Minggu, 29 Desember 2013

YKS = Yuk Kita Stop


DATANG-DATANG Kang Karib berjoget ala Soimah kala menyanyikan lagu Oplosan; salah satu tangan diletakkan di kening, lalu tubuh di-lenggut-lenggut-kan.

♪♫... tutupen tipimu
stop nonton YKS
eman utekmu
ojo mbok terus-teruske
mergane ora ono gunane.....♫♪...

Ketempelan setan darimana Sampeyan itu, kok datang-datang langsung joget begitu?” Mas Bendo agak menepi, memberi ruang agar Kang Karib bisa ikutan duduk lesehan di Pos Kamling itu.

Geregetan aku, nDo,” kata Kang Karib.

Geregetan sama siapa? Sama Soimah?”

Sama semua acara tivi yang gak mutu blas. Yang bikin orang bodo jadi makin bodo.”

Ya, biar saja to, Kang. Lha wong mereka itu kan cari uang. Bukan cari-cari yang lain. Kalau mau, menurut istilah Sampeyan, pinter, ya bukan dengan nonton tipi, tapi dengan bersekolah. Tapi ingat juga, Kang, bersekolah pun sekarang ini bukan jaminan lulus bakal jadi langsung pintar...”

Tapi acara YKS itu jan keterlaluan tenan, nDo,” rupanya Kang Karib masih ingin membahas acara yang sekarang menjadi unggulan di TransTV itu. “Dulu sih ada acara dagelan di TransTV yang juga ratingnya bagus. Tetapi jam tayangnya masih bisa dibilang wajar. Itu lho, kamu kan masih ingat, Extravaganza. Bandingkan, coba, dengan YKS sekarang. Dari selepas isya' sampai hampir tengah malam. Apa tidak edan itu?”

'Tapi kan memang sedang disukai orang, Kang?”

Aku ambil contoh begini, nDo; anakmu sedang suka sekali makan permen. Apa lalu ia kamu ujo dengan terus membelikannya agar ia selalu memakannya sampai giginya rusak dan sakit? Kan tidak begitu, nDo. Suka itu ada batasnya. Sesuatu yang kelebihan dosis selalu ada tidak baiknya...”

Hidup kita ini sudah susah, Kang. Apa salah kita nonton tipi sebagai sarana hiburan yang murah? Lagian kalau tidak suka nonton YKS, kan bisa Sampeyan tekan remote control; ganti nonton saluran lain.”

Ya nggak sesimpel itu, nDo. Frekuensi yang dipakai tipi itu katanya kan milik publik. Yang harus digunakan untuk kebaikan publik. Lho, kalau publik dijejali acara-acara dagelan secara terus-menerus, dengan pemain-pemain ya itu-itu juga (lepas dari Pesbuker atau Campur-campur antv kemudian pindah main di YKS-nya TransTV), dengan guyonan-guyonan yang asal-asalan, dengan ngajak main adik sampai orang tua, apa itu bukan sudah kebablasan dan tindakan pembodohan publik yang nyata?”

Wah, kalau begitu, dibanding Sampeyan, masih untung aku, Kang,” enteng Mas Bendo berucap.

Untung kamu bagaimana. Ndo?” timpal Kang Karib. “Wong kamu itu tipi saja nggak punya kok merasa untung?”

Lha jelas untung aku to, Kang. Daripada punya tipi tapi setiap hari dijejali acara-acara sampah, kan mending nggak punya tipi sekalian....” *****

NB: tulisan-tulisan bertema televisi seperti ini, sudah saya kumpulkan di sebuah blog yang secara khusus mengangkat hal ihwal dunia pertelevisian dalam perspektif saya yang sebisanya. Anda bisa berkunjung ke www.sisitelevisi.wordpress.com



Rabu, 25 Desember 2013

Puisi untuk Bidadari



saat-saat kutulis bagian tenmgah buku ini
di ujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai


     BEGITU sebaris puisi yang tertera di back drop kecil di bawah tenda kerucut mungil di sudut kanan depan rumah dr Ananto Sidohutomo. Back drop  itu kental dengan warna merah. Dengan tulisan besar yang lebih menonjol sebagai tajuk dari gelaran gawe ini; Puisi untuk Bidadari.
    
Yahya Cholil Staquf, Lan Fang dan Gus Mus
dalam sebuah acara Kopdar Terong Gosong di Rembang.
Saya duduk manis di deretan kursi kedua di antara sekian banyak sahabat Lan Fang –begitu mereka menyebut diri—yang tidak satu pun mengenal saya. Tak apalah. Toh saya telah ‘kenal’ mereka. Pertama tentu saja shohibul bait, yang sore tadi juga menyampaikan semacam prakata panitia. Juga, tentu saja, mbak Wina Bojonegoro, yang tampil kenes sebagai MC.

     Ya, saya bukanlah siapa-siapa. Tetapi, paling tidak, saya hadir ke sini karena sebuah nama; Lan Fang. Kenalkah saya dengan perempuan hebat kelahiran Banjarmasin 3 Maret 1970 itu? Tidak. Dan, ternyata, yang senasib dengan saya tidak sedikit. Tetapi, walau tidak  mengenal secara fisik orangnya, bukan berarti saya –atau kami--  tidak mengenal karyanya, tulisan-tulisannya, buku-bukunya.



Foto: Koleksi Sahabat Lan Fang
     POTRET perempuan cantik berbusana adat Thionghoa itu melirik dengan tatapan mata indah. Sepertinya lirikan itu tepat ke arah duduk saya. Saya GR sejenak. Sejenak saja. Karena jenak berikutnya saya tahu mata indah dalam potret Lan Fang itu -- yang entah difoto kapan --  sedang menatap siapa saja. Misalnya ibu Konjen Amerika Serikat, Kristen F. Bauer, yang duduk di teras depan rumah markas Bidadari  ini.  Atau pak Dukut Imam Widodo dan pak Akhudiat yang ada di belakang ibu Konjen.

     Sementara di depan panggung, sederet dengan saya, ada perwakilan dari penerbit Gramedia Pustaka Utama di kanan saya. Dan di kiri, sekitar enam kursi dari saya, ada begawan sastra; bapak Suparto Brata.

     Belum genap dua Minggu cece Lan Fang berpulang. Ada sudah membuncah kerinduan akan sosok yang meninggal tepat saat hari Natal ini.

rindu kami padamu , Lan Fang
rindu pohon randu
dihinggapi burung perindu

 Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.

     Sementara, “Lan Fang ini aneh. Dia hapal betul semua tokoh dalam novel-novel saya. Padahal saya sendiri saja sudah lupa,” demikian kata Dukut Imam Widodo (penulis buku-buku tentang Suroboyo. Diantaranya berjudul Surabaya Tempo Doeloe dan Monggo Dipun Badog!).

  
Lan Fang bersama Komunitas Pecinta Sastra Pesantren Tebu Ireng
(Kopi Sareng) Jombang.
Foto: diambil dari akun FB mendiang Lan Fang.
  Seharian ini, cuaca Surabaya sangat mesra. Panas tidak, mendung gelap pun tidak. Membuat makin sore, makin gayeng  saja acara mengalir. Semengalir orang-orang yang hadir. Sampai-sampai, untuk tempat duduk para sahabat Lan Fang yang terus datang, persis  pada jam 16.19 WIB, digelar tikar dan karpet hijau tepat semeter dari panggung. Sungguh, ini acara sederhana dengan ruh yang tidak sederhana. Sehingga hidangan mi pangsit kelas jalanan pun menjadi menu yang terasa luar biasa mak nyus-nya.


    
Lan Fang bersama sahabatnya, pemilik Titos Dupolo yang  'merangkap jabatan'
sebagai sastrawan, M. Faizi.
Foto diabadikan oleh Ovie A. Win.
Saya amati satu per satu wajah yang hadir. Dan, sepertinya, saya gagal mendapati sebiji saja yang berbalut sedih. Semua senang. Semua gembira. Ini dia; mengenang seorang sahabat yang berpulang tetapi tidak berduka blas.

     Tentu saja saya keliru. Karena, bisa jadi, kesedihan itu telah berlalu. Kini yang terjadi adalah, sekalipun di sana Lan Fang tidak menjadi bidadari, ia telah berteman para bidadari. Dalam titik ini, sebuah akhir hayat telah menjadi sebentuk  'kematian yang melahirkan'. Kebersamaan, rasa saling empati, dan cinta kasih.

     Dengan begitu, apakah Lan Fang yang keturunan Thionghoa, Budha, mengajar (sastra) di pesantren, dan juga berteman dengan siapa saja ( dari tukang tambal ban, biksu, ulama, pendeta, sampai politikus, dll) sedang dalam perjalanan menuju sorga?

     Bukan tidak mungkin. Dalam baris terakhir puisinya yang berjudul  Janji Puisi, Lan Fang bilang;

    ternyata sorga itu dekat
    dan sederhana... *****


NB: tulisan ini sudah pernah saya posting pada dua minggu setelah Lan Fang berpulang. Saya muat lagi sekarang, sebagai kenangan dua tahun Bidadari itu pergi meninggalkan kita.





Selasa, 24 Desember 2013

S p i o n


DIBANDING kalau berangkat dari rumah jam 7 pagi (karena masuk kerja jam 8), nasib saya kadang lebih baik ketika berangkat jam 8 (karena giliran masuk jam 9). Sebab sebagian besar karyawan masuk kantor jam 8, menjadikan setiap punggung jalan di Surabaya ini pada jam-jam itu sungguh berat memikul beban kepadatan. Apalagi jalan A. Yani sebagai jalur utama orang Sidoarjo masuk ke Surabaya.

Harga rumah yang relatif mahal di kota ini membuat mereka lebih memilih minggir ke selatan walau bekerjanya tetap di Surabaya. Itulah yang menyebabkan pada jam berangkat dan pulang kantor, jalan A Yani makin hari terasa makin sesak saja. Lebih-lebih saat akhir pekan, dan terlebih lagi menjelang liburan, pada saat jam pulang. Untuk mengatasi itu dibuatlah fronttage road di sisi timur (dan sekarang sedang mulai digarap pula yang sisi barat) jalan A. Yani.

Biasanya, kalau berangkat, saya menusuk masuk A. Yani dari pinggangnya di selatan Maspion Square di sudut jalan Margorejo Indah. Biasanya di situ juga padat sekali lalin-nya. Lebih-lebih kalau jam setengah delapan. Lebih-lebih, saat padat-padatnya begitu, palang pintu perlintasan KA turun disertai ting-tung ting-tung bunyi sirine. Antrean kendaraan yang sudah panjang makin mengular bahkan sampai di depan bengkel Ahass.

Karenanya, kadang saya lebih suka masuk kerja jam 9 demi terhindar dari segala godaan kemacetan yang terkutuk. Dan pagi ini, doa saya terkabul; sepanjang berangkat jalanan lumayan lancar. Kalaulah di perlintasan KA di depan RSI agak tersendat karena akan ada kereta yang lewat, antreannya tak kelewat panjang. Lagian jalanan sudah mulai tak sepadat biasanya. Mungkin sebagian orang telah mengambil libur lebih awal untuk menyambut Natal.

Sambil menunggu kereta lewat, saya perhatikan sekitar. Nyaris 100% persen kepala pengendara motor telah berhelm. Tidak seratus persen karena masih saja ada orang tua yang membawa anaknya berangkat sekolah dengan mengabaikan isi kepala si anak dengan tanpa melindunginya dengan helm. Yang juga tidak seratus persen adalah pengendara R2 yang --entah sengaja atau lupa-- menyalakan lampu utama. Tentang menyalakan lampu depan kala siang, secara nalar saya juga kurang sreg; benarkah karenanya lakalantas lantas menjadi berkurang?. Lalu spion. Nah, kalau benda yang ini sungguh tak bisa dianggap tidak penting.

Dengan spion, pengendara bisa tahu di belakang ada apa, mau disalip motor atau mobil apa, tanpa harus menoleh. Cukup melirik saja, semua yang ada di belakang bisa terbaca di kaca. Simpel sekali. Dengan demikian, penemu kaca spion sungguh adalah orang yang jenius.

Tetapi, tak jarang ditemui orang memasang spion tak lebih dari sekadar aksesori semata. Sehingga yang ori bawaan dari motor dilepas, dan diganti dengan yang secara fungsi kurang mengena. Sudah kecil, dihadapkannya pun tak seharusnya; namun malah ke wajah sendiri. Ini sedikit 'kelebihan' dari pengendara R2 di sekitar kita. Bukan hanya mampu ber-SMS-ria sambil berkendara, tetapi juga sambil mengaca.


Kereta belum lewat, masih ada waktu untuk melempar pandangan ke hal lain. Oh, ada dua polisi dengan dua motor yang berhenti di dekat seorang pemuda berkacamata. Saya duga, ia diberhentikan karena tadi melanggar sesuatu di belakang sana. Entah marka, entah lampu merah.

Karena relatif jauh, saya tidak tahu apa yang dikatakan pak polisi itu padanya. Beberapa saat berbincang, pemuda pengendara Honda Blade itu ( sepintas saya tahu, kondisi motor itu masih baru) mencabut kunci kontak untuk kemudian dipakai membuka jok. Saya duga ia akan mengeluarkan surat-surat kendaraan dari sana, tetapi ternyata dugaan saya keliru. Ia mengeluarkan sepasang spion.

Ya, ternyata ia diberhentikan petugas karena tidak memasang kaca spion pada motornya. Dengan argumentrasi apa pun, tindakan pemuda itu tentu saja tetap keliru. Dan, pak polisi yang memberhentikannya itu sungguhlah polisi yang baik hati –dalam arti mau membantu ikut memutar memasang kaca spion pada motor si pemuda.

Kereta telah lewat dan lampu TL telah menyala hijau, sehingga saya tak tahu yang terjadi kemudian, karena saya harus menjalankan kendaraan. Saya berdoa semoga pemuda itu ditilang –sebagai pelajaran/hukuman--. Saya yakin kedua polisi tadi tentu bisa menindak sebagaimana mestinya. Sebagaimana beliau-beliau selalu mengenakan masker untuk melindungi diri dari bahaya polusi, tanpa sedikit pun diembel-embeli niat untuk agak menyembunyikan jati diri. *****

Minggu, 15 Desember 2013

Kekuatan Sentuhan Tangan



SORE-SORE, hujan-hujan begini, dulu Ibu suka membikinkan kami jagung goreng. Bolehlah, kalau istilah sekarang dibilang popcorn. Namun popcorn ala Ibu adalah popcorn ndeso; jagung pipilan yang digoreng sangan, semacam wajan dari tanah liat. Si butiran-butiran jagung akan meletus disangrai begitu. Setelah matang, bentuknya banyak yang mlecur-mlecur efek meletus tadi, ia diletakkan pada wadah sekadarnya, untuk kemudian dinikmati bersama-sama.

Begitulah, bagi kami anak-anaknya, segala yang dimasak Ibu menjadi sesuatu yang istimewa. Boleh jadi bumbunya memang seadanya, dengan tanpa takaran yang ditimbang macam resep-resep yang dimuat di tabloid-tabloid wanita. Namun bahan-bahan macam jantung pisang, pelepah talas dan semacamnya itu menjadi hidangan nan nikmat kala disantap.

Jauh dari Ibu begini, saat kami anak-anaknya sudah saling berkeluarga dan hidup berpencar seperti –kata pepatah Jawa—gabah diinteri, salah satu rindu yang kadang-kadang mencubit-cubit hati adalah kangen akan olahan masakan Ibu. 

Rindu suara kami bisa membayarnya dengan menelepon, bagaimana untuk melunasi kekangenan lidah oleh lodeh bikinan Ibu, misalnya? Datang langsung untuk mengunjungi adalah hal yang masuk akal. Namun jarak dan waktu membuat itu tak bisa dipenuhi sewaktu-waktu. Padahal rindu datang kadang dengan seenaknya sendiri, secara ujug-ujug tak pandang saat.

Minggu pagi biasanya istri saya bertanya agar saya dimasakkan apa, dan hari ini saya pingin sarapan pakai pecek terong ala masakan Ibu. Lama sudah lidah ini kangen akan menu ini, tetapi racikan bumbu belum saya ketahui. Setelah tanya sana-sini, termasuk langsung kepada Ibu saat saya mudik seminggu yang lalu, ketemulah ‘ramuannya’: Terong dan tempe dikukus (kalau dibakar kian nikmat). Bumbu yang harus disiapkan: bawang merah dan bawang putih masing-masing  3 siung, 1 potong kencur seukuran ujung jari kelingking. Ditambah daun jeruk purut, merica secukupnya, cabe sesuai selera, garam dan gula juga secukupnya. Semua bumbu tadi disangrai (kalau Ibu di kampung membakar semua bumbu itu di api tungku). Jangan lupa pula parutan kelapa untuk diambil santannya.

Tidak tahu saya apakah menu ini ada dijual di warung, namun membayangkan saja bisa bikin liur saya berebut keluar dari lubang kelenjar.

Baiklah; proses selanjutnya adalah menguleg semua bumbu itu pada cobek. Setelah itu santan dimasukkan. (Agar  agak awet, air untuk memerasnya adalah air masak/hangat). Nah, setelah semua tercampur, masukkan terong dan tempe, lalu tekan-tekan dengan pengulek bumbu. Dan, taraaaa.... jadilah menu  spesial ala Ibu: Pecek terong dan tempe siap disantap.

Sarapan bermenu itu, tadi pagi, terasa nikmat . Walau kalau mau jujur, tentu saja ia hanya mirip masakan Ibu. Belum mak-plek  sama. 

Pada tubuh Ibu, kalau sorga diibaratkan ada di telapak kakinya, tentang rahasia kenikmatan masakan sepertinya terletak hanya pada sentuhan tangannya. *****


Sabtu, 14 Desember 2013

Berbagi Turi


WALAU sangat tak seberapa luas, di depan rumah kami masih ada lahan. Di sisi timur ditanami pandan, pepaya, pohon katuk, pohon ungu dan ada beberapa pot bunga. Untuk bunga itu, sebenarnya, sebagian besar adalah titipan tetangga, yang entah mengapa sampai sekarang tak diambil ulang. Termasuk satu pohon palem yang di musim hujan ini tumbuh makin subur, makin tinggi. Sekalipun jauh lebih sempit dibanding lahan sisi barat, ia tampak rimbun, atau kasarnya malah lebih layak disebut seperti semak belukar.

Di lahan sisi barat, yang hanya dipisahkan sisi tengah selebar tiga meter yang baru bulan lalu di situ saya pasang sendiri paving stone, hanya saya isi sedikit jenis tanaman; berjajar lidah mertua di dekat pagar, rumput gajah yang gondrong tak terawat, tiga pohon turi, dan beberapa batang beluntas yang baru saya tanam seminggu yang lalu.

Di timur, sebagai pemain andalan adalah daun pandan yang sekalipun sangat jarang, pernah ia dibutuhkan tetangga. Kolak akan kurang mantap bila dimasak tanpa disertai beberapa helai daunnya. Di sisi barat kembang turi sudah sangat mendominasi. Ia, yang saya tanam dari benih yang saya bawa dari kampung halaman, sungguh sebagai pohon turi baik hati. Sejak pohonnya baru setinggi lutut, ia sudah mulai berbunga, saban hari, sampai kini. Seiring makin besar tubuhnya, semakin lebat pula kembangnya. Pagi-pagi baru kuncup, sore sudah layak unduh. Sore kuncup, pagi diunduh.

Karenanya, semua tetangga sudah ikut merasakannya. Ada yang dibikin sayur dalam lakon pecel, ada yang diurap, ada pula yang dimainkan sebagai eseng-eseng. Terserah yang menerima, karena yang kami lakukan hanya berbagi.

Seperti dijadwal, istri saya membagi kembang turi itu secara bergiliran. Rata, dari tetangga sisi barat, sampai ke tetangga sisi timur sana. Berlaku begitu hanya karena hal sederhana semata; Ini yang kami punya, dengan ini pula kami berbagi. Karena (setidaknya menurut perasaan saya), semakin kami berbagi, semakin semangat pula si turi berbunga. Setiap menyaksikan kami memberikan bunganya kepada tetangga, saya lihat wajah pohon turi berbunga-bunga.

Hal itu membuat kami makin tak memiliki niat untuk menikmati bunga turi secara sendiri dengan, misalnya, membawanya ke warung sebelah untuk dijadikan rupiah. Disamping secara harga bisa jadi tidak seberapa, kelakuan itu kami takutkan membuat si turi kecewa untuk kemudian melakukan unjuk rasa; mogok berbunga. *****



Jumat, 13 Desember 2013

Tukang Bubur


KEAKRABAN saya dengan perempuan berusia 60-an itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun silam. Sejak pertama saya datang ke kota ini untuk meniti karir sebagai pekerja bangunan. Kala itu saya ikutan nguli menggarap sebuah hunian vertikal/kondominium di kawasan Margorejo Indah, sekira awal tahun 90-an.

Setiap pagi, perempuan itu telah stand by di sudut gang, menunggu pembeli datang. Memakai ebor, wadah dari anyaman bambu dengan ukuran agak besar, ia menata jualannya di atas tempeh. Ada tiwul, cenil/klanting, lupis, ketan, bubur sumsum, bubur beras, 'muntiara' dan tentu saja juruh, cairan kental berbahan gula merah. Dengan aneka jenis jajanan itu, entah mengapa, orang lebih mengenalnya sebagai tukang bubur naik haji saja.

Kala masih jomblo dulu, sesekali saya menghampirinya. Kalau tidak dalam rangka membeli cenil, ya untuk memberikan koran-koran bekas yang terasa sudah menyesaki kamar kos saya. Saya berani memberikannya karena saya tahu ia selalu melapisi daun pisang sebagai bungkus utama, dengan kertas-kertas bekas. Kertas itu kadang buku-buku, atau yang lebih sering saya lihat ya memakai kertas koran bekas.

Sekalipun saya sangat menolak, biasanya perempuan itu memaksa saya menerima sebungkus besar bubur campur sebagai barter dari koran yang saya berikan.

Kini, lebih limabelas tahun berselang, saat saya sudah pindah bermukim di kelurahan sebelah, sudah berumah tangga dengan dua orang momongan, saya mendapati perempuan itu tetap setia berjualan bubur. Tetap mengambil garis start di gang yang dahulu, untuk ketika pagi sudah nyaris pergi, ia menyunggi ebor-nya untuk berkeliling kampung. Di suatu tempat, ia berhenti karena di situ sudah menunggu sang pelanggan.

Keakraban saya dengannya masih tetap terjaga karena si kecil saya juga menyukai buburnya. Keakraban itu sungguh sampai segitunya sampai-sampai kamii tak saling tahu siapa nama masing-masing. Tak apalah, bubur telah menjadi pelebur dari itu semua.

Belum lama, sambil menunggu perempuan itu meladeni pesanan si bungsu saya, satu pertanyaan saya ajukan, “Sudah berapa lama Sampeyan berjualan bubur begini?”

Perempuan itu, yang selalu berkebaya dengan kain sarung motif batik Madura yang khas sebagai bawahannya, berkata, “Kalau dihitung-hitung, ada sudah kalau duapuluh sembilan tahun...”

Enteng saja ia menjawab begitu, seolah rentang waktu sepanjang itu baru dijalani kemarin sore. Selebihnya, saya gagal mendapati beban berlebih di wajahnya. Benarlah adanya, keikhlasan adalah peringan dari segala beban.

Bisa saja orang menilai omset dari berjualan bubur untungnya tak seberapa, tetapi kesetiaan mengelutinya hampir separuh umurnya paling tidak menjadi bukti, bahwa ada keberkahan rezeki dari ikhtiar yang ia lakoni selama ini. Secara rupiah mungkin memang tak seberapa, tetapi bukankah rezeki tidak melulu berupa uang? *****



Tiada Hal Mustahil


SEMUANYA tampak mustahil sebelum terlaksana.

Nelson Mandela (1918-2013).





Kamis, 12 Desember 2013

Santriwati Ibu


DULU rumah kami di dekat jalan raya, di seberang gedung SD Mlokorejo 1. Tetapi rumah itu dijual Ayah tahun 1987 (saat itu saya kelas 1 SMP), kemudian pindah ke tempat yang sekarang ini, yang agak masuk dari jalan raya. Seperti halnya di rumah pertama, di rumah yang selanjutnya itu pun lebih utama Ayah membangun sebuah musholla. Sementara rumah yang kami tinggali masih berdinding anyaman bambu, dinding musholla malah sudah pakai batu bata.

Pada awal-awal tinggal, seperti di musholla rumah yang dulu, banyak sekali anak sebaya saya yang mengaji, dengan Ibu sebagai guru untuk murid perempuannya. Getol sekali para orang tua mendorong anak-anaknya belajar agama sekali pun mereka sendiri lumayan awam. Ya, boleh dikatakan orang di sekitar rumah baru kami itu adalah kelompok Islam abangan. Mengaku Islam, tetapi kurang mengerti dan menjalani apa sejatinya ajaran Islam.

Ibu dan Ayah di depan musholla kami
yang sangat sederhana.

Kabar kurang menggembirakannya adalah, semakin tahun, semakin sedikit saja anak-anak di sekitar rumah yang mengaji. Ini, sepertinya, efek dari banyaknya TPA bagi anak-anak di desa kami, ditambah pemahaman para orang tua yang telah memandang cukup dengan hanya bejalar di situ, tanpa perlu menambah lagi kepada Ibu saya yang mungkin secara metode memang sudah ketinggalan zaman.

Sekian lama, setiap saya pulang kampung, selalu mendapati mushola menjadi berwajah sedih. Di situ hanya dipakai Ayah dan Ibu sendiri, dengan beberapa mushaf Al Quran yang tak kalah merananya karena jarang dipakai mendaras. Di sudut lain, tidak jauh dari pintu utara, ada drum yang dipotong dengan tubuh diolesi cat warna hijau, diletakkan tengkurap berdekatan dengan kotak kayu yang dicat warna serupa. Semua itu adalah perlengkapan merawat jenazah yang memang warga sepakat untuk menaruhnya di musholla kami.

Beberapa tahun belakangan ini, setiap saya mudik, saya dapati musholla kami sudah tidak terlalu sedih lagi. Ada lagi orang-orang yang mengaji. Bukan lagi anak-anak, tetapi nenek-nenek mereka yang rupanya di sisa usia sudah menyadari bekal apa yang harus disiapkan ketika 'pulang' nanti.

Karena baru belajar mengaji di saat usia sudah begitu senja, Ibu memilih tidak mengajari mereka membaca a-ba-ta-tsa, tetapi angsung to the point saja. Walau lidah mereka sudah begitu kaku melafadzkan aksara-aksara hijaiyah, tak apalah. Ibu lebih menekankan sistem hafalan dengan cara (seperti lagunya Kotak) pelan-pelan saja.

Syukur alhamdulillah, para santriwati yang secara usia semua di atas umur Ibu kini sedikit-sedikit sudah bisa 'mengaji'. Yang juga mengharukan adalah semangat mereka. Seringkali para santri manula itu sudah tiba di musholla kami di saat pagi masih sangat buta, di saat Ibu belum terjaga. Bahkan suara lantunan tarkhim dari pengeras suaranya pondok pesantren Bustanul Ulum belum kedengaran. Satu per satu santriwati datang berjalan kaki dengan tangan ringkih memegang payung karena hujan, demi sebuah keutamaan; sholat Shubuh berjamaah.


Pernah ketika saya pulang, suatu siang Ibu sedang menjadi imam. Tidak seperti lazimnya sholat Dhuhur berjamaah yang tanpa suara, ketika itu Ibu memimpin makmumnya dengan bacaan seperti ketika menjadi imam shalat Isya'.

Setelah selesai shalat, saat para makmumnya sudah pada pulang untuk datang lagi waktu Asyar nanti, saya bertanya kepada Ibu, “Bukankah kalau sholat Dhuhur itu harus tanpa suara, Bu?”

Ibu tersenyum, “Itu kalau makmumnya orang-orang yang sudah bisa bacaan sholat, lha kalau belum bisa seperti beliau-beliau itu bagaimana?”

Saya diam. Dan diam-diam mengerti maksud Ibu. Bahwa yang dilakukannya itu adalah dalam rangka mengajari. Untuk nanti, kalau para santrinya sudah bisa, pastilah Ibu mengimami secara lazimnya. *****


Rabu, 11 Desember 2013

Basa Basi


SECARA pasti saya tidak tahu arti dari kata basa-basi. Saya tidak punya kamus untuk mencari itu. Juga, saya belum pernah mendengar hal itu diudarakan jaringan radio Suzana pada program Ini Sebenarnya. Sesuai pemahaman saya, basa-basi adalah kata sifat yang berarti tidak sungguh-sungguh atau semata sebagai 'pemanis buatan'.

Makanya, ketika sebuah produk rokok mengaku sebagai yang pertama bermain di jenis Mild, yang paling rendah kandungan tar dan nikotinnya, ia memakai Bukan Masa-basi sebagai tagline-nya. Itu menandakan ia sungguh-sungguh dalam hal itu. Walau sekarang ia lebih sering beriklan dengan Go A head sebagai slogan baru, sungguh Bukan Basa-basi tetap saja diingat orang.

Banyak sekali basa-basi yang umum digunakan orang. Misalnya, ketika tamu pamitan pulang, tidak jarang tuan rumah mencegah dengan bilang, “Kok buru-buru amat.” Padahal bisa jadi sejatinya hatinya girang. Atau, “Wah, belum dibikinkan kopi kok sudah mau pulang,” padahal, di dapur sama sekali tak ada gula-kopi, sekaligus air saja belum dijerang.

Juga, ketika malu di hari raya didahului saudara tua bertamu ke rumah kita, basa-basi yang terjadi adalah, “Ini tadi baru akan berangkat ke rumah Sampeyan, wah bisa-bisa tadi kita salipan di jalan,” padahal sedari tadi ngendon sarungan di rumah karena baju kesayangan masih basah karena semalam kehujanan.

Begitu ampuhnya si basa-basi ini, sampai-sampai orang yang selamat dari kecelakaan motor pun sering memakainya. “Untung saya masih sempat salto dan meloncat tinggi-tinggi, Kalau tidak, entah sudah jadi apa saya,” Padahal yang terjadi sebenarnya adalah ia terlempar jauh karena kerasnya benturan.

Suatu hari, di hari raya ketupat, saya bertamu ke satu keluarga yang secara lokasi tidak jauh dengan sekolah saya dulu, yang di rumahnya saya sering bermain dalam rangka bolos sekolah. Lama bercengkerama , di dapur saya dengar ada suara mempersiapkan hidangan. Secara reflek perut saya kegirangan. Tetapi, belum ada tanda-tanda saya segera dipersilakan untuk makan.

Maaf, karena sudah lama jagongan, saya mau pamit pulang.”

Kalimat yang saya ucapkan barusan, sungguh berisiko menuai kegagalan. Iya kalau saya dicegah dan segera diminta lebih dulu makan sebelum pulang, lha kalau dibiarkan, bisa-bisa perut saya yang sudah kadung senang akan dilanda kekecewaan.

Untungnya basa-basi saja tadi termasuk jitu. Yang karenanya saya bisa segera makan ketupat berlauk opor ayam secara gratisan. *****

Selasa, 10 Desember 2013

Modus Penipu di Dalam Bus



KARENA pekerjaan, saya penah berbulan-bulan, saban hari naik bis Surabaya-Pandaan PP. Kala itu belum ada arteri baru Porong yang terbukti mampu meringankan beban jalan raya Porong. Waktu itu kemacetan sungguh mengerikan. Berangkat macet, pulang pun setali tiga uang. Bagi pengguna jalan, ketika itu raya Porong sungguh semenakutkan sesosok pocong. Untuk jurusan Malang, mulai Tugu Kuning laju kendaraan sudah seperti kura-kura. Kalau yang dari arah Malang, sejak Mojorejo macet-cet sudah sangat tidak jarang. Ini, adalah salah satu dampak dari luapan lumpur Lapindo yang tidak hanya mengubur kuburan, lahan pertanian, permukiman-perkampungan, pabrik-pabrik, namun juga menenggelamkan jalan bebas hambatan.

Suatu sore, bis Tentrem yang saya tumpangi gagal memberi rasa tentram. Jalanan yang luar biasa macet membuat semua penumpang berkeringat. Makanya, selepas dari itu, saat bis masuk ke mulut Tol Porong, semua penumpang merasa plong. Namun, di saat kami ingin menikmati perjalanan lanjutan ke Purabaya, kicau burung membuat suasana yang berangsur tentram menjadi kembali terusik.

Oh, rupanya ada seorang ibu membawa burung dengan hanya dibungkus  kertas bekas wadah semen dengan memberinya beberapa lubang. Suara ‘burung’ itu sungguh menawan. Tidak hanya berkicau, ia juga bisa menirukan Pancasila, ber-assalamualaikum bahkan mampu pula bersholawat badar. Jan edan tenan!

‘Sandiwara murahan’ yang kemudian dipertontonkan adalah, dialog antara ‘seorang penumpang’ dengan si ibu itu yang ujung-ujungnya berlanjut ke tawar-menawar. Tidak hanya seorang, ada beberapa ‘penumpang’ lain yang ikut meramaikan transaksi. Salah satu dari suara penawar itu sepertinya saya kenali. Makanya saya agak melongok untuk mencari tahu benar tidaknya. Dan benarlah adanya; lelaki gempal berkacamata hitam dan bertopi itu adalah seorang kawan lama. Dulu ia bekerja benar, kenapa sekarang ia terlibat dalam sandiwara berlakon burung di atas bis?

Ia manatap saya, dan kedipan matanya itu saya artikan agar saya tidak membongkar sindikat dengan modus yang sudah sangat tidak menarik itu. Saya ikuti saja maunya, sekaligus saya berdoa agar tidak ada penumpang yang tertipu ulah kawanannya. Syukurlah, doa saya dikabulkan Tuhan. Komplotan itu turun di Medaeng dengan tangan hampa.

oOo

Jumat sore (6 Desember kemarin), bersama Ayah dan Ibu saya berada dalam kabin bis Kuda Laut jurusan Jember-Banyuwangi. Bis sudah keluar terminal Tawangalun tapi masih ngetem di pinggir jalan. Di saat begitu, dari pintu belakang masuk dua orang lelaki. 

“Mana karcismu kalau memang kamu penumpang operan?” tanya lelaki pertama.

“Hilang bersama tas saya yang raib kebawa bis yang tadi,” lelaki kedua menjawab.

“Lalu, kamu ikut bis saya ini mau bayar pakai apa?” oh, rupanya lelaki pertama itu kebagian peran sebagai kru bis ini.

“Semua uang saya hilang, Pak. Saya hanya punya ini...” ia melepas jam tangannya yang berwarna kuning keemasan.

“Sini lihat,” lelaki pertama berkata. “Oh, ini jam mahal ini. Ini buatan Saudi, mengandung emas ini. Berapa ini kamu akan jual?”

“600 ribu sajalah, Pak. Asal bisa buat sangu  pulang. Padahal dulu, ini saya beli di Saudi kalau dirupiahkan setara dua setengah juta.”

Dialog berlanjut dengan inti agar ada penumpang beneran yang tertarik membeli karena lelaki pertama itu berlagak sejatinya pingin tapi kebetulan pas tidak punya uang.

Begitulah ulah para penipu di dalam bis. Dengan skenario yang monoton, dengan orang itu-itu juga yang memerankan, mustahillah awak bis tidak tahu. Tetapi kenapa mereka memilih diam, tentu ada alasan yang bisa disampaikan. Walau karena diamnya itu, bisa pula memunculkan kecurigaan yang bukan-bukan. Misalnya, para awak bis ikut pula kebagian.

“Kami tahu, tetapi bisa apa?” seorang awak bis saya dengarkan saat terlibat pembicaraan dengan seorang penumpang, di bangku sebelah saya. “kalau kami halangi aksi mereka, bisa-bisa kami yang celaka. Kalau tidak ban kami digembosi, kaca dipecah atau bentuk sabotase lain yang kami tak ingin alami...”

Seperti halnya komplotan ‘burung palsu’ yang gagal menggaet korban yang saya lihat dulu, penipuan ala penjahat terminal Tawangalun itu pun tanpa hasil ketika turun. 

Sama halnya tidak gampang membedakan mana pencari sumbangan beneran dan pengumpul sumbangan untuk dimakan sendiri yang mendatangi korban secara door to door, orang kehilangan beneran dan yang pura-pura kehilangan pun demikian. Sepertinya, makin sekarang, makin tak karuan pula cara orang dalam mencari makan. *****