Selasa, 08 November 2011

Ketika Cinta Jatuh Cinta


JAM satu siang Cinta pulang dari sekolah. Ganti baju, mandi, makan lalu berangkat lagi. Sekalipun Ayah tahu, tetapi  ia menanyainya juga.

“Latihan lagi, Yah,” katanya.

Ayah tersenyum. Tentu ia belum pikun. Karena, naskah drama yang akan Cinta mainkan bulan depan itu memang hasil tulisan Ayah.

Cinta, Cinta...
Kalau ibunya masih ada, tentu ia juga akan bahagia. Cinta yang cantik, secantik ibunya. Tetapi Ayah sadar, walau kurang lengkap, hidupnya berdua bersama Cinta sampai sekarang cantik-cantik saja.

Ayah kembali masuk rumah ketika Cinta berangkat lagi. Ayah ingin meneruskan menulis. Tetapi beberapa saat didepan komputer, jari-jarinya tak juga menari diatas keyboard. Sekian menit  Ayah hanya diam. Diam? Oh tidak. Ayah sedang mengamati sebuah foto di meja kerjanya. Pandang mata Ayah menyorotkan kerinduan yang sangat.

Wanita dalam foto itu ibunya Cinta. Bunga namanya. Tetapi semakin memandangi, Ayah bukannya berbunga-bunga. Betul memang. Pada saat-saat tertentu Ayah sedih juga. Ayah, sekalipun lelaki, ia adalah manusia juga.

JAM empat sore Ayah gelisah. Mendung yang menggantung membuat Ayah makin resah. Cinta belum pulang. Padahal biasanya, jam segini sudah selesai latihan dramanya. Ketika gerimis mulai jatuh satu-satu, Ayah merogoh ponsel disaku.

Masih sambil berdiri diteras, Ayah menelepon Cinta. Ada nada tersambung, tapi tak juga diangkat. Sementara gerimis makin besar butirannya. Makin rapat pula jaraknya. Dalam keadaan begitu, Ayah mana yang tidak gelisah.

Sampai nada sambung terputus, Ayah masih belum terima. Ayah ulangi lagi menelepon Cinta. Ketika nada sambung kembali berdengung, Ayah lega. Diujung gang, Ayah melihat Cinta datang. Berlari kecil selincah gerimis. Berpayung merah muda. Tetapi, hei.., dia tidak sendiri. Dia sepayung berdua dengan seorang lelaki.

Ayah menunda geleng-geleng kepala melihat buah hatinya begitu. Sungguh, dalam beberapa detik Ayah terbang kemasa lalu. Mengenang Bunga. Yang selalu menjadi idola laki-laki. Cinta rupanya mewarisi nasib mendiang ibunya.

Cinta berjingkat menuju teras. Lelaki pengantar itu, Ayah melihat, sedang ragu-ragu. Antara ikut mampir atau terus pulang. Ayah melirik Cinta, mata gadis itu berbinar aneh. Tetapi Ayah tahu maknanya. Makanya Ayah lalu berkata, “Ajaklah mampir dulu. Hujan kan masih agak deras. Disini minum teh hangat dulu, sambil menunggu reda.”

Kembali Ayah melirik Cinta. Senyum buah hatinya itu girang bukan kepalang. Tetapi,

“Terima kasih, Om. Lain kali saja,” sopan sekali lelaki itu menolak. “Permisi, Om. Saya pulang dulu.”

Ayah mendengar Cinta menarik nafas dan menghembuskan dengan tenaga yang sama. Dan, sekali lagi, Ayah tahu apa artinya.

“Terima kasih ya, Vito,” kata Cinta.

Oh, lelaki sopan itu namanya Vito, batin Ayah.
Setelah Vito dan payung pink-nya tak terlihat di ujung gang, Ayah mendekap pundak Cinta. Ayah mengajak Cinta masuk rumah. Agar Cinta segera mengeringkan rambutnya yang sedikit basah kena tampias hujan.


SEKALIPUN senja dilumuri hujan, secangkir teh hangat  mampu sedikit mengurangi rasa dingin. Dan Cinta dengan penuh cinta membikinkan Ayah secangkir kehangatan itu. Setelah meletakkan teh hangat dimeja Ayah, Cinta membawa tehnya sendiri ke ruang tengah.

Ayah menghentikan menulisnya, dan menyusul Cinta keruang tengah.

“Novel Ayah sudah sampai mana?”

“Sudah selesai kemarin pagi. Ini sudah mulai mengedit,” jawab Ayah.

Cinta meletakkan cangkir teh hangat yang sedari tadi digengamnya, lalu menyusup ke dada Ayah. Ayah dan anak itu sedang saling menghangatkan. Dalam dekapan Ayah, Cinta merasa damai. Hal yang juga dirasa Ayah.

“Siapa nama temanmu tadi?”

Mendapat pertanyaan itu, perlahan Cinta bangkit dari dekapan Ayah.

“Kenapa, Yah?”

Oh, Ayah kaget. Kok ditanya malah nanya. Tetapi Ayah segera tersenyum. “Tidak apa-apa. Ayah cuma lupa namanya...”

“Vito, Yah.”

“Teman sekelas? Kok Ayah tidak pernah lihat sebelumnya.”

“Dia anak baru, Yah. Pindahan dari luar kota. Sekarang dia tinggal dirumah baru di belakang SPBU itu lo, Yah.”

Ayah tahu rumah baru itu. Rumah didepan rumah pak Gun guru bahasa yang juga tempat Cinta dan kawan-kawan latihan drama.

Selanjutnya,  dengan berbinar-binar Cinta bercerita tentang Vito. Kata Cinta, Vito itu pintar. Main drama juga jago. Main sepakbola dan basket juga bisa diandalkan.

Ayah mendengarkan dengan seksama cerita Cinta. Dari nada suara dan binar matanya, Ayah mengira Cinta sedang jatuh cinta.

“Kamu suka dia?”

Cinta tidak menjawab. Tetapi sorot mata itu Ayah tahu Cinta sedang mengiyakan.

“Kamu cinta dia?”

Kali ini Cinta tersenyum. Dan, sekali lagi, Ayah tahu apa arti senyum itu. Ayah mengacak lembut rambut Cinta. Lalu dengan sayang menjentik ujung hidung bidadarinya. “Untuk mencintai siapapun Ayah tak akan melarangmu, Cinta. Dan sepertinya, Vito itu anak yang baik.”

Mendengar itu Cinta kembali menyusup ke dada Ayah. Cinta merasa sangat beruntung memiliki Ayah yang baik sekali. Ayah yang sangat mengerti. Ayah, yang sungguh --dalam tiga tahun ini-- sebagai 'ibu' juga.

“Cinta, boleh Ayah meminta sesuatu darimu?”

Cinta mepaskan diri dari dada Ayah. Bersiap mendengar permintaan Ayah.

“Satu saja,” kata Ayah. “Jangan jatuh cinta saat ini.”

“Kenapa begitu, Yah?” tanya Cinta dalam rengekan manja.

Ayah meraih kepala Cinta dan memeluknya dengan sayang. Ayah membelai rambut Cinta dengan lembut. Dengan lembut pula Ayah lalu membisikkan alasan kenapa Cinta tidak boleh jatuh cinta dulu, “Karena kamu baru kelas lima...” *****

2 komentar:

  1. hehe, , ,
    nice kang,, hampir saja sy berniat mengajukan proposal dalam rangka berkenalan dengan si Cinta, eh tau nya masih kelas 5. . . T_T

    BalasHapus
  2. Hehehe juga. Salam kenal dan Terima kasih sudah mampir ke kedai saya.

    BalasHapus