saat-saat kutulis bagian tenmgah buku ini
di ujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai
di ujung kakinya
saat-saat tidak bisa menyelesaikan buku ini...
karena ia memberiku tidur panjang yang cantik
mati indah...
tapi meninggalkan ngilu dalam dan panjang
sehingga buku ini tidak pernah selesai
BEGITU sebaris puisi yang tertera
di back drop kecil di bawah tenda kerucut mungil di sudut
kanan depan rumah dr Ananto Sidohutomo. Back drop itu
kental dengan warna merah. Dengan tulisan besar yang lebih menonjol sebagai
tajuk dari gelaran gawe ini; Puisi untuk Bidadari.
Yahya Cholil Staquf, Lan Fang dan Gus Mus dalam sebuah acara Kopdar Terong Gosong di Rembang. |
Ya, saya bukanlah siapa-siapa. Tetapi, paling tidak, saya hadir ke sini
karena sebuah nama; Lan Fang. Kenalkah saya dengan perempuan hebat
kelahiran Banjarmasin 3 Maret 1970 itu? Tidak. Dan, ternyata, yang senasib
dengan saya tidak sedikit. Tetapi, walau tidak mengenal secara fisik
orangnya, bukan berarti saya –atau kami-- tidak mengenal karyanya,
tulisan-tulisannya, buku-bukunya.
Foto: Koleksi Sahabat Lan Fang |
Sementara di depan panggung, sederet dengan saya, ada perwakilan dari
penerbit Gramedia Pustaka Utama di kanan saya. Dan
di kiri, sekitar enam kursi dari saya, ada begawan sastra; bapak Suparto Brata.
Belum genap dua
Minggu cece Lan Fang berpulang. Ada sudah membuncah kerinduan
akan sosok yang meninggal tepat saat hari Natal ini.
rindu kami padamu , Lan Fang
rindu pohon randu
dihinggapi burung perindu
Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.
rindu kami padamu , Lan Fang
rindu pohon randu
dihinggapi burung perindu
Begitu Akhuiat mengungkapkan lewat puisi.
Sementara, “Lan Fang ini aneh. Dia hapal betul semua tokoh dalam
novel-novel saya. Padahal saya sendiri saja sudah lupa,” demikian kata Dukut
Imam Widodo (penulis buku-buku tentang Suroboyo. Diantaranya berjudul Surabaya
Tempo Doeloe dan Monggo Dipun Badog!).
Lan Fang bersama Komunitas Pecinta Sastra Pesantren Tebu Ireng (Kopi Sareng) Jombang. Foto: diambil dari akun FB mendiang Lan Fang. |
Lan Fang bersama sahabatnya, pemilik Titos Dupolo yang 'merangkap jabatan' sebagai sastrawan, M. Faizi. Foto diabadikan oleh Ovie A. Win. |
Tentu saja saya keliru. Karena, bisa jadi, kesedihan itu telah berlalu.
Kini yang terjadi adalah, sekalipun di sana Lan Fang tidak menjadi bidadari, ia
telah berteman para bidadari. Dalam titik ini, sebuah akhir hayat telah menjadi
sebentuk 'kematian yang melahirkan'. Kebersamaan, rasa saling empati, dan
cinta kasih.
Dengan begitu, apakah Lan Fang yang keturunan Thionghoa, Budha, mengajar
(sastra) di pesantren, dan juga berteman dengan siapa saja ( dari tukang tambal
ban, biksu, ulama, pendeta, sampai politikus, dll) sedang dalam perjalanan
menuju sorga?
Bukan tidak mungkin. Dalam baris terakhir puisinya yang berjudul Janji Puisi, Lan Fang bilang;
dan sederhana... *****
NB: tulisan ini sudah pernah saya posting pada dua minggu setelah Lan Fang berpulang. Saya muat lagi sekarang, sebagai kenangan dua tahun Bidadari itu pergi meninggalkan kita.
Lan Fang, kamu di mana sekarang? Ada foto saya di post ini
BalasHapusKemarin saya tanya dr. Ananto (tuan rumah acara Puisi untuk Bidadari kala itu), ternyata tak ada acara mengenang Lan Fang lagi di rumahnya.
HapusKarena saya tak tahu acara itu digelar di mana, jadinya saya unggah lagi posting lama saya itu.