Rabu, 27 Juni 2012

Angkot yang Kolot

SUDAH berangkatnya kesiangan, jalanan macet pula. Lengkap sudah. Risikonya yang pasti, menjadi terlambat tiba di tempat kerja.

Walaupun sudah main gas pol-rem pol (ngebut, maksudnya), tetapi kalau palang pintu kereta sedang turun dan sirinenya meraung-raung disusul suara ala Maria Untu yang mengingatkan setiap pengendara harus mendahulukan perjalanan kereta api, mau apa coba? Nekat, dengan menerobos palang perlintasan KA? Lhadalah, nasi goreng masih enak, Cak....

Dan setiap berangkat atau pulang kerja, palang pintu KA yang harus saya lewati ada dua; satu di dekat Giant Margorejo (kalau lagi lewat Panjangjiwo, palang KA ada di dekat perempatan Jagir) dan satu lagi di dekat RSI Wonokromo. Kalau nasib lagi apes, pas menjelang dua perlintasan itu kami mesti berhenti beberapa menit mendahulukan si kereta api. Tetapi, kemarin lusa, sekalipun tidak sedang ada kereta lewat, jalan depan RSI itu macetnya luar biasa. Bukan hanya yang dari arah Sidoarjo yang masuk kota Surabaya. Tetapi juga yang yang dari arah Ngagel belok kanan via bawah layang Mayangkara, sementara dilarang. Dan kelompok pengendara ini harus mengambil jalur lurus ke selatan untuk putar balik di U turn Margorejo Indah. Lumayan jauh, sekaligus lumayan panjang macetnya. Penyebabnya adalah, karena pihak KA sedang meninggikan beberapa centi rel yang melintang di jalan padat itu.

Syukurlah, pagi tadi perbaikan rel sudah selesai. Bekas galian kanan-kiri rel juga sudah diaspal rapi. Ini tentu melengkapi kelegaan saya karena dua palang pintu yang saya lewati semua sedang menganga lebar. Pun, rupanya lampu merah sedang tidak mau melotot ketika saya melintas. Sehingga, sekalipun saya berangkat agak kesiangan, saya berharap sampai kantor masih belum telat.

Rupanya doa saya tidak sepenuhnya terkabul. Selepas rel KA di depan RSI, kendaran merambat. Pikir saya, mungkin sedang ada kecelakaan. Makin mendekati terminal Joyoboyo, makin padat. Sambil berhenti dan berdiri, saya melongok jauh kedepan, clear; tidak ada laka-lantas.

Tetapi, di atas jalan yang dibawahnya melintas aliran sungai (kalau diukur, barangkali berjarak sekitar lima puluh meter dari terminal Joyoboyo), ada angkot yang rupanya sedang melanggar peraturan. Karena, setahu saya, di lokasi itu tidak dibolehkan menaik-turunkan penumpang. Namun angkot berjenis Suzuki Carry itu tak peduli. Toh, saya lihat, sedang tidak ada polisi di situ.

Yang saya tak habis pikir, tiga orang itu (saya curiga satu diantaranya adalah si sopir angkot) sedang memasukkan sebuah sepeda motor berjenis laki-laki (sepertinya bermerk Honda dari species Mega Pro) ke dalam angkot yang sedang kosong itu. Saya lihat, separuh tubuh motor itu sudah masuk lambung si Carry, tetapi setengah badan sisanya, tampak kesulitan turut dimasukkan. Tentu mereka sedang tidak membuat atraksi untuk memecahkan rekor sehingga bisa tercatat di Muri. Namun, dengan melakukan itu, sepertinya mereka sedang dalam keadaan terpaksa. Misalnya, motor itu mogok jadi terpaksa diangkut angkot. Bagi si sopir, terpaksa mau karena harganya cocok, sementara penumpang berjenis orang sedang sepi.

Karena terjebak macet yang diakibatkan kejadian konyol itu, sesampainya di tempat finger print absensi,. saya menyesal karena mendapati terlambat masuk kerja sekian menit. Yang juga agak saya sesali, saya tidak mengingat-ingat nopol angkot dan motor itu. Sesal berikutnya adalah, pagi ini saya sedang tidak membawa kamera, sehingga adegan angkot mengangkut motor itu tidak bisa saya tunjukkan kepada sampeyan. *****


Senin, 25 Juni 2012

Hari Tua Nenek Moses


DALAM beberapa kali, saya pernah saling curhat tentang hari nanti. Ketika kami, yang dalam bekerja lebih dominan pakai otot, menerawang masa pensiun yang suram. Tak mumpuni di keahlian lain, dan tiada mengerti nanti harus ngapain.

Terdengar sebagai sebentuk pesimisme yang lahir prematur. Tetapi, dalam obrolan itu, kami sepakat untuk membahas lebih dini. Agar bisa jaga-jaga. Tetapi rasa khawatir tanpa solusi pasti, lebih sering muncul sebagai pemburam bayangan yang memang sudah suram.

Sampai kemudian saya membaca tentang nenek Moses di buku Chicken Soup for the Woman’s Soul;
Ann Mary Moses merantau dalam usia 13 tahun. Dari perkawinannya ia melahirkan 10 anak, sekalipun yang hidup hanya 5. Untuk menghidupi anak-anaknya, tiada hari baginya tanpa bekerja keras. Di lingkungan pertanian miskin, dia berhasil menciptakan sedikit keindahan untuk dirinya sendiri; merenda.

Pada umur 78 tahun, jari-jarinya menjadi terlalu kaku memegang jarum untuk merenda. Tetapi ia masih jauh dari kata menyerah; menerima nasib sebagai nenek renta yang bergerak tuyuk-tuyuk. Ia menuju gudang dan mulai melukis. Untuk tahun pertama, hasil goresan tangannya hanya diberikan begitu saja. Atau dijual, sekalipun kalau laku harganya murah sekali. 

Tetapi pada usia 79 tahun, dia ‘ditemukan’ oleh dunia seni. Dan tercatatlah namanya dalam sejarah; dia menghasilkan lebih dari 2000 (dua ribu!) lukisan. Buku kumpulan karyanya, Twas the Night Before Christmas selesai pada ulang tahunnya yang ke 100!

Liah Kraft-Kristaine, perempuan yang punya hasrat besar menjadi penulis, merasa dirinya sudah uzur. Saat pernikahan dan karirnya di bidang hukum berakhir bersamaan, ia merasa tidak PD untuk berhasil di sisa umur. Dan ketika --tanpa sadar--sedang membiarkan sisa usia usai sia-sia, cerita tentang nenek Moses itu menggugahnya. Langsung saja ia menuju ke meja komputernya; menulis novel yang nyaris dilupakannya. Dan, delapan bulan kemudian, novelnya itu diterbitkan!

Mengkhawatirkan tetapi hanya dengan meratapi hari tua (apalagi itu dilakukan kala masih muda), terdengar sebagai sebuah tindakan konyol yang memalukan. Paling tidak, malu kepada nenek Moses, juga kepada nenek Liah Kraft-Kristaine. ******

Kamis, 21 Juni 2012

Usia dan Cinta

USIA tak melindungi Anda dari cinta. Tetapi cinta, sampai tingkat tertentu, melindungi Anda dari usia lanjut.

Jeanne Moreau.

Sabtu, 16 Juni 2012

'Iwak Peyek' untuk The Three Lions

MENYANYI adalah sesuatu yang sangat jarang sekali saya lakukan. Ini karena karakter suara saya yang sangat tidak layak dengar. Lebih-lebih lagi untuk lagu melankolis macam Tak Bisa Ke Lain Hati- nya Katon Bagaskara. Tetapi demi tulisan ini saya akan menyanyi. Terlebih tulisan ini saya bikin untuk tim jagoan saya di Euro 2012. Tetapi sampeyan salah kalau menyangka saya akan menyanyikan God Save the Queen, lagu kebangsaan Inggris itu.

Istilah ini akan terdengar beda-beda tipis saja. Kalau timnas Inggris berjuluk The Three Lions, lagu yang akan saya nyanyikan ini populer lewat auman Trio Macan. (Bukankah macan dan singa masih satu keluarga?) Begini lagunya;

iwak peyek, iwak peyek campur sosis
sampek tuwek, sampek elek tetep njago Inggris....

Jujur, sekalipun saya suka sepakbola, kesukakaan saya dalam status yang sedang-sedang saja. Tidak sampai menggilainya dalam taraf yang nyaris nggilani. Dan dalam mencintai sepakbola itu, sejak dulu saya suka Inggris. Kenapa?

Sejauh ini, menurut saya, Inggris adalah kiblat sepak bola dunia. Nyaris semua pemaian top dunia saat ini sedang (pernah) atau ingin merumput di negeri ratu Elizabeth ini. Bukti lainnya adalah, pada gelaran Euro 2012 di Polandia dan Ukraina ini, 74 dari 368 pemain yang terdaftar adalah para pesepakbola yang berlaga di Liga Inggris. Ini, kalau dihitung lagi, adalah 20%. Bandingkan, coba, dengan mereka yang merumput di La Liga Spanyol yang cuma 9%. Penyumbang pemain yang lumayan adalah dari Bundes Liga (13%). Sementara hanya 8% saja pemain yang berasal dari Serie A Italia.

Setelah empat tahun lalu Inggris yang hanya butuh hasil seri, secara memalukan malah kalah dari Kroasia (2-3) di stadion kebanggaan sendiri diWembly, London. Petaka itu pula yang membuatnya harus tidak ikut berlaga di putaran final Euro 2008 Austria-Swiss. Sekarang saatnya Gerard dkk. menjahit luka itu. Lupakan masa itu. Lupakan gol lucu ketika Gerry Neville memberi umpan tarik kepada kiper Paul Robinson agar ia menendang bola jauh kedepan. Tetapi, ajaib, ketika bola umpan pelan itu ditendang kaki kanan Robinson dengan keras, si kulit bundar malah meloncat karena permukaan lapangan yang nggronjal, seolah menghindar dari hajaran kaki kiper timnas Ingris kala itu. Dan, bola terus saja nggelundung masuk gawang. Own goal!

Ketika ditanya kenapa saya mecintai timnas Inggris, sebenarnya saya ingin menjawabnya dengan analisa yang sampai membuat mulut saya berbuih-buih. Tetapi sebagai pecinta bola yang alak-athung, tentu saya tak punya bahan memadai laiknya para komentator di televisi.

Tetapi begini saja; cinta itu (entah kepada sepakbola, basket, F1, kucing, batu akik, ayam atau bahkan istri), kadang-kadang akan agak sukar diterangkan. Misalnya, saya sangat mencintai istri saya walau --menurut orang lain-- ia tidak secantik Ashanty. Tetapi, kalaulah dibandingkan, bagi saya, tentu istri saya lebih 'sesuatu' ketimbang Syahrini.

Dalam sepak bola pun berlaku 'cinta buta' macam itu. Saya punya seorang teman, yang sekalipun Belanda nasibnya sudah diujung tanduk dan sudah boleh nyicil berkemas-kemas isi koper untuk bersiap pulang, tetap saja tak melunturkan cintanya dari si Oranye. Begitu pula saya. Di liga Inggris, walau MU selalu sebagai setan merah yang senantiasa main kesetanan, atau si Manchester City (tanpa Nurhaleza) belakangan tampil sebagai raksasa, cinta saya tetap kepada The Red, Liverpool.

Salah satu yang membuat saya menjagokan Inggris, ya karena dalam Euro kali ini, ada 6 pemain Liverpool yang dibawa coach Roy Hudgson. Ada Andy Carroll, Glen Jonhson, Steward Downing, Johan Handerson, Martin Kelly, dan dengan Steven Gerrard sebagai kapten timnas, lengkap sudah.

Saya tidak percaya ramalan-ramalan. Terlebih yang dilakukan oleh hewan. Biarlah si Nicholas, seekor Llama (hewan berkaki empat yang wajahnya mirip kuda tetapi tidak setinggi itu) disebuah peternakan memprediksi Inggris akan keluar sebagai jawara pada Euro kali ini. Saya tak terpengaruh itu. Saya –dengan adanya ramalan itu atau tidak,-- tetap satu kata; yakin Inggris juara!

Kalau keyakinan saya ini tidak terbukti juga tidak apa-apa. Sebagaimana seorang teman yang tetap jatuh hati kepada kesebelasan 'kompeni' Belanda, saya pun tak bisa ke lain hati dari si Three Lions. Terlebih, sebagian besar penggawanya berasal dari tim kesayangan saya; Liverpool.

Karenanya, kalaulah nasib mengharuskan Inggris menunda lagi untuk mengangkat trophy supremasi penguasa sepakbola tertinggi di benua biru kali ini, saya tetap akan menyanyi. Bukan lagu 'kebangsaan' Liverpool, You'll Never Walk Alone. Bukan. Tetapi tetap saja mars iwak peyek. Begini;

iwak peyek, iwak peyek sego tiwul
sampek tuwek, sampek elek ndukung Liverpool.... *****

Jumat, 15 Juni 2012

Mereka-reka Merek

KALAU tidak salah ingat, saya pernah membaca bahwa Kopiko, permen kopi yang mendaku dirinya sebagai yang nomor satu di dunia itu, awalnya akan dinamai Kopi-kopi. Tetapi, karena dirasa terlalu panjang, maka dipersingkat saja menjadi Kopiko. (Persis si Kuku Bima yang awalnya akan dinamakan Kuku Pancanaka.) Dan, sukses. Ini bisa dilihat dari para pengekornya (Ingat, Kino dalam tagline iklannya bilang, “Yang itu (mungkin yang dimaksud Kopiko) kuno, ini Kino.” Dan, dalam balapan bisnis permen kopi, sepertinya benar pengakuan si Kopiko; ia masih yang nomor satu. Walau lawan masih terus saja bermunculan. Belakangan, si Jelas Lebih Enak (baca: Kopi Kapal Api), turut pula meramaikan bisnis permen rasa kopi ini.

Ada banyak merek lain yang senasib sebenarnya. Sosro, salah satunya. Sebagai ahlinya teh, ketika dipandang masih tampil sorangan wae, muncullah para kompetitor dari pabrikan lain. Tetapi, sebagai pelopor teh botol (sampai-sampai ia menjadi seperti nama alias, persis seperti Aqua untuk segala merek air minum dalam kemasan), ia tetaplah ahlinya.

Hal yang juga saya perhatikan, entah menyadari tak kuat menyaingi si Sosro atau apa, ada pabrikan minuman serbuk dalam sachet dengan rasa teh, memilih nama Sisri untuk merek produknya. Padahal, (maaf, ini hanya pemahaman sempit saya), untuk bahasa Jawa, derajat I itu lebih kecil ketimbang O. (Contoh, mentil itu kecil, menthul itu agak besar dan mentol adalah yang lebih besar.)

Kalau ditanya apa pasangan terbaik minum kopi (atau sekadar ngemut permen kopi)? Tentu jawabnya merokok. Bahkan, dengan nada berseloroh, dalam status FBnya, seorang teman menulis begini,”Peringatan pemerintah, merokok dapat menyebabkan ngopi.” Begitulah, kopi dan rokok adalah pasangan yang serasi dari dulu hingga kini.

Dan untuk merek rokok, seringkali saya dapati berasal dari nama-nama yang sepele saja. Ingat saya, dulu ketika masih merokok, saya senang sekali menghisap yang merek Bentoel. Ini, kalau sampeyan tahu, adalah sejenis talas yang banyak sekali saya temui di kampung saya. Dan rupanya, para pembikin rokok, senang sekali menamai produk dengan menggunakan nama buah. Selain Bentoel, bisa kita temui Sukun. Kalau bentoel (karena merek-merek itu bikinan jaman bahuela, banyak sekali yang mengunakan ejaan lama) itu masuk dalam keluarga polo pendhem, Sukun termasuk buah dari keluarga polo gemandhul. Selain Sukun, buah gemandhul yang dipakai merek rokok adalah Jambu Bol. Jambu ya jambu. Tetapi menyebut bol, itu adalah (maaf) bagian dari dubur kita. Jadi, jambu bol adalah buah jambu yang mirip (maaf lagi) bol.

Tetapi, untuk rokok, kalau sebuah merek mampu eksis selama dua belas tahun baru dianggap berhasil. Dan dalam kategori ini, tentu Djarum termasuk didalamnya. Tetapi, lihatlah, apa istimewanya alat menjahit (baca: jarum) sehingga dijadikan merek. Seperti halnya Suket Teki, Oepet, Retjo Pentung, Grendel atau bahkan Gudang Garam sekalipun. Namun, untuk makna filosisnya tentu bisa dicari-carikan kemudian.

Belakangan, ketika banyak sekali home industry juga bikin rokok, makin banyaklah merek yang beredar di pasaran. Tetapi, sudah tidak sesepele merek rokok kawakan yang terbukti mampu bertahan hingga sekarang. (Ingat, Gudang Garam sudah berumur lebih setengah abad, dan Sampoerna, lewat si legendaris Dji Sam Soe, sudah berumur 99 tahun!) merek rokok sekarang terkesan lebih modern dan kebarat-baratan. Sebutlah misalnya, Neo, Geo, Wild dan bejibun merek lainnya.

Selain itu, entah meniru 234 (Dji Sam Soe) atau apa, ada beberapa yang memakai angka sebagai mereknya. Sebutlah misalnya, 369 (Sam Liok Kioe) atau Galan (999). Dulu, juga ada rokok yang berbungkus perpaduan warna merah-putih. Namanya Patma (perpaduan antara angka 4 dan 5).

Kalau mau, tentulah ada banyak merek lain yang bisa iseng-iseng kita omongkan. Tidak sebatas rokok, teh atau kopi. Dan, branding (untuk barang atau juga jasa), entah yang dibikin lewat riset mendalam atau yang memakai cara lain (semadi dan bertapa, misalnya. Ada gak ya?), adalah penting untuk membuat differensiasi produk. Tetapi untuk sukses dan merajai pasaran, tentu ada hal lain yang tak kalah perlu. Salah satu 'striker' andalannya adalah para marketer di lapangan.

Bagaimana menurut sampeyan? ****


Selasa, 12 Juni 2012

Kekuatan Wanita

SEORANG wanita bagaikan teh celup: Anda tak tahu kekuatannya sebelum Anda memasukkannya ke dalam air panas.

Nancy Reagan, mantan first lady Amerika Serikat.

Senin, 11 Juni 2012

Kopi, Korden dan Celana Dalam

BILA lantai keramik di coridor, kitchen atau laundry area yang tiba-tiba terangkat dan menggunung terlepas dari semennya, hal pertama yang saya duga adalah; dulu ketika akan memasangnya para tukang (yang bersistem borongan) tidak merendam dulu keramiknya. Itu pertama. Kedua, usia pasangan keramik lantai itu yang memang sudah belasan tahun.

Hal itu pulalah yang turut saya tanyakan ketika suatu kali saya diminta mendampingi seorang teman menginterview para pelamar kerja untuk posisi sebagai building maintenance di sebuah mall baru di kota ini. Tetapi, karena syarat yang diutamakan adalah yang fresh graduate, para pelamar itu sering tidak ngeh dengan pertanyaan saya. Kecuali seorang. Dari data yang ada, ia termasuk dalam fresh graduate. Dan dari penampilannya, kulit yang seperti punya saya, dari telapak tangan yang lumayan kasar saya rasa ketika berjabat tangan, sungguh ia saya curigai sebagai yang sebangsa setukang serabutan seperti saya.

Benarlah adanya. Karena dia expert, semua pertanyaan saya tentang dinding, paving stone, kaca, polycarbonate, sealant, cat dan semua bidang sipil di mall itu ia lahap habis. Termasuk tentang keramik yang menggelembung tanpa sebab pasti. Bahkan, untuk keramik ini saya malah mendapat ilmu tambahan. Begini katanya, “Untuk melepas keramik yang sudah terpasang di lantai dengan tidak pecah pun saya bisa.”

Tentu saja saya penasaran. “Bagaimana caranya?” tanya saya.

Dengan PD dia menjelaskan urutan yang harus dilakukan. Pertama-tama, meng-gerinda bagian nat keramik. Itu diperlukan agar cairan kopi bisa masuk ke bawah pasangan keramik. “Kopi?” saya heran. “Sembarang kopi atau hanya merek tertentu?!”

Dengan mantap ia mejawab semua bubuk kopi bisa dipakai. Tetapi, sampai sekarang, tiga tahun setelah interview itu, belum pernah saya terapkan ilmunya. Saya, dalam bekerja, memakai cara yang wajar-wajar saja. Terlebih, para costumer yang harus saya layani adalah para orang kaya. Kalaulah mereka akan mengganti lantai rumahnya, tak akan peduli sekalipun lantai lamanya kami pecahi semua. Karena barang itu tidak ia perlukan lagi.

Yang justru menjadi soal, agaknya, tabiat orang kaya yang kadang (tidak semua, sih) menyesakkan dada. Misalnya, suatu ketika saya harus mengganti roda korden. Sebagai orang kaya, jangan ditanya bagaimana keadaan rumahnya. Semua serba luks, pokoknya. Di lantai kamar tidurnya, terhampar kulit beruang yang bulu putihnya begitu lebat dan halus. Kordennya pun tebal dan tentu saja mahal. Karena tebal itu pula rodanya cepat rusak karena keberatan menanggung beban.

Mengganti roda korden sebetulnya adalah pekerjaan ringan. Tetapi, dengan kesadaran bahwa barang tebal nan bagus itu harganya mahal, menjadi beratlah beban mental saya.

Korden dan vitrage-nya saya turunkan. Baru kemudian saya lepas ruda lama untuk diganti roda baru sesuai lubang pengaitnya. Tetapi, demi agar nanti kalau ada roda yang rusak tidak perlu menurunkan keseluruhan bagian korden yang berat itu, saya kasihlah empat roda tambahan sebagai cadangan. Ketika terpasang, dan mendapati ada empat roda serep itu, si empunya rumah bertanya, “Untuk apa dikasih lebih?”

“Begini, pak Agar nanti kalau ada satu atau dua roda yang rusak, kita tidak perlu membongkar keselurahannya.” jawab saya.

“Sekarang aku mau tanya,” si tuan ini memang nada bicaranya sering 'sengak'. “Kamu pakai celana dalam berapa?”

“Satu, Pak” jawab saya, jujur.

Kok kamu tidak pakai empat,” semburnya. “Agar kalau yang satu kotor tidak perlu ganti baru.”

Sungguh, saya tidak tahu darimana ia dapat logika ngawur yang dipakainya itu. Tetapi, sebagai 'pelayan', saya turuti saja maunya. Saya lepas lagi empat biji roda serep tadi. Dan beralih ke kamar sebelah masih dengan pekerjaan yang sama. Dan sesuai kemauannya, sekalipun rodanya masih sisa, saya pasang saja sesuai gantungan yang ada.

Setelah mengemasi peralatan kerja, saya serahkan sisa roda kepada si tuan.

“Sisa berapa?” tanyanya.

“Delapan, pak.”

“Kok gak dipasang sekalian, agar nanti kalau ada yang rusak tidak perlu membongkar total dan tinggal mencantolkan saja,” enteng sekali dia berkata.

Tentu saja hati saya dongkol mendengarnya. Tapi saya bisa apa, coba? Dalam hati, saya dengan gemas bertanya,” Bapak pakai celana dalam berapa?” *****

Minggu, 10 Juni 2012

Gol Bunuh Diri


DALAM cerpen Urat Nadi karya Aris Kurniawan yang dimuat Jawa Pos hari ini (10 Juni 2012), kata pembuka cerita menggambarkan seseorang yang sedang patah hati menjadi nekad, menyayat urat nadi tangan sendiri. Sebuah upaya yang lazim dibilang bunuh diri. Mengharap perginya nyawa dari diri sendiri dengan cara 'swalayan'. Cara itu, sepertinya, masih kalah populer dibanding menenggak obat serangga atau yang lebih kuno dari itu; kendat! Gantung diri.

Belakangan, ketika televisi menjadi sebuah kotak ajaib yang tak tertahankan, dan abad selular yang membuat menara-menara bertebaran di segala penjuru, bunuh diri pun memanfaatkannya. Memanjat di ketinggian menara BTS, tetapi tidak segera meloncat untuk melenyapkan nyawa sendiri. Bisa jadi ia sedang menunggu datangnya reporter sebuah televisi yang sedang seharian tidak mendapatkan bahan liputan. Mengulur-ulur waktu seperti sebuah kesebelasan yang telah unggul selisih gol dengan lawan bebuyutannya sambil berharap si wasit segera meniup peluit. Tidak jadi bunuh diri, sekaligus --kalau beruntung--, aksinya akan tertayang di layar kaca dalam berita bertajuk upaya bunuh diri yang batal.

Dalam sepak bola bunuh diri bisa tidak searti dengan itu. Bukan 'membunuh' gawang sendiri dengan sengaja, walau ada juga yang nawaitu begitu. Cobalah sejenak saja meminta otak sampeyan untuk mengingat ketika Gary Neville menyodorkan bola dengan tendangan pelan mendatar ke arah kiper Paul Robinson agar ia menendangnya jauh ke depan. Siapa sangka, ketika Paul Robinson, dengan perhitungan matang sebagai kiper timnas Inggris pada pra kualifikasi Euro 2008, mengayunkan kaki kanan dan,... bum!, si kulit bundar justru meloncat setinggi sekitar tiga puluh centi gara-gara rumput yang tidak rata. Dan kaki kanan kiper yang terayun mantap itu hanya menendang angin. Dengan cantik bola dari Garry Neville itu masuk ke gawang sendiri. Own goal!.

Garry Neville melongo tak percaya. Begitu pula si Robinson, dan semua pemain the Three Lions. Akhirnya mereka kalah dari Kroasia 0-2 dengan cara yang memalukan.

Tetapi, ketika sebuah gol bunuh diri harus dibayar nyawa, ini tentu juga masih sampeyan ingat. Pada perhelatan sepak bola empat tahunan, Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, pemain bertahan Kolombia, Andreas Escobar, gagal menghalau tendangan pemain depan tuan rumah AS. Bola itu hanya mengenai ujung sepatunya dan malah membelokkan arah bola yang justru masuk ke gawang sendiri dengan kiper yang sudah salah langkah. Gol itu membuat Kolombia kalah 1-2 dan tersingkir dari perebutan tiket babak 16 besar.

Gol-gol bunuh diri macam itu sering sekali terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola. Tetapi, yang menimpa Andreas pasca gol bunuh dirinya itu sungguh sangat tak terduga. Berjarak sepuluh hari sejak peristiwa itu, ia ditembak mati di tanah kelahirannya, Medellin.

Lupakan Andreas Escobar, lupakan Paul Robinson. Kita punya Mursyid Effendy.
Pada piala Tiger 1998, Indonesia dan Thailand sama-sama tidak ingin bertemu tuan rumah Vietnam di babak selanjutnya. Makanya, ketika timnas Indonesia bertanding melawan Thailand, yang tersaji sungguh sebuah pertandingan sepak bola yang lucu. Kedua tim sama-sama tidak ingin menyerang lawan. Kedua tim sama-sama ingin kalah saja. Sebuah pemandangan yang sangat menjengkelkan.

Kejengkelan itu pula yang rupanya dirasakan oleh Mursyid Effendy; ketika bola sudah sekian lama digiring ke arena kiper sendiri, tetapi tidak juga pemain Thailand menendang masuk si kulit bundar sekalipun itu tidak dihalanagi oleh pemain Indonesia. Akhirnya, karena rasa geregetannya mungkin sudah menyentuh ubun-ubunnya, si Mursyid dengan mantap menendang bola ke gawang sendiri disusul selebrasi layaknya pencipta gol ke gawang lawan. Anehnya, dengan menang 1-0 begitu, Thailand malah susah.

Terbukti, sesuai prediksi, Thailand pun kalah oleh si tuan rumah Vietnam. Tetapi, rupanya Indonesia juga kualat, kalah oleh Singapura yang dianggap lebih enteng. Dikenakannya sanksi berat atas 'gol indah' itu kepada Mursyid, melengkapi derita lanjutan kala mendapati tim yang tadinya dianggap paling lemah, Singapura, justru tampil sebagai juara.****



Jumat, 08 Juni 2012

Senandung Masa Puber


(Tajuk tulisan ini seperti judul sinetron yang melejitkan Raffi Ahmad. Biarlah)

ADAKALANYA ingatan tentang masa lalu yang berseliweran di kepala, sesekali mampir di ketika saya SMP. Mengingat teman-teman lama, mengingat sekolah yang lokasinya sungguh sangat strategis; dekat pasar, tidak jauh dari kuburan dan mepet masjid. Pasar adalah tempat favorit ketika saya dan teman-teman yang bengal menghindarkan diri dari pelajaran bahasa Inggris, bahasa Arab atau Matermatika. Kuburan itu, yang letaknya hanya berbatas pagar dengan pasar dan hanya berjarak sekitar dua puluh lima meter dari sekolah, adalah tempat dimana kami memetik buah sirsak yang sudah tua, yang banyak sekali pohon sirsak tumbuh di areal pekuburan, untuk kemudian kami peram dengan menaruhnya di sudut sebuah cungkup. Dan dua atau tiga hari dari waktu meletakkannya itu, sudah matanglah si sirsak yang terasa segar sekali dinikmati ketika bolos siang. Tetapi jangan khawatir, ada masjid yang mengharuskan kami sholat duhur berjamaah. Saya sering sekali menguras bak besar tempat wudhunya, hanya (kok hanya?!) karena saya termasuk kelompok anak yang malas sekali bawa sarung. Dan lebih memilih berjamaah di 'kloter kedua' bersama sesama penganut faham 'meminjam sarung teman' yang telah sholat duluan. Dan itu, dianggap melanggar peraturan. Menguras bak wudhu lalu memenuhinya lagi dengan menimba air pakai kerekan sebagai hukuman, tetapi dengan 'cerdas' itu sekaligus kami nikmati sebagai kesenangan. (Dasar anak ndablek!) (Saat saya  SMP masih bercelana pendek, jadi untuk bersholat jamaah, kami harus sekalian bawa sarung dari rumah).

Waktu SMP pula ketika jerawat di wajah mulai muncul. Puber. Juga baju di bagian ketiak yang terus saja basah oleh keringat yang baunya begitu sedapnya. Saat-saat awal remaja itu dipersenang oleh teman-teman yang juga menyenangkan. Lucu. Dan cinta pertama!

Merokok di sekolah dengan sembunyi-sembunyi di belakang kelas, yang sebatang dihisap empat mulut secara bergantian, adalah juga sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Salah satu teman saya, Zaenal Mustofa namanya, ingin memamerkan keberanian merokok itu di depan kelas. Toh masih jam istirahat, pikirnya. Tetapi, seringkali karena keasyikan melakukan sesuatu, waktu terasa begitu singkat. Selebihnya, suara lain, bel masuk kelas, misalnya, kurang diperhatikan indera pendengaran. Setelah menghisap dengan kuat sehingga asap rokok memenuhi rongga mulutnya, si Zaenal ingin menghembuskan di depan kelas sebagai unjuk keberanian

Tetapi baru muncul di sudut kelas yang berbatas dengan tempat wudhu masjid, seorang guru, Pak Maryono namanya, sudah memergokinya sebagai yang telah terlambat masuk kelas. Dan satu pertanyaan, “Darimana kamu kok baru muncul?” membuat kedoknya terbongkar.

Dengan menjawab, “Dari belakang, Pak,” suara itu disertai kepulan asap rokok yang meloncat tak beraturan dari mulutnya.

Sungguh, si Zaenal bukanlah 'penjahat' yang tegar. Ia dengan tega 'mencokot' kami sehingga hukuman atas merokok itu harus kami jalani berempat secara berjamaah.****


Kamis, 07 Juni 2012

Bunga Ultah untuk Ibu

TENTANG ayah yang meninggalkan ibu sejak aku masih kecil karena terjerat cinta wanita lain, itu pun aku dengar dari orang lain. Tetapi, ketika dengan sebuah keberanian yang sekian lama kukumpulkan untuk menyuguhkan pertanyaan itu langsung kepada ibu, yang kudapati tetaplah ibu yang hanya menggeleng. Ia, sungguh tak ingin membagikan kisah sedih itu kepada siapapun, termasuk kepadaku, anak satu-satunya. Ia, sepertinya, tak ingin mengajariku membenci seseorang atau sesuatu yang mungkin ia benci. Ia ingin menikmatinya sendiri. Sampai kini.

Sejak kecil hidup berdua saja dengan ibu, menjadikan aku tahu lebih banyak tentang ibu dibanding siapa pun. Tentang malam-malam sampai aku tak tahan diserang kantuk, misalnya, kulihat ibu tetap menjahit. Satu-satunya sumber biaya hidup kami, ya dari mesin jahit itu. Dari mesin jahit tua berwarna hitam itu ibu membiayai sekolahku, dan dari mesin jahit itu pula, aku kira, ibu menjahit luka hatinya.

Telmi Bikin Telti

MINGGU pagi kemarin (3 Juni 2012) saya mengajak dua anak saya jalan-jalan pakai motor. (hehe, jalan-jalan kok pakai motor?). Acara ini mempunyai dua tujuan. Dan bukan dalam rangka olahraga, tentu saja. Pertama; agar istri saya bisa memasak dengan khusu' tanpa diganggu si bungsu yang suka sekali ngerusuhi apa pun yang dilakukan ibunya –memasak, cuci piring atau cuci baju---. Alasan kedua; saya sedang menunjukkan jalur jalan kalau nanti si sulung (sudah kelas enam sekarang, dan sedang menunggu pengumuman kelulusan) sekolah di MtsN di daerah Medokan Ayu.

Ini saya anggap penting. Karena, dengan memakai ketentuan dalam PPDB Surabaya ini, anak saya kemungkinan untuk diterima di SMP Negeri hanya 1%! Kenapa? Ya, karena sekalipun saya sudah sebagai warga 'negara' Surabaya, tetapi Kartu Keluarga saya baru diterbitkan Dispendukcapil tertanggal 17 Januari. Padahal, KK tertangga mulai 1 Januari 2012 kena peraturan itu.

Saya kira, memang ada orang tua yang karena ingin anaknya bisa mengenyam pendidikan sekolan negeri di Surabaya lalu beramai-ramai mengurus KK anaknya untuk –bisa-bisa-- dititipkan ke famili yang sudah sebagai warga Surabaya. Entah itu diatur sebgai anak angkat atau apa. Dan, sepertinya, aturan yang menganggap KK yang dikeluarkan mulai 1 Januari 2012 itu hanyalah sebagai untuk tujuan itu, tentu tidak seratus persen benar. Namun ketika dibikin pagu yang hanya 1% itu, saya bisa apa? Padahal saya pindah KK sungguh tidak karena itu. Tetapi karena saya bekerja disini, sekaligus telah punya rumah di kota ini. Tetapi sudahlah. Selalu ada harapan, sekaligus selalu ada keajaiban.

Sambil menunggu datangnya mukjizat itu, saya ke Medokan Ayu pagi itu dalam rangka mempersiapkan plan B. Jadi, rencana saya –dan sudah disetujui anak saya-- kalau memang tidak diterima di SMP Negeri, si Edwin saya masukkan ke MtsN. Harapannya begitu. Tetapi tentu memilih sekolah bukan sama dengan memilih channel televisi yang untuk menentukan tinggal menekan tombol pada remote control. Kalau terpaksa, bila gagal masuk MtsN yang konon prosesnya tidak online dan masih memakai sistem test, saya telah menyiapkan rencana terakhir. Dan itu butuh biaya lebih. Karena anak saya akan saya sekolahkan ke luar negeri. (Swasta maksudnya...Hehe...)

Dalam menunjukkan jalur ke sekolah MTsN itu (kalau nanti diterima sih), saya tunjukkan jalur dengan jarak tempuh terpendek. Saya perhitungkan itu karena tentu saya kasihan kalau terlalu jauh dia nanti dalam mengayuh sepeda. Jalurnya ini; dari depan SMA 17, belok kiri menuju U turn, masuk gang pertama, tembus MERR, belok kiri menuju U turn, masuk gang Pandugo lurus mengikuti jalan disisi sungai, dan sampailah sudah ke TKP. Dalam hitungan odometer motor saya, jarak sekali jalan dari rumah ke sekolah dibawah naungan Departeman Agama itu sekitar lima kilometer. Lumayanlah.

Pulang dari situ, saya lewat Rungkut Lor gang 9 dekat sekolah SD si Edwin. Di pinggir jalan, didekat pedagang soto yang pakai gerobak dorong yang rupanya sedang ada beberapa pembeli, saya melihat seorang sedang istirahat dari berolah raga sepeda. Wajahnya sudah sangat saya kenali. Lelaki itu memakai pakaian olah raga warna biru. Dan sekalipun tanpa pengawalan, lelaki itu adalah pejabat tinggi negara. Namanya; M Nuh. Ya, beliau adalah Mendiknas.

Saya mengangguk sebagai sapaan, dan anggukan bercampur senyuman itu saya terima sebagai balasan. Hanya itu. Dan saya terus saya mengendarai motor saya menuju pulang. Tetapi setelah saya pikir-pikir, tolol amat saya. Kenapa saya tidak ikutan nimbrung ngobrol bareng pak Menteri yang bersahaja itu. Setelah sekian jauh, barulah saya putar balik. Niat pertama tentu ingin ikut jagongan dengan pak M. Nuh. Niat susulannya lagi, saya hendak curhat tentang ketentuan penerimaan peserta didik baru sekolah negeri di Surabaya ini yang sepertinya agak kurang ikhlas saya terima.

Tetapi, saya benar-benar telat. Pak menteri sudah pergi. Sudah mengayuh sepedanya entah kemana. Saya kira beliau pulang ke rumahnya di Gunung Anyar, Rungkut.

Dalam beberapa hal, sering sekali saya telmi (telat mikir), sehingga mengakibatkan telti (telat bertindak). Saya kermudian menjadi ingat kalimat yang pernah disampaikan seorang ustad saat acara buka bersama di tempat kerja pada Ramadhan tahun lalu. Ustad yang masih muda itu, yang juga menjabat sebagai direktur lembaga sosial yang mempunyai usaha jasa Aqiqoh siapa saji (bahkan dalam brosurnya tertulis sebagai pelopor di bidang ini), antara lain bilang, “Untuk hal baik, laksanakan apa yang pertama kali ada di pikiran. Jangan suka menundanya.”******




Selasa, 05 Juni 2012

Arti Sebuah Tindakan

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN besar hanya berarti bagi pikiran bijaksana. Tetapi tindakan-tindakan besar berarti bagi seluruh manusia.

(Emily P. Bissell)