KEAKRABAN
saya dengan perempuan berusia 60-an itu sudah terjadi sejak
bertahun-tahun silam. Sejak pertama saya datang ke kota ini untuk
meniti karir sebagai pekerja bangunan. Kala itu saya ikutan nguli
menggarap sebuah hunian vertikal/kondominium di kawasan Margorejo
Indah, sekira awal tahun 90-an.
Setiap
pagi, perempuan itu telah stand by di sudut gang, menunggu
pembeli datang. Memakai ebor, wadah dari anyaman bambu dengan
ukuran agak besar, ia menata jualannya di atas tempeh. Ada
tiwul, cenil/klanting, lupis, ketan, bubur sumsum, bubur beras,
'muntiara' dan tentu saja juruh, cairan kental berbahan gula
merah. Dengan aneka jenis jajanan itu, entah mengapa, orang lebih
mengenalnya sebagai tukang bubur naik haji saja.
Kala
masih jomblo dulu, sesekali saya menghampirinya. Kalau tidak dalam
rangka membeli cenil, ya untuk memberikan koran-koran bekas yang
terasa sudah menyesaki kamar kos saya. Saya berani memberikannya
karena saya tahu ia selalu melapisi daun pisang sebagai bungkus
utama, dengan kertas-kertas bekas. Kertas itu kadang buku-buku, atau
yang lebih sering saya lihat ya memakai kertas koran bekas.
Sekalipun
saya sangat menolak, biasanya perempuan itu memaksa saya menerima
sebungkus besar bubur campur sebagai barter dari koran yang saya
berikan.
Kini,
lebih limabelas tahun berselang, saat saya sudah pindah bermukim di
kelurahan sebelah, sudah berumah tangga dengan dua orang momongan,
saya mendapati perempuan itu tetap setia berjualan bubur. Tetap
mengambil garis start di gang yang dahulu, untuk ketika pagi sudah
nyaris pergi, ia menyunggi ebor-nya untuk berkeliling kampung.
Di suatu tempat, ia berhenti karena di situ sudah menunggu sang
pelanggan.
Keakraban
saya dengannya masih tetap terjaga karena si kecil saya juga menyukai
buburnya. Keakraban itu sungguh sampai segitunya sampai-sampai kamii
tak saling tahu siapa nama masing-masing. Tak apalah, bubur telah
menjadi pelebur dari itu semua.
Belum
lama, sambil menunggu perempuan itu meladeni pesanan si bungsu saya,
satu pertanyaan saya ajukan, “Sudah berapa lama Sampeyan
berjualan bubur begini?”
Perempuan
itu, yang selalu berkebaya dengan kain sarung motif batik Madura yang
khas sebagai bawahannya, berkata, “Kalau dihitung-hitung, ada sudah
kalau duapuluh sembilan tahun...”
Enteng
saja ia menjawab begitu, seolah rentang waktu sepanjang itu baru
dijalani kemarin sore. Selebihnya, saya gagal mendapati beban
berlebih di wajahnya. Benarlah adanya, keikhlasan adalah peringan
dari segala beban.
Bisa
saja orang menilai omset dari berjualan bubur untungnya tak seberapa,
tetapi kesetiaan mengelutinya hampir separuh umurnya paling tidak
menjadi bukti, bahwa ada keberkahan rezeki dari ikhtiar yang ia
lakoni selama ini. Secara rupiah mungkin memang tak seberapa, tetapi
bukankah rezeki tidak melulu berupa uang? *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar