KARENA pekerjaan, saya penah berbulan-bulan,
saban hari naik bis Surabaya-Pandaan PP. Kala itu belum ada arteri baru Porong
yang terbukti mampu meringankan beban jalan raya Porong. Waktu itu kemacetan
sungguh mengerikan. Berangkat macet, pulang pun setali tiga uang. Bagi pengguna
jalan, ketika itu raya Porong sungguh semenakutkan sesosok pocong. Untuk jurusan
Malang, mulai Tugu Kuning laju kendaraan sudah seperti kura-kura. Kalau yang
dari arah Malang, sejak Mojorejo macet-cet sudah sangat tidak jarang. Ini,
adalah salah satu dampak dari luapan lumpur Lapindo yang tidak hanya mengubur
kuburan, lahan pertanian, permukiman-perkampungan, pabrik-pabrik, namun juga
menenggelamkan jalan bebas hambatan.
Suatu sore,
bis Tentrem yang saya tumpangi gagal memberi rasa tentram. Jalanan yang luar
biasa macet membuat semua penumpang berkeringat. Makanya, selepas dari itu,
saat bis masuk ke mulut Tol Porong, semua penumpang merasa plong. Namun, di saat
kami ingin menikmati perjalanan lanjutan ke Purabaya, kicau burung membuat
suasana yang berangsur tentram menjadi kembali terusik.
Oh, rupanya
ada seorang ibu membawa burung dengan hanya dibungkus kertas bekas wadah semen dengan memberinya
beberapa lubang. Suara ‘burung’ itu sungguh menawan. Tidak hanya berkicau, ia
juga bisa menirukan Pancasila, ber-assalamualaikum bahkan mampu pula
bersholawat badar. Jan edan tenan!
‘Sandiwara murahan’
yang kemudian dipertontonkan adalah, dialog antara ‘seorang penumpang’ dengan
si ibu itu yang ujung-ujungnya berlanjut ke tawar-menawar. Tidak hanya seorang,
ada beberapa ‘penumpang’ lain yang ikut meramaikan transaksi. Salah satu dari
suara penawar itu sepertinya saya kenali. Makanya saya agak melongok untuk
mencari tahu benar tidaknya. Dan benarlah adanya; lelaki gempal berkacamata
hitam dan bertopi itu adalah seorang kawan lama. Dulu ia bekerja benar, kenapa
sekarang ia terlibat dalam sandiwara berlakon burung di atas bis?
Ia manatap
saya, dan kedipan matanya itu saya artikan agar saya tidak membongkar sindikat
dengan modus yang sudah sangat tidak menarik itu. Saya ikuti saja maunya,
sekaligus saya berdoa agar tidak ada penumpang yang tertipu ulah kawanannya. Syukurlah,
doa saya dikabulkan Tuhan. Komplotan itu turun di Medaeng dengan tangan hampa.
oOo
Jumat sore (6
Desember kemarin), bersama Ayah dan Ibu saya berada dalam kabin bis Kuda Laut
jurusan Jember-Banyuwangi. Bis sudah keluar terminal Tawangalun tapi masih
ngetem di pinggir jalan. Di saat begitu, dari pintu belakang masuk dua orang
lelaki.
“Mana
karcismu kalau memang kamu penumpang operan?” tanya lelaki pertama.
“Hilang
bersama tas saya yang raib kebawa bis yang tadi,” lelaki kedua menjawab.
“Lalu, kamu
ikut bis saya ini mau bayar pakai apa?” oh, rupanya lelaki pertama itu kebagian
peran sebagai kru bis ini.
“Semua uang
saya hilang, Pak. Saya hanya punya ini...” ia melepas jam tangannya yang berwarna kuning keemasan.
“Sini lihat,”
lelaki pertama berkata. “Oh, ini jam mahal ini. Ini buatan Saudi, mengandung
emas ini. Berapa ini kamu akan jual?”
“600 ribu sajalah,
Pak. Asal bisa buat sangu pulang. Padahal dulu, ini saya beli di
Saudi kalau dirupiahkan setara dua setengah juta.”
Dialog berlanjut
dengan inti agar ada penumpang beneran yang tertarik membeli karena lelaki
pertama itu berlagak sejatinya pingin tapi kebetulan pas tidak punya uang.
Begitulah ulah
para penipu di dalam bis. Dengan skenario yang monoton, dengan orang itu-itu
juga yang memerankan, mustahillah awak bis tidak tahu. Tetapi kenapa mereka
memilih diam, tentu ada alasan yang bisa disampaikan. Walau karena diamnya itu,
bisa pula memunculkan kecurigaan yang bukan-bukan. Misalnya, para awak bis ikut pula kebagian.
“Kami tahu,
tetapi bisa apa?” seorang awak bis saya dengarkan saat terlibat pembicaraan
dengan seorang penumpang, di bangku sebelah saya. “kalau kami halangi aksi
mereka, bisa-bisa kami yang celaka. Kalau tidak ban kami digembosi, kaca
dipecah atau bentuk sabotase lain yang kami tak ingin alami...”
Seperti halnya
komplotan ‘burung palsu’ yang gagal menggaet korban yang saya lihat dulu,
penipuan ala penjahat terminal Tawangalun itu pun tanpa hasil ketika turun.
Sama halnya
tidak gampang membedakan mana pencari sumbangan beneran dan pengumpul sumbangan
untuk dimakan sendiri yang mendatangi korban secara door to door, orang kehilangan beneran dan yang pura-pura kehilangan
pun demikian. Sepertinya, makin sekarang, makin tak karuan pula cara orang
dalam mencari makan. *****
dalam kasus pertama, saya pernah mengalami dan melihat langsung orang tertipu di daerah Tongas. Ia bisa merayu korban hanya dalam beberpa menit karena penipu naik dari Probolinggo dan sudah menghilang di Tongas
BalasHapusdalam kasus kedua, apakah ada keterlibatan kru bis?
Jawaban dari itu pertanyaan Sampeyan itu, sepertinya telah diungkap oleh kru bis yang sempat terlibat dialog dengan penumpang di sebelah saya, dalam perjalanan pulang dari Garahan ke kampung halaman.
BalasHapusSelain perkata begitu, ia juga memberi beberapa tips cara aman bepergian memakai moda transportasi bis. "Duduk yang aman itu," katanya, "persis di belakang sopir, atau juga di sudut kanan belakang. Di situ, dijamin relatif aman dari jangkauan orang-orang panjang tangan." Ia juga menambahkan untuk lebih waspada di titik-titik tertentu dalam perjalanan. Sayangnya, mana-mana saja tempat yang dimaksud, saya kurang ingat sekarang. Hehe...