Tampilkan postingan dengan label Foto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Foto. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 September 2012

Iklan Manatahan....

RUMAH saya tidak jauh jaraknya dari kampus Universitas Surabaya (Ubaya). Hal yang saya perhatikan belakangan ini, diantaranya, adalah banyak sekali rumah-rumah kost yang direnovasi sedemikian rupa menjadi bangunan berbentuk vertikal dengan arsitektur minimalis modern. Ini, menurut prakiraan saya, dikarenakan tidak jauh dari kampus Ubaya itu, telah berdiri megah sebuah apartement yang sepertinya memang membidik para mahasiswa sebagai segmentasi pasarnya. Metropolis, nama apartement itu, bagus sekali okupansinya. Dan disisi lain, hal itu mengurangi tingkat hunian rumah-rumah kost gaya lama. Ini membuat para pemilik rumah kost model jadul harus berbenah.


Mahasiswa, sesuai perkembangan zaman, lebih suka ‘kost’ di apartement.
Lihatlah, banyak sekali apartement baru dibangun di dekat sebuah kampus. Ambil contoh, di dekat kampus Universitas Petra di Siwalankerto, termasuk juga Universitas Ciputra yang membangun UC Apartement  di kawasan Surabaya Barat sana.


Di RMS (ah, jangan artikan itu sebagai Republik Maluku Selatan, tetapi Rungkut Mejoyo Selatan), wilayah terdekat kampus Ubaya, sekalipun ada beberapa yang merombak bangunan menjadi lebih tinggi dan modern, masih banyak sekali terdapat rumah-rumah besar dengan arsitektur tahun 80an yang difungsikan sebagai tempat kost mahasiswa.

Rumah-rumah kost konvensional itu, saya lihat diantaranya menempelkan tulisan di pintu pagar. Bunyi  tulisan itu ada yang macam begini; terima kost. Atau agak panjang dan lebih spesifik seperti; terima kost putri. Atau ada juga yang lebih komplet; terima kost, fasilitas OK. Kamar mandi sendiri-sendiri. Juga tersedia kamar VIIP. (Untuk tulisan yang terakhir itu, sialnya, saya sedang tidak membawa kamera.) Tentu yang dimaksud pemilik kost adalah; tersedia kamar VVIP. Hehe...

Seringkali kita dapati ‘iklan’ pemilik rumah kost itu tidak hanya ditempel di pagar rumah. Namun juga dipaku di pohon-pohon pinggir jalan. Jelas agar coverage area-nya makin luas, agar ‘dagangannya’ (baca: iklan rumah kost-nya) dibaca lebih banyak orang. Iklan-iklan itu selain terbuat dari kertas, agar lebih tahan lama, ada yang membuatnya dari selembar papan atau bahkan seng. Dari tulisan tangan sampai yang hasil olahan printer.

Di jalan Sedati dekat kawasan bandara Juanda, sore tadi saya dapati sebuah iklan tentang rumah kost yang berbahan seng. Bentuk tulisannya kurang rapi, seperti iklan-iklan dari ‘tukang talang’ atau ‘ahli kunci’ atau jasa ‘kuras WC’. Biasa saja. Yang tidak biasa adalah bunyi tulisannya. Kalau di rumah-rumah yang menerima kost, kata-katanya adalah ‘terima kost’. Namun, di Sedati ini tertera  ‘menerima rumah kost’.

Tidak tahu saya; maksudnya menerima kost, atau memang menerima rumah kost. Bukankah itu adalah dua hal yang berlainan arti? Tadinya itu saja yang saya perhatikan. Tetapi, semakin membaca, semakin tidak tahan saya untuk tidak membuatnya menjadi catatan pendek ini.

Apa pun nama orang, tentu tidak layak untuk ditertawakan. Dan ketika ada orang tertarik tawaran iklan itu, selain tertulis nomor-nomor telepon yang bisa dihubungi, juga ada nama pemilik iklan yang bisa disapa. Membaca nama itu, sungguh, saya ingin biasa-biasa saja. Tidak tersenyum, apalagi menertawainya. Saya tahan sekuat bibir saya, tapi... oh, tak tahan juga.
Mana tahan?! *****
Iklan Manatahan.
Foto: ewe.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Nopol Konyol

NOPOL kendaraan bermotor itu penting, makanya diadakan. Tidak hanya di sisi depan, tetapi juga belakang.
Karena sedemikian pentingnya, tidak semua orang diperbolehkan membuatnya.
Ada pihak yang berwenang. Plus segala peraturannya. Misalnya, tidak boleh bentuk huruf dan angka dimodifikasi seenak sendiri. Saking pentingnya, maka ia wajib ada. Kalau terlepas, misalnya karena baut kendor, ya harus dipasang lagi. Diikat pakai kawat pun boleh. Pakai tali rafia pun tidak dilarang. Asal angka dan hurufnya masih bisa terbaca.
Asal tidak seperti pengendara motor Honda GLMax yang saya jepret sore tadi di traffict light bundaran Satelit Surabaya. Yang mengikat plat nopolnya dengan tali rafia yang 'over dosis', sampai seolah ia hanya pamer tali itu, bukan nopolnya.
Foto: ewe.

Kamis, 24 November 2011

Ambon van Jombang (Dan Kisah Pencuri Nasi)

BEGITU sahabat saya yang satu ini mengirimi saya foto lama, langsung saja ingatan saya melayang-layang mengenang saat-saat bersamanya. Kalau mau semua ditulis tentulah akan sangat banyak. Tetapi kali ini, saya ingin menulis salah satu saja.

Seperti biasa, ketika itu, setelah sarapan di warung yang memakai sistem pasca bayar (maksudnya ngutang dulu untuk dibayar kemudian kalau sudah gajian), kami selalu membungkus satu lagi sebagai jatah makan siang. Karena, setelah bekerja, kami merasa malas jam duabelas siang harus turun ke warung untuk makan siang. Solusinya ya itu tadi, bawa nasi bungkus.

Hal itu pula yang dengan istiqomah dilakukan Suwaji, begitu nama sahabat saya yang asal Jombang, Jatim ini. Tetapi karena model rambut dan kulit yang hitam (ada manisnya sih, tetapi sedikit...) ia lebih beken dengan nama panggilan Ambon. Hal itu pulalah yang membuatnya enggan menyebut nama aslinya ketika diajak berkenalan dengan orang baru. Karena, ujung-ujungnya, kalau sudah akrab, tetap saja ia dipanggil Ambon. Sudahlah; apa arti sebuah nama, kata Shakespeare.

Untuk menyimpan nasi bungkus itu, biasanya kami taruh disembarang tempat. Intinya di unit mana kami bekerja, didekat situlah si nasi 'duduk manis'.

Pagi itu, setelah meletakkan nasi bungkusnya, si Ambon mulai menyiapkan alat-alat kerjanya. Bersiap melaksanakan tugas. Mengecat. Disaat itu, tiba-tiba muncul teman lain. Sutris namanya. Di tempat kerja ini ia termasuk rajin. Maksudnya rajin menjaili teman. Tetapi pagi itu rupanya ia sedang baik hati. Tidak seperti biasanya, ia membuka nasi bungkus didepan Ambon. Dan mengajaknya sarapan bareng.

Ambon, yang memang masih 'semego', ho-oh saja diajak makan sebungkus berdua. Hitung-hitung sebagai sarapan kedua. Karena, sebagai kuli bangunan seperti kami, untuk sekadar makan saja, memang harus matang hitungannya. Jangan sampai ketika gajian tiba, duit hanya habis untuk membayar hutang makan diwarung.

Lepas makan, Sutris dan Ambon bekerja seperti biasa. Hal yang tak biasa justru terjadi saat jam istirahat tiba. Disaat yang lain mengeluarkan nasi bungkusnya masing-masing, si Ambon malah masih sibuk mencari bekalnya. Yang ternyata telah raib dari tempat ia menyimpannya.

Melihat hal itu, si Sutris malah cengengesan. Dan, mulailah segala tuduhan dialamatkan kepadanya.

"Tris, kamu sembunyikan dimana nasiku?" tanya Ambon.

"Siapa juga yang menyembunyikan nasimu." bantah Sutris. "Wong nasi sudah dimakan kok dicari."

"Jadi?!"

"Iya, yang tadi kita makan bersama sebagai sarapan kedua itu lak nasimu..." celetuk Sutris.
KALAULAH gambar ini terlihat terlalu saling berjauhan, memang begitulah adanya. Walau tentu saja sebenarnya kami adalah sepasang sahabat kental dalam arti sesungguhnya. Gambar ini saya dapatkan via FB. Tak ingat saya kapan dan dimana foto itu dibuat. Termasuk siapa fotografernya. Tetapi dengan kaos biru itu, saya dan dia tentu masih dalam naungan PMD. (Sekalipun tak perlu saya sebut kepanjangannya, yakinlah itu bukan nama partai...)

Selasa, 22 November 2011

Juru Parkir


ADA tiga jenis (tukang) parkir yang sering saya temui; parkir resmi, setengah resmi dan yang terakhir ,parkir tidak resmi.

Yang resmi tentu saja yang ketika kita parkir, kita dikasih karcis dan lalu kita membayar sesuai nominal yang tertera pada karcis. Jenis ini dapat kita temui di mal-mal. Yang pengelolaan parkirnya sudah sedemiakian rapinya. Yang dikelola oleh pihak yang memang profesional dibidang perparkiran. Nama yang bisa kita temui, sebutlah misalnya Secure Parking. Dan karena uang yang mengalir dari jasa parkir terus saja mengalir, belakangan ISS (peruahaan yang sebelumnya lebih kondang sebagai jasa Cleaning Service) juga turut pula menerjuninya. Untuk jenis parkir yang dikelola, sering diperhitungkan menggunakan sistem  jam. Semakin lama parkir, semakin mahal pula yang harus dibayar. Tetapi, karena dikelola secara profesional, tentu kita tak ragu akan kemana aliran uang parkir yang kita bayar akan mengalir.

Jenis kedua, parkir setengah resmi. Ini sering saya alami ketika berbelanja di Rungkut Jaya, sebuah toserba di Surabaya. Benar memang, ketika saya parkir, saya mendapatkan karcis. Tetapi karcis yang saya terima sudah sedemikian kucelnya. Artinya, tangan saya ini entah sudah tangan keberapa menerima kertas kecil yang sama. Stempelnya resmi, tanggalnya benar, tetapi saya (dan semua yang parkir disitu) tidak ada yang mempermasalahkan ketika ditarik seribu rupiah sekali parkir padahal nominal yang terteta dikarcisnya hanya 500 rupiah saja.

Hitungannya tentu bisa mengelembung. Selain karena satu karcis bisa untuk sekian kali pakai (mungkin kalau tidak sobek si tukang parkir tidak menyobek lembar karcis baru), plus si jukir ‘laba’ 500 rupiah per motor per parkir. Hasilnya? Kapan-kapanlah kita hitung bersama ya...

Jenis ketiga, parkir tidak resmi. Ada? Banyak. Ketika kemarin sore saya membeli susu di toserba Remaja jalan Kutai Surabaya, saya dikenakan tarif seribu. Sama dengan yang di Rungkut Jaya. Bedanya, di Remaja saya tidak mendapatkan selembar karcis pun. Baik bekas atau baru. Artinya, kemana aliran uang parkir itu mengalir, tentu sedikit banyak bisa kita tebak.

Tetapi, dari tiga jenis juru parkir yang saya sebut tadi, ada sedikit kesamaannya; uniform. Ya, seragam tukang parkir nyaris sama. Yang agak beda tentu saja yang wilayah operasionalnya di mal. Tentu seragam karyawan bagian parkir lebih bagus ketimbang dua jenis lainnya. Karena kedua lainnya, selalu saja hanya baju atau kaos biasa, dibalut rompi. Kalau tidak oranye, ya biru warnanya. Tentang apakah rompi itu diperoleh secara ‘resmi’ atau tidak, masih bisa (kalau mau) ditelusuri.

Tentang hal itu saya punya contoh hangat.
Pagi tadi, ketika saya lewat jalan Kalirungkut, Surabaya, persis di depan pabrik Kedawung saya dapati sekumpulan PKL menggelar dagangannya. Biasa dan bukan hal baru. Bukan hal baru pula setiap keramaian, selalu saja ada tukang parkirnya. Artinya, bagi yang jeli menangkap peluang, selalu saja ada keadaan yang bisa mendatangkan uang.
Foto ini saya jepret tadi pagi (22 Nov. 2011)

Untuk area yang tak seberapa luas itu, saya temui ada dua juru parkir. Semua berompi biru. Akur, tampaknya. Tentang bagaimana membagi hasil, tentu belum saya tanya. Karena saya lebih tertarik melihat rompi yang mereka kenakan. Yang kanan, sekalipun tulisannya sudah tampak buram, masih bisa saya baca; Jukir Pemkot Surabaya. Jukir yang satunya, sekalipun tulisannya masih terang menyala, saya gagal mengejanya. Tetapi saya tahu, itu huruf Korea. Namun, apakah rompi itu di Korea sana dipakai oleh tukang parkir atau apa, tentu saya tak berani memastikan. Saya hanya nekad menduga, rompi lungsuran  itu ia dapatkan dari membeli ke penjual baju-baju bekas, yang kebetulan 'sampah' itu berasal dari negeri ginseng.

Salam. 



Sabtu, 05 November 2011

Iri? Kenapa Tidak!


ADA satu sifat, yang dalam pelajaran budi pekerti yang saya terima ketika SD dulu, harus dijauhi. Salah satunya adalah sifat iri. Sifat iri (sering dijodohkan dengan dengki) adalah hal yang termasuk buruk, kata pak Damiri. Beliau adalah  guru yang pegang mata pelajaran PMP saat saya kelas lima sekolah dasar.

 Tetapi bagaimana seandainya kita iri untuk berbuat baik?

Foto saya kali ini tentu bukan jawaban atas pertanyaan diatas. Tetapi jelas ada rasa iri yang teramat sangat ditunjukkan oleh orang tua sang notaris ini. Tentu, karena saya belum pernah ketemu langsung dengan bu Iri ini, saya tidak tahu perkiraan usianya. Saya hanya mereka-reka saja. Dalam rekaan itu, jangan-jangan beliau lebih muda dan lebih cantik dari istri saya. Dan itu membuat saya iri.

Rekaan berikutnya, sepertinya orang tua beliau sangat menjiwai lagu Gito Rollies yang dulu sempat kondang.

Sepatu putih menghiasi kaki si nona
Celana jeans menemani penampilannya

Begitu sepenggal syair lagu yang dibawakan oleh si kribo yang bersuara serak-serak seksi itu. Dalam lagu itu, Bangun Sugito, begitu nama asli vokalis band The Rollies ini, menggambarkan tentang kecantikan seorang nona bernama Astuti yang memesona.

Rupanya, (ingat, ini masih dalam rekaan saya) rasa iri yang sedemikian hebatnya itu diabadikan oleh orang tuanya untuk disematkan menjadi sebuah nama. Jadilah Iri Astutiek.

Klien notaris yang memesona ini, bila iri dengan kecantikan, profesi dan gelarnya, tentu tidak dilarang turut pula menyematkannya pada nama anaknya. Tetapi risikonya nama menjadi agak panjang sedikit. Iri-nya jadi dua kali; Iri Iri Astutiek.

Sekali lagi, ini hanya rekaan saya. Saya harap sampeyan tidak iri. 

Sebecak Bertiga


ADA  lagu dangdut lama yang masih saya ingat. Judul lagu yang dibawakan Ida Laila itu; Sepiring Berdua.Tetapi gambar yang saya jepret sore tadi ini tentu tidak dalam kondisi makan sepiring bertiga. Tetapi sebecak bertiga.

Rupanya si kambing lebih senang menghadap ke belakang. Mungkin takut mabuk perjalanan. Tetapi karena dua pantat kambing itu lebih dekat ke satu-satunya penumpang yang bukan kambing, tentu bapak itu yang akan mabuk perjalanan bila si mbeeek ini kentut.
Dan dua ekor kambing itu tidak dalam rangka naik becak tamasya berkeliling-keliling kota, untuk melihat-lihat pemandangan yang ada. Tidak. Dan naik becak itu, barangkali, adalah pengalaman pertama sekaligus terakhir bagi si kambing. Karena besok (6 November 2011), selepas sholat Idul Adha, keduanya akan menghadapi kenyataan akan di-kurban.

Semoga diterima disisiNya. Amin.

Musim Hujan

BARU kemarin sore  untuk pertama kalinya, Surabaya diguyur hujan lebat musim ini. Walau begitu, beberapa ruas jalan sudah tergenang.

"Sehabis maghrib, jalan HR Muhammad depan BCA, air sudah selutut," cerita Ateng Sunaryo, teman sekerja saya.

Begitulah. Setiap musim hujan kota ini selalu disibukkan oleh aktifitas penanganan banjir. Entahlah, sistem drainase yang kurang baik ataukah memang lahan resapan air yang telah sangat berkurang berubah menjadi aneka bangunan. Atau, hasil kolaborasi diantara keduanya.

Tetapi disisi lain, datangnya musim hujan membawa berkah tersendiri bagi penjual mantel yang berdagang dipinggir-pinggir jalan Surabaya ini.
Seperti terekam dalam foto yang saya ambil sore tadi (5 Nov. 2011) di seberang Bonbin. Tampak seorang pedagang dikerubuti calon pembeli.
Sore ini, yang bertepatan dengan takbir menyambut hari raya Idul Adha, Surabaya seharian hanya mendung saja. Tidak hujan. Tetapi seperti kata pepatah, tentu lebih baik kita sedia mantel sebelum hujan. Dan bila penjual es keliling lebih senang cuaca selalu panas, tentu tidak demikian dengan para penjual jas hujan tersebut. Ataukah mereka kalau tidak musim hujan adalah penjual es keliling?