Minggu, 15 Desember 2013

Kekuatan Sentuhan Tangan



SORE-SORE, hujan-hujan begini, dulu Ibu suka membikinkan kami jagung goreng. Bolehlah, kalau istilah sekarang dibilang popcorn. Namun popcorn ala Ibu adalah popcorn ndeso; jagung pipilan yang digoreng sangan, semacam wajan dari tanah liat. Si butiran-butiran jagung akan meletus disangrai begitu. Setelah matang, bentuknya banyak yang mlecur-mlecur efek meletus tadi, ia diletakkan pada wadah sekadarnya, untuk kemudian dinikmati bersama-sama.

Begitulah, bagi kami anak-anaknya, segala yang dimasak Ibu menjadi sesuatu yang istimewa. Boleh jadi bumbunya memang seadanya, dengan tanpa takaran yang ditimbang macam resep-resep yang dimuat di tabloid-tabloid wanita. Namun bahan-bahan macam jantung pisang, pelepah talas dan semacamnya itu menjadi hidangan nan nikmat kala disantap.

Jauh dari Ibu begini, saat kami anak-anaknya sudah saling berkeluarga dan hidup berpencar seperti –kata pepatah Jawa—gabah diinteri, salah satu rindu yang kadang-kadang mencubit-cubit hati adalah kangen akan olahan masakan Ibu. 

Rindu suara kami bisa membayarnya dengan menelepon, bagaimana untuk melunasi kekangenan lidah oleh lodeh bikinan Ibu, misalnya? Datang langsung untuk mengunjungi adalah hal yang masuk akal. Namun jarak dan waktu membuat itu tak bisa dipenuhi sewaktu-waktu. Padahal rindu datang kadang dengan seenaknya sendiri, secara ujug-ujug tak pandang saat.

Minggu pagi biasanya istri saya bertanya agar saya dimasakkan apa, dan hari ini saya pingin sarapan pakai pecek terong ala masakan Ibu. Lama sudah lidah ini kangen akan menu ini, tetapi racikan bumbu belum saya ketahui. Setelah tanya sana-sini, termasuk langsung kepada Ibu saat saya mudik seminggu yang lalu, ketemulah ‘ramuannya’: Terong dan tempe dikukus (kalau dibakar kian nikmat). Bumbu yang harus disiapkan: bawang merah dan bawang putih masing-masing  3 siung, 1 potong kencur seukuran ujung jari kelingking. Ditambah daun jeruk purut, merica secukupnya, cabe sesuai selera, garam dan gula juga secukupnya. Semua bumbu tadi disangrai (kalau Ibu di kampung membakar semua bumbu itu di api tungku). Jangan lupa pula parutan kelapa untuk diambil santannya.

Tidak tahu saya apakah menu ini ada dijual di warung, namun membayangkan saja bisa bikin liur saya berebut keluar dari lubang kelenjar.

Baiklah; proses selanjutnya adalah menguleg semua bumbu itu pada cobek. Setelah itu santan dimasukkan. (Agar  agak awet, air untuk memerasnya adalah air masak/hangat). Nah, setelah semua tercampur, masukkan terong dan tempe, lalu tekan-tekan dengan pengulek bumbu. Dan, taraaaa.... jadilah menu  spesial ala Ibu: Pecek terong dan tempe siap disantap.

Sarapan bermenu itu, tadi pagi, terasa nikmat . Walau kalau mau jujur, tentu saja ia hanya mirip masakan Ibu. Belum mak-plek  sama. 

Pada tubuh Ibu, kalau sorga diibaratkan ada di telapak kakinya, tentang rahasia kenikmatan masakan sepertinya terletak hanya pada sentuhan tangannya. *****


2 komentar:

  1. iya, Mas. Mungkin perlu diadakan penelitian tangan ibu bagi anaknya dan tangan istri bagi suaminya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha... jadi ingat guyonan Helmy Yahya. Dia bilang; di belakang suami sukses pasti ada istri yang hebat. Dan dibelakang istri yang sukses, pasti ada suami yang nelangsa.

      (Eh, apa hubungannya ya dengan komentar Sampeyan di atas?!)

      Hapus