Rabu, 21 Desember 2016

Resolusi dan Bumi Datar

 
MASIH bisa saya buka ingatan tentang tahun lalu atau lebih lama dari itu; pada sore yang gerimis, sepulang kerja, di kiri-kanan jalan beberapa orang mulai ada sebagai -mungkin salah satu- penanda akan datangnya tahun baru. Ya, pedagang terompet, yang entah berasal dari mana dan selain menjelang tahun baru berdagang apa, tak sedikit yang bersama anak-istri, berteduh menangkis runcingnya gerimis hanya dengan selembar plastik tipis.

Betapa langkah waktu sekalipun kurang terasa tetapi mungkin memang makin tergesa. Sampai setahun hanya pendek saja. Tahu-tahu menua. Tahu-tahu menuai. Tetapi menuai apa? Juga, bagaimana kabar resolusi yang ditiup akhir tahun kemarin?

Beruntunglah diantara kita adalah makhluk pelupa. Jangankan resolusi yang kencang sekali diucap dalam hati atau ditulis dalam diary dan tiada menjadi apa-apa (karena memang tanpa ada langkah nyata) yang dikumandangkan tiap akhir tahun, dan tahu-tahu kini sudah akhir tahun lagi. Ah, tak usah sungkan; mari kita tiup resolusi lagi. Dan, bukankah kita belum pernah mendengar fatwa bahwa berresolusi di setiap akhir tahun itu adalah tindakan yang haram?.

Jangankan berentang jarak setahun yang 365 hari, yang baru kemarin pun kita bisa dengan gampang melupakannya. Tentang Jessica, tentang Dimas Kanjeng, tentang Hillary vs Trump, tentang garuda melawan gajah di final AFF, oh itu cerita lama. Selama dan sebiasa timnas sepak bola kita gagal meraih juara. Jadi kenapa mesti meratap-ratap sampai gulung koming? Walau sudah biasa kalah, tentu semua kita tadinya sangat berharap menang dengan adagium yang secara aklamasi disepakati bahwa bola itu bundar, bukan datar seperti keyakinan beberapa orang tentang bentuk bumi.

"Jangan jadi member kalau cuma untuk mendebat", komentar itu saya baca di grup Kumunitas Bumi Datar di sosmed, entah itu dari sesama member atau dari sang admin, saya kurang tahu. Dengan kata lain, masuk ke grup ya harus sudah sepaham, agar tak gagal paham.

Karena sadar saya beda paham, saya tahu diri untuk tidak mendaftar jadi member di grup yang saat saya intip beranggota ribuan itu. Selain buang waktu, itu akan buang kuota internet saja. Tentu saja, sebagai yang beda paham, saya akan bisa dengan enteng nyinyir dan bilang pendapat bumi datar itu didengungkan bukan oleh pakar, tetapi oleh penulis buku yang sadar akan selera pasar. Bahwa, hal nyeleneh akan laku dijual, dan akan bisa ditelan begitu saja bukan saja oleh awam, tetapi oleh orang berpendidikan sekalipun. Semoga kita masih belum lupa oleh seorang perempuan bernama Marwah Daud dalam membela secara keukeuh sang Taat Pribadi.

Apalagi grup di sosmed. Tak perlu menjadi ahli di satu bidang untuk membuat grup yang laku diserbu ribuan member. Dengan iseng saja, tanpa dasar ilmu satelit yang mumpuni, saat saya buat grup satelit di facebook, eh tahu-tahu sekarang anggotanya sudah belasan ribu. Dengan sambil leyeh-leyeh, saya biarkan para anggota berdiskusi saling adu ide dan argumentasi. Sesekali, kalau ada member yang posting sesuatu yang out of the topic dan kurang saya sukai, gampang; tinggal di-kick saja. Dengan kata lain, kalau seandainya suatu hari nanti saya bikin grup yang mengangkat topik gula itu pahit, bisa jadi ada saja orang yang akan memasukinya. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar