DALAM cerpen Urat Nadi karya Aris Kurniawan yang dimuat Jawa
Pos hari ini (10 Juni 2012), kata pembuka cerita menggambarkan
seseorang yang sedang patah hati menjadi nekad, menyayat urat nadi
tangan sendiri. Sebuah upaya yang lazim dibilang bunuh diri.
Mengharap perginya nyawa dari diri sendiri dengan cara 'swalayan'.
Cara itu, sepertinya, masih kalah populer dibanding menenggak obat
serangga atau yang lebih kuno dari itu; kendat! Gantung diri.
Belakangan, ketika televisi menjadi
sebuah kotak ajaib yang tak tertahankan, dan abad selular yang
membuat menara-menara bertebaran di segala penjuru, bunuh diri pun
memanfaatkannya. Memanjat di ketinggian menara BTS, tetapi tidak
segera meloncat untuk melenyapkan nyawa sendiri. Bisa jadi ia sedang
menunggu datangnya reporter sebuah televisi yang sedang seharian
tidak mendapatkan bahan liputan. Mengulur-ulur waktu seperti sebuah
kesebelasan yang telah unggul selisih gol dengan lawan bebuyutannya
sambil berharap si wasit segera meniup peluit. Tidak jadi bunuh diri, sekaligus --kalau beruntung--, aksinya akan tertayang di layar kaca dalam berita bertajuk upaya bunuh diri yang batal.
Dalam sepak bola bunuh diri bisa tidak
searti dengan itu. Bukan 'membunuh' gawang sendiri dengan sengaja, walau ada juga yang nawaitu begitu. Cobalah sejenak saja meminta otak sampeyan untuk mengingat
ketika Gary Neville menyodorkan bola dengan tendangan pelan mendatar
ke arah kiper Paul Robinson agar ia menendangnya jauh ke depan. Siapa
sangka, ketika Paul Robinson, dengan perhitungan matang sebagai kiper
timnas Inggris pada pra kualifikasi Euro 2008, mengayunkan kaki kanan
dan,... bum!, si kulit bundar justru meloncat setinggi sekitar tiga
puluh centi gara-gara rumput yang tidak rata. Dan kaki kanan kiper
yang terayun mantap itu hanya menendang angin. Dengan cantik bola
dari Garry Neville itu masuk ke gawang sendiri. Own goal!.
Garry Neville melongo tak percaya.
Begitu pula si Robinson, dan semua pemain the Three Lions. Akhirnya
mereka kalah dari Kroasia 0-2 dengan cara yang memalukan.
Tetapi, ketika sebuah gol bunuh diri
harus dibayar nyawa, ini tentu juga masih sampeyan ingat. Pada perhelatan
sepak bola empat tahunan, Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat,
pemain bertahan Kolombia, Andreas Escobar, gagal menghalau tendangan
pemain depan tuan rumah AS. Bola itu hanya mengenai ujung sepatunya
dan malah membelokkan arah bola yang justru masuk ke gawang sendiri
dengan kiper yang sudah salah langkah. Gol itu membuat Kolombia kalah
1-2 dan tersingkir dari perebutan tiket babak 16 besar.
Gol-gol bunuh diri macam itu sering
sekali terjadi dalam sebuah pertandingan sepak bola. Tetapi, yang
menimpa Andreas pasca gol bunuh dirinya itu sungguh sangat tak
terduga. Berjarak sepuluh hari sejak peristiwa itu, ia ditembak mati
di tanah kelahirannya, Medellin.
Lupakan Andreas Escobar, lupakan Paul
Robinson. Kita punya Mursyid Effendy.
Pada piala Tiger 1998, Indonesia dan
Thailand sama-sama tidak ingin bertemu tuan rumah Vietnam di babak
selanjutnya. Makanya, ketika timnas Indonesia bertanding melawan
Thailand, yang tersaji sungguh sebuah pertandingan sepak bola yang
lucu. Kedua tim sama-sama tidak ingin menyerang lawan. Kedua tim
sama-sama ingin kalah saja. Sebuah pemandangan yang sangat
menjengkelkan.
Kejengkelan itu pula yang rupanya
dirasakan oleh Mursyid Effendy; ketika bola sudah sekian lama
digiring ke arena kiper sendiri, tetapi tidak juga pemain Thailand
menendang masuk si kulit bundar sekalipun itu tidak dihalanagi oleh
pemain Indonesia. Akhirnya, karena rasa geregetannya mungkin sudah
menyentuh ubun-ubunnya, si Mursyid dengan mantap menendang bola ke
gawang sendiri disusul selebrasi layaknya pencipta gol ke gawang
lawan. Anehnya, dengan menang 1-0 begitu, Thailand malah susah.
Terbukti, sesuai prediksi, Thailand pun
kalah oleh si tuan rumah Vietnam. Tetapi, rupanya Indonesia juga
kualat, kalah oleh Singapura yang dianggap lebih enteng. Dikenakannya
sanksi berat atas 'gol indah' itu kepada Mursyid, melengkapi derita
lanjutan kala mendapati tim yang tadinya dianggap paling lemah,
Singapura, justru tampil sebagai juara.****
Makasih, Mas, sudah menyinggung opening cerpen saya. Salam.
BalasHapusAris Kurniawan
Makasih juga telah mampir ke blog saya yang teramat sederhana ini.
HapusSalam juga.
Edi Winarno.