LAMAT-LAMAT
Kang Karib ingat jaman ketika televisi cuma satu saluran. Pada jam
sembilan malam, muncullah program Dunia
Dalam Berita.
Dan pada segmen terakhir ini Sazli Rais dengan suaranya yang khas dan
ngebas muncul membawakan Ramalan
Cuaca.
Sebuah acara yang sama sekali tak menarik perhatian orang
sekampungnya Kang Karib. Karena, untuk menggelar hajatan, mantu
misalnya, orang tak pernah berdasar ramalan cuaca, namun lebih
bersandar kepada petunjuk Mbah Selar. Orang yang diyakini mempunyai
kemampuan linuwih,
salah satunya memindah turunnya hujan. Sayangnya, jaman itu informasi
menyebar tidak sedahsyat sekarang. Sehingga kesaktian Mbah Selar
menjalar hanya melalui tutur berantai dari mulut ke mulut saja.
Bandingkan, coba, dengan jaman sekarang!
Jaman ketika sekecil apapun berita, ia bisa langsung diketahui orang sedunia (maya). Ambil misal; kalau di pelosok Trenggalek ada orang yang menemukan sebongkah batu yang telah dibentuk sebagai akik, yang ketika batu itu disinari lampu akan tampak bentuk kutang di dalamnya (yang kalau diamati BH itu serupa milik artis ternama), unggahlah ke medsos, niscaya ia akan kondang dalam sekejap. Padahal, ketika inforrnasi menjadi sesuatu yang nggegirisi, haus akan ia, sementara yang digelonggongkan untuk menghapus dahaga adalah sampah, duh betapa akan membuat kembung belaka.
Bandingkan, coba, dengan jaman sekarang!
Jaman ketika sekecil apapun berita, ia bisa langsung diketahui orang sedunia (maya). Ambil misal; kalau di pelosok Trenggalek ada orang yang menemukan sebongkah batu yang telah dibentuk sebagai akik, yang ketika batu itu disinari lampu akan tampak bentuk kutang di dalamnya (yang kalau diamati BH itu serupa milik artis ternama), unggahlah ke medsos, niscaya ia akan kondang dalam sekejap. Padahal, ketika inforrnasi menjadi sesuatu yang nggegirisi, haus akan ia, sementara yang digelonggongkan untuk menghapus dahaga adalah sampah, duh betapa akan membuat kembung belaka.
Makanya
Mas Bendo ingin puasa. Bukan tak makan minum seperti lazimnya, namun
ia nawaitu
tak akan mengkonsumsi berita dari manapun dan dari siapapun. Ia tak
ingin mendengar Tolikara yang oleh media (online
utamanya) dijadikan dagangan; bukan untuk memadamkan, tetapi agar
lebih berkobar. Tak pula ia ingin mendengar tokoh dan awam bicara
ini-itu tentang, misalnya, Islam Nusantara padahal (bisa jadi lho ya)
ia tak pernah konfirmasi kepada para kyai yang menggagas istilah itu
tentang apa makna istilah yang dijadikan tema Muktamar NU ke 33 di
Jombang 1-5 Agustus ini.
“Kalau
tidak makan berita tidak apa-apa,” dalih Mas Bendo, “lalu untuk
apa aku harus mengkonsumsi berita?”
“Tahu
berita itu penting,” sok bijak Kang Karib menjawab, “lebih
penting lagi kita harus bisa menyaring; ini berita atau hanya sekadar
sampah”
“Lha kalau untuk menikmati berita saja aku repot harus menyaring dulu, ya buang-buang waktu, Kang. Mending puasa berita sekalian.”
“Lho, jangan salah, nDo. Isi kitab suci itu, antara lain, juga adalah 'berita'. Lalu, apa njur kamu juga berhenti nderes dan ngaji? Lak ndak to?”
“Lha kalau untuk menikmati berita saja aku repot harus menyaring dulu, ya buang-buang waktu, Kang. Mending puasa berita sekalian.”
“Lho, jangan salah, nDo. Isi kitab suci itu, antara lain, juga adalah 'berita'. Lalu, apa njur kamu juga berhenti nderes dan ngaji? Lak ndak to?”
Lalu
Kang Karib bicara bahwa berita itu ibaratnya gabah. Segoblok apapun
–kecuali ayam-- orang tak akan langsung makan gabah. Ia harus
digiling atau ditumbuk dulu agar jadi beras. Sudah menjadi beras pun
masih diinteri
dulu,
dibuang las
dan kerikilnya. Sebelum dimasak, dicuci dan dibilas berkali-kali dulu
sampai bersih baru ditanak hingga matang. Karena kalau setengah
matang sudah dimakan, bukannya kenyang, perut malah akan mbesesek,
begah.
“Berita
yang disebarkan oleh media yang tidak jelas, yang dikelola oleh entah
siapa dengan tujuan apa, kalau kita terima begitu saja, sama saja
kita bukan makan nasi, tetapi nguntal
gabah,” wejang Kang Karib. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar