa berita itu ibaratnya gabah. Segoblok apapun –kecuali ayam-- orang tak akan langsung makan gabah. Ia harus digiling atau ditumbuk dulu agar jadi beras. Sudah menjadi beras pun masih diinteri dulu, dibuang las dan kerikilnya. Sebelum dimasak, dicuci dan dibilas berkali-kali dulu sampai bersih baru ditanak hingga matang. Karena kalau setengah matang sudah dimakan, bukannya kenyang, perut malah akan mbesesek, begah.

Berita yang disebarkan oleh media yang tidak jelas, yang dikelola oleh entah siapa dengan tujuan apa, kalau kita terima begitu saja, sama saja kita bukan makan nasi, tetapi nguntal gabah,” wejang Kang Karib. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar