Kamis, 24 Maret 2016

Selamat Tinggal TV Digital

TENGOKLAH bilah samping kiri blog ini; posting yang nangkring teratas sebagai yang sering dibaca adalah mengenai tv digital. Beratus-ratus komentar mampir di salah satu artikel saya tentang pengganti sistem analog dalam dunia pertelevisian itu. Tandanya, masih banyak yang berminat menikmati siaran tv digital terrestrial yang sayangnya sampai kini progress-nya hanya begitu-begitu saja. Ya, bisa jadi saya salah. Bisa jadi regulasi yang lebh matang telah siap dieksekusi untuk diterapkan di lapangan, dan sebagai pemirsa kita akan sangat dimanjakan dengan gambar-suara bening plus konten siaran yang banyak sekali dengan genre dan segmentasi beragam.

Memanfaatkan dish kecil ex pay tv.
Jujur, sejak asyik belajar tracking pakai antena parabola, saya sudah agak lama tidak melihat konten siaran pada kanal digital terrestrial, sehingga kalau ditanya ada berapa channel yang sekarang on air di Surabaya ini, saya hanya bisa angkat bahu; tidak tahu.

Tentang tv digital, boleh jadi kita yang tinggal di kota ini sudah ketinggalan dengan saudara-saudara kita yang tinggal di pedalaman. Sementara kita yang di kota masih mengharap digital terrestrial (sitem penyiaran yang dipancarkan lewat antena pemancar) mereka sudah menangkap dengan kualitas HD siaran dari banyak satelit, tidak cuma siaran yang terpancar dari satelit Palapa dan Telkom saja. (Eit, eit, jangan bicara yang pay tv ya, saya sedang bicara tentang yang FTA saja, walau –dengan reciever tertentu yang bisa dipakai fly-- saudara kita di pedalaman sudah bisa menembus ke konten premium yang masuk dalam jajaran channel pay tv).

Salah satu, dari sekian banyak channel, yang Coming Soon.
Kecuali parabola milik pay tv, bukankah yang untuk FTA ukurannya sebesar gajah dan makan tempat. Padahal rumah kita di kota kurang ada tersedia tempat untuk menaruh dish yang minimal berdiameter 1,6 meter itu. Kendala inilah yang sepertinya dibidik Ninmedia, sebuah perusahaan yang menghimpun pemilik konten siaran untuk menayangkannya lewat satelit secara gratis (FTA-- Free to Air) dengan menggunakan parabola kecil type offset seperti yang lazim digunakan pay tv.

Ya, kita masih sedang membicarakan satelit Chinasat11 yang kini hangat diperbincangkan, yang konon nanti berisi lebih dari 200 (baca: duaratus!) konten siaran dan itu gratis selamanya. Dengan jangkauan (beam) seluruh Indonesia, ia manjadi momok bagi program tv digital yang kita ungkap di awal tulisan ini.
Gambarannya begini; demi bisa bersiaran di kanal digital terrestrial, sebuah lembaga penyiaran yang tidak memenangi pengadaan MUX, harus menyewa kepada si pemenang dengan harga sekian puluh juta rupiah sebulan untuk jangkauan satu kota tertentu. Katakanlah ia akan bersiaran di lima kota, kalikan saja biaya sewa MUX itu dengan nominal tersebut. Sementara, dengan menyewa slot siaran di satelit Chinasat11, ambil contoh, penyelenggara siaran cuma membayar konon hanya 150 juta rupiah sebulan dengan jangkauan seluruh Indonesia. Simpel mana, coba. Dan murah mana? Tentu murah sewa slot satelit Chinasat11 bukan?

Kini, yang sudah aktif baru 1 transponder (dari lima yang haknya dipegang Ninmedia) dan masing-masing transponder akan berisi 45 slot siaran. Beberapa stasiun televisi lokal/nasional yang telah mengudara di situ (MetroTV, tvOne, antv, Net, BeritaSatu, KompasTV, TransTV, Trans|7, RajawaliTV, Prambors, PopularTV, Saluran Film Indonesia, SportOne dll –kalau MNC grup juga sudah berada disitu, lengkap sudah channel Palapa-Telkom di Chiansat11), dan saluran lain masih dalam tahap Coming Soon.

SportOne, saudara antv dan tvOne,
sudah mengudara di Chinasat11.
Ambil misal SportOne, banyak orang menunggu stasiun televisi khusus olahraga pertama di Indonesia itu menngudara via MUX Viva bersama antv dan tvOne (karena memang satu grup), tapi justru kini ia telah mengudara secara nasional lewat Chinasat11. Bagaimana, apa masih terlalu berharap pada kanal digital terrestrial?

Memang STB (Set Top Box) alias reciever untuk satelit harganya malah lebih murah dari DVB-T2, tetapi kan harus ganti antena. Come on, Anda bisa pakai antena pay tv jenis Ku band yang nganggur di atas itu yang sudah lama tak berfungsi karena Anda telah berhenti melanggani sebuah pay tv tertentu. Atau, kalau tidak ada, carilah ke pengepul barang rongsokan, niscaya –kalau Anda beruntung, Anda bisa mendapatkannya dengan harga yang sama sekali tak akan menguras isi kantong.

Lalu kalau Anda punya waktu, tracking-lah ke posisi 98.0ยบ E, masukkan frekuensi 12500 V 43200, dapat deh konten-konten yang saya sebut di atas. Atau, kalau belum-belum sudah merasa ribet dan tak punya waktu dan skill, panggillah teknisi untuk keperluan itu. Itu kalau Anda tak punya waktu tetapi punya uang. Hehe...

Kemudian, kalau sudah kita dapatkan konten siaran yang buanyak sekali di Chinasat11 itu, mari bersama berujar, “Selamat tinggal tv digital terrestrial...” *****


Jumat, 18 Maret 2016

Yayasan Nurul Hayat, Hebat!


MENDAPAT giliran ketempatan pengajian rutin, walau dalam klausul, shohibul bait tak perlu terlalu repot menyediakan ini-itu dan cukup air putih saja, tetapi ya repot juga. Tamu adalah raja yang harus dihormati. Air putih tentu baik dan akan lebih baik lagi bila ada temannya. Ya gorenganlah, kacanglah atau yang semacamnya. Ia menjadi teman ngobrol setelah yasinan selesai.

Tetapi istri saya punya usul lain, “Bagaimana kalau kita beraqiqoh sekalian?” sebuah ide yang langsung saya setujui.

Menurut saya, ia menjadi praktis karena kami tak perlu mengundang ratusan orang secara satu per satu, karena ratusan anggota pengajian akan datang sendiri sesuai pengemumun di acara rutinan sebelumnya. Tentu, kami juga mengundang tetangga kanan-kiri yang kebetulan tidak ikut sebagai anggota pengajian. Lalu bagaimana kami mengolah daging kambing aqiqoh? Memasak sendiri (dengan bantuan tetangga tentu saja) atau memesan aqiqoh siap saji ke jasa yang melayani keperluan itu. Tetapi yang mana? Kan banyak sekali yang mengiklankan jasanya dengan menempelkan pamflet di pinggir-pinggir jalan?

Seorang tetangga berbaik hati memberi kami saran untuk memakai sebuah jasa layanan aqiqoh, “tetapi pesannya lebih baik agak dekat dengan hari H, karena kalau terlalu lama, akan ada tambahan biaya memelihara kambing aqiqohnya,” ia menerangkan.
Sebuah keterangan yang lalu kami simpulkan kami kurang tertarik memakai jasa layanan itu. Saya sih sebenarnya sudah punya gambaran. Seperti kalau air mineral ya Aqua, atau kalau pompa air ya Sanyo, kalau aqiqoh ya Nurul Hayat.

Kamis, 17 Maret 2016

Jejak Pencari Cicak


TENGAH malam kemarin, kami bicara kesana-kemari di teras rumah saya. Dari nama cucu pertama presiden Jokowi yang jan njawani tenan; Jan Ethes. Nama itu akan terbaca seperti kebarat-baratan bagi yang kurang paham istilah Jawa. Saya setuju, nama adalah juga doa dari orang tua untuk si jabang bayi. Dan Jan Ethes tentu sangat lebih baik dibanding Jan Nggapleki, misalnya.

Kami, tentu seperti siapapun yang seperti para pengamat di televisi. Yang pinter ngomong aneka topik dengan sangat ndakik. Bedanya, mereka terkenal dan dibayar, sementara kami bicara sepenjang malam tentu hanya mendapati busa muncul di sudut bibir. Apa coba yang tidak bisa kami bicarakan? Ndak ada. Semua bisa. Cerita tentang Saipul Jamil atau tentang si Jessica memang sudah rada redup ditayang di layar kaca, tetapi –kalau mau-- kita tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan.

Saya bulan-bulan terakhir ini dengan sengaja mengurangi menonton berita di televisi dan atau membaca koran. Saya ingin membuktikan, tidak mengikuti berita yang beredar pun tidak masalah. Tak apa-apa kan mengistirahatkan pikiran dari ha-hal yang tidak kita ketahuipun tidak apa-apa. Bukankah sekarang sumber bacaan bertebaran banyak sekali dan akan lebih menyenangkan membaca hal-hal yang menyenangkan ketimbang mengikuti berita politik yang sering (dibikin) tak jelas ujung pangkalnya itu.

Disaat ingin membaca hanya yang menyenangkan, saat dalam obrolan ngalor-ngidul di tengah malam itu saya mendengar ada bupati muda yang baru sebulan dilantik dan sekarang ketangkap BNN dalam kasus narkoba, duh jan saya menyesal sekali. Menyesal sekali saya tahu berita itu. Karena tak mengetahuinya pun saya rasa saya tak akan menderita migrain atau kesemutan.

Ketika obrolan makin tak tentu arah dan kami saling menimpali dengan argumen masing-masing, dua orang melintas di gang depan rumah dengan memakai lampu di kepalanya dan setangkai tongkat berujung pipih dan lentur yang telah diolesi lem. Bukan, mereka bukan pencari kodok karena di tempat kami tak ada kodok ngorek yang teot-teot teblung itu.

Cari apa, Kak?” tanya saya dalam bahasa mereka karena saya dengar tadi mereka bicara dengan bahasa daerah yang kebetulan saya juga bisa.

Cari cicak,” jawab salah satu dari mereka.

Cicak? Buat apa?”

Buat dijual.”

Mengalirlah percakapan tentang harga cicak yang kalau sudah dikeringkan menjadi berharga 400 ribu rupiah padahal kalau dijual basah cuma sehraga 40 ribu rupiah per kilogramnya. “nDak tahu itu dibikin apa, yang penting saya cari dan menjualnya ke juragan yang menampungnya di Leces, Probolinggo sana,” jawabnya saat saya tanya cicak itu akan diproses manjadi jamu atau apa.

Ini dia. Kalau sebelumnya ada tokek yang bisa berharga sampai puluhan juta per ekor dengan berat dan ukuran tertentu, lha kok ini ada cicak yang nilai jualnya jan menggiurkan.
Nah, itulah hal sederhana yang lebih menggairahkan untuk dibicarakan ketimbang berita-berita tingkah polah selebritas pada tayangan infotainment yang kadang jan nggilani tenan.*****

Jumat, 04 Maret 2016

Tracking Chinasat-11

 
Dish ex OrangeTV untuk menembak Chinasat-11
difoto dari arah utara.
SEBAGAI Tracker Anyaran alias newbie, di saat banyak kawan forsat ngomongin satelit Chinasat-11 yang berisi siaran televisi lokal Indonesia, ikut penasaran juga saya akhirnya. Berbekal dish lengkap dengan LNB ex OrangeTV, Minggu pagi kemarin saya tracking satelit yang mengorbit pada 98.0° E itu.

Koleksi altem; Palapa-D, Telkom-1, Asiasat7 dan Chinasat-11.
Tetapi, karena kondisi dish bekas itu sudah karatan, sebelumnya saya cat dulu menggunakan cat anti karat / zyncromat. Setelah semua siap, saya pasang dish itu pada tiang yang sebelumnya sudah saya siapkan. Berbekal satfinder, menjadikan saya tak perlu lagi membawa reciever dan tv portable saat tracking.

Jujur, ini pengalaman pertama saya tracking sinyal Ku band. Tetapi, karena sebelumnya saya sudah membaca di forum-forum persatelitan tentang satelit Chinasat-11 dan kemana dish harus dihadapkan, menjadikan saya tak buta-buta amat.

Artikel terkait: Selamat tinggal siaran televisi digital.

SQ lumayan luber, rx Matrix Prolink HD PVR.
Iya, sesuai yang pernah saya baca, arah dish saat nembak Chinasat-11 adalah barat agak ke utara. Atau, arah antara jam 10-11-lah. Nah, sambil mengarahkan dish ke yang dimaksud, saya tak perlu melihat layar display satfinder, karena pada menu find satellite sudah saya setting pada satelit tersebut sekaligus sudah saya masukkan frekuensi 12500 V 43200. Setelah beberapa saat 'goyang dumang', ada bunyi melengking dari satfinder saya. Itu tandanya sinyal yang saya cari sudah nyangkut. Tinggal mengepaskan saja, tinggal memaksimalkan saja. Saya turun dari atap setelah saya mendapat SQ maksimal yang mampu saya dapatkan, yakni 73% untuk Strenght, dan 75% untuk Quality.

Salah satu channel: PopularTV, rx Matrix Apple III HD PVR
Nah, begitu saya scan memakai reciever Matrix Prolink HD RVR milik saya, ternyata lumayan hasilnya. Berhasil sudah saya menembak setelit Chinasat-11. Lumayanlah, bisa menambah koleksi channel. 

Selain mencoba scan menggunakan dua reciever Matrix type berbeda, saya tertarik pula untuk menjajal memakai reciever ex OrangeTV Ku-band yang merek Konka. Setelah sebelumnya sempat agak bingung bagaimana cara menambahkan satelit baru pada reciever tersebut, akhirnya berhasil juga saya mengunci si Ninmedia di Chinasat-11. 
Channel-channel Ninmedia (Chinasat-11) rasa OrangeTV.
 

Dari beberapa artikel yang sempat saya baca; tidak semua reciever ex pay tv bisa untuk me-lock Chinasat-11. Tetapi, tentang merek dan ex pay tv apa saja, itu yang saya kurang tahu. Karena punya saya ya cuma ex OrangeTV Ku--band itu. Kalau Anda punya pengalaman, silakan di-share di komentar artikel ini dong. Oke?*****

Kamis, 03 Maret 2016

Hati adalah Antena

HATI ibarat antena televisi bagi hidup. Untuk mendapatkan gambar dan suara yang jernih, arah antena harus pas dan tiada penghalang ke arah pemancar atau satelit. Bila hati kita selalu tertuju ke arah yang tepat, ke Dzat Yang Maha Memancarkan, niscaya hidup akan jernih dan tiada yang perlu dirisaukan. *****