Jumat, 13 Desember 2013

Tukang Bubur


KEAKRABAN saya dengan perempuan berusia 60-an itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun silam. Sejak pertama saya datang ke kota ini untuk meniti karir sebagai pekerja bangunan. Kala itu saya ikutan nguli menggarap sebuah hunian vertikal/kondominium di kawasan Margorejo Indah, sekira awal tahun 90-an.

Setiap pagi, perempuan itu telah stand by di sudut gang, menunggu pembeli datang. Memakai ebor, wadah dari anyaman bambu dengan ukuran agak besar, ia menata jualannya di atas tempeh. Ada tiwul, cenil/klanting, lupis, ketan, bubur sumsum, bubur beras, 'muntiara' dan tentu saja juruh, cairan kental berbahan gula merah. Dengan aneka jenis jajanan itu, entah mengapa, orang lebih mengenalnya sebagai tukang bubur naik haji saja.

Kala masih jomblo dulu, sesekali saya menghampirinya. Kalau tidak dalam rangka membeli cenil, ya untuk memberikan koran-koran bekas yang terasa sudah menyesaki kamar kos saya. Saya berani memberikannya karena saya tahu ia selalu melapisi daun pisang sebagai bungkus utama, dengan kertas-kertas bekas. Kertas itu kadang buku-buku, atau yang lebih sering saya lihat ya memakai kertas koran bekas.

Sekalipun saya sangat menolak, biasanya perempuan itu memaksa saya menerima sebungkus besar bubur campur sebagai barter dari koran yang saya berikan.

Kini, lebih limabelas tahun berselang, saat saya sudah pindah bermukim di kelurahan sebelah, sudah berumah tangga dengan dua orang momongan, saya mendapati perempuan itu tetap setia berjualan bubur. Tetap mengambil garis start di gang yang dahulu, untuk ketika pagi sudah nyaris pergi, ia menyunggi ebor-nya untuk berkeliling kampung. Di suatu tempat, ia berhenti karena di situ sudah menunggu sang pelanggan.

Keakraban saya dengannya masih tetap terjaga karena si kecil saya juga menyukai buburnya. Keakraban itu sungguh sampai segitunya sampai-sampai kamii tak saling tahu siapa nama masing-masing. Tak apalah, bubur telah menjadi pelebur dari itu semua.

Belum lama, sambil menunggu perempuan itu meladeni pesanan si bungsu saya, satu pertanyaan saya ajukan, “Sudah berapa lama Sampeyan berjualan bubur begini?”

Perempuan itu, yang selalu berkebaya dengan kain sarung motif batik Madura yang khas sebagai bawahannya, berkata, “Kalau dihitung-hitung, ada sudah kalau duapuluh sembilan tahun...”

Enteng saja ia menjawab begitu, seolah rentang waktu sepanjang itu baru dijalani kemarin sore. Selebihnya, saya gagal mendapati beban berlebih di wajahnya. Benarlah adanya, keikhlasan adalah peringan dari segala beban.

Bisa saja orang menilai omset dari berjualan bubur untungnya tak seberapa, tetapi kesetiaan mengelutinya hampir separuh umurnya paling tidak menjadi bukti, bahwa ada keberkahan rezeki dari ikhtiar yang ia lakoni selama ini. Secara rupiah mungkin memang tak seberapa, tetapi bukankah rezeki tidak melulu berupa uang? *****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar