Rabu, 02 November 2011

Tukang Tambal Ban


SETELAH belanja di sebuah minimarket di Karanggeneng, begitu motor saya tuntun dari parkiran, oh ban belakangnya gembos. Tetapi untunglah, tak seberapa jauh dari situ ada tukang tambal ban. Melihat cara ia membuka ban motor saya, saya tak ragu ia sudah sangat profesional. Dan satu predikat lagi; juga kreatif.

Lihat saja, setelah ban dalam saya dikeluarkan, ia juga mengeluarkan alat yang seumur hidup baru kali itu saya temui. Kalau biasanya tukang tambal ban selalu memakai gergaji besi untuk 'mengerik' lapisan disekitar yang bocor sebelum ditambal, tukang tambal ia beda. Ia menggunakan alat, yang saya yakin hasil modifikasi sendiri. Bentuknya; sebuah pedal dan rantai serta gir. Dua gir, depan dan belakang, dihubungkan seuntai rantai. Jadilah ia sebagai gerinda manual. Karena di gir yang kecil, dimodifikasi sedemikian rupa dengan fungsi sebagai ganti gergaji besi ala tukang tambal ban tradisional.

Hasilnya? Hanya dalam beberapa kali putaran pedal, gerinda manual itu telah mengikis sekitar area ban dalam motor saya yang tertusuk paku. Proses selanjutnya sama persis. Beberapa menit kemudian, selesai sudah.

Saya bawa pulang. Tak jauh. Hanya sekitar enam atau tujuh kilometer menuju desa saya. Dan, ban bocor lagi. Juga ban belakang lagi. Mau tak mau saya bawa ke tukang tambal ban lagi. Tukang tambal ini seperti lazimnya, tanpa gerinda manual. Ia, saya lirik di kotak alatnya, masih menggunakan gergaji besi.

Begitu ban dalam dikeluarkan, oh rupanya yang bocor tidak jauh dari bocor yang tadi. Tetapi bukan kena paku atau barang lancip lainnya. Tetapi, “Ini terlalu tipis kena 'ngeriknya',” kata tukang tambal ban.

Rupanya, alat gerinda manual itu si tukang tambal ban di Karanggeneng tadi terlalu rakus mengikis yang seharusnya tidak disentuhnya. Artinya, dengan gergaji besi masih lebih baik.



Seorang tukang tambal ban di Rungkut malah berani memberi garansi akan tambalannya. Bila hasil tambalannya bocor lagi, ia mempersilakan untuk dibawa kesitu lagi. Ditambal lagi. Gratis.

Bisa jadi itu hanya trik marketing saja. Agar terlihat defferisiansi-nya dengan yang lain. Karena, mana mungkin membawa kesitu bila bocornya lagi sudah di Mojokerto, misalnya.


Di Greges, beberapa ratus meter setelah terminal Osowilangun dari arah Gresik, suatu malam yang gerimis ban motor saya bocor. Setelah menuntun beberapa jauh dalam rinai itu, saya dapati tukang tambal yang rupanya lagi panen. Dua tukang tambal ban itu sibuk sekali, saya lihat. Sebelum saya sudah ada dua 'pasien'. Satu, sebuah Supra, sudah dalam proses pemasangan ban, satu lagi menunggu giliran. Tetapi bannya sudah dilepas.

“Bocor, mas?” saya bertanya.

“Iya, ini copnya sobek,” jawab lelaki yang menunggang Mega Pro ini sambil menunjukkan ban dalam motornya kepada saya.

Pasien pertama selesai. Setelah membayar sejumlah ongkos, ia melajukan Supranya menembus guyuran gerimis.

Si Mega Pro segera ditangani. Sementara 'dokter' yang satunya mulai mengoperasi ban saya. Hasil diagnosanya?

“Wah, bannya robek disebalah cop pentilnya, pak,” ia memberi tahu saya.

Gila.
Saya pikir ini pasti ada yang tidak beres. Mana mungkin Grand saya berkasus sama dengan si Mega Pro. Pasti ini malapraktek. Tapi mau bagaimana lagi. Saya dalam kondisi lemah. Maksudnya, roda saya sudah dilepas. Mana mungkin saya bawa pergi dan mencari tukang tambal yang lebih bernurani.

Akhirnya, saya harus ganti ban baru yang memang ia menyediakan. Harganya, sungguh lebih mahal dari biasanya. Tetapi lagi-lagi saya bisa apa. Dengan rasa mangkel yang mengguyur sederas gerimis malam itu, saya harus menerima keadaan.

Tetapi dalam hati saya bersumpah. Saya tak akan membawa ke tempat itu bila ban saya bocor disekitar situ lagi.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar