TENTANG ayah yang meninggalkan ibu sejak aku masih kecil
karena terjerat cinta wanita lain, itu pun aku dengar dari orang
lain. Tetapi, ketika dengan sebuah keberanian yang sekian lama
kukumpulkan untuk menyuguhkan pertanyaan itu langsung kepada ibu,
yang kudapati tetaplah ibu yang hanya menggeleng. Ia, sungguh tak
ingin membagikan kisah sedih itu kepada siapapun, termasuk kepadaku,
anak satu-satunya. Ia, sepertinya, tak ingin mengajariku membenci
seseorang atau sesuatu yang mungkin ia benci. Ia ingin menikmatinya
sendiri. Sampai kini.
Sejak kecil hidup berdua saja dengan ibu, menjadikan aku tahu lebih
banyak tentang ibu dibanding siapa pun. Tentang malam-malam sampai
aku tak tahan diserang kantuk, misalnya, kulihat ibu tetap menjahit.
Satu-satunya sumber biaya hidup kami, ya dari mesin jahit itu. Dari
mesin jahit tua berwarna hitam itu ibu membiayai sekolahku, dan dari
mesin jahit itu pula, aku kira, ibu menjahit luka hatinya.
Sekarang, ketika aku telah bersuami dan memiliki bidadari kecil yang
kembar, itu juga salah satu yang membuat ibu makin melupakan lukanya.
Ingat aku, ketika ulang tahun putri kembarku itu. Sekian hari ibu
dengan penuh cinta menjahitkan baju ulang tahun bermotif bunga, dengan renda warna merah dibeberapa bagian sebagai pemanisnya.
Sungguh, tak terlukiskan dengan kata ketika dua anakku itu memilih
mengenakannya dengan bangga dan bahagia di hari ultahya ketimbang
baju yang telah dibelikan ayahnya.
Besok pagi ulang tahun ibu, dan kami –aku, suami dan anak
kembarku-- telah sibuk dengan hadiah ulang tahun untuk ibu. Besok,
aku dan suami sepakat untuk memberi kejutan. Kami telah lama melihat
kaki ibu terlalu tua untuk menginjak pedal mesin jahit, sehingga kami
(dengan menyisihkan dari penghasilan suamiku yang tak seberapa) membeli
mesin jahit baru dengan tenaga listrik agar ibu bisa tetap menyalurkan
kesukaannya menjahit tanpa harus mengeluarkan tenaga lebih. Sedang
kedua anak kembarku, si Wina telah diam-diam, tanpa sepengetahuan
Yangti (sebutan untuk neneknya) telah membuat selembar lukisan bunga,
sedangkan Weni telah menulis sebaris puisi.
Aku membayangkan, tentu ibu akan menangis haru menerima hadiah dari
kami. Bukan karena bentuknya. Tetapi sebuah persembahan dari hati,
tentu akan lebih punya arti. Sekalipun begitu, tetap saja aku bersiap
untuk hanya dijadikan nomor kesekian. Karena, sejak beberapa tahun
ini, tujuh ulang tahun terakhir ibu seingatku, ada persembahan lain
yang tak kalah selalu membuat ibu menerka-nerka. Entah dalam apa;
bahagia atau seribu tanya yang tak juga ketemu jawabnya.
Bunga.
Sejak dulu ibu suka bunya. Di ruang depan, ibu sering membeli seikat bunga sedap malam. Menaruhnya di vas dari keramik dengan air di seperempat tubuhnya, agar si bunga tidak terlalu cepat layu, sehingga aroma wanginya berhari-hari menyerbaki ruang tamu rumah kami yang tak seberapa besar. Dan, setiap pagi di ulang tahun ibu, kehitung sejak tuhuh tahun lalu, seorang tukang bunga mengantarkan seikat bunga sedap malam terbaik, beserta secarik kertas ucapan selamat ulang tahun untuk ibu. Itu saja. Tanpa nama pengirimnya.
Sejak dulu ibu suka bunya. Di ruang depan, ibu sering membeli seikat bunga sedap malam. Menaruhnya di vas dari keramik dengan air di seperempat tubuhnya, agar si bunga tidak terlalu cepat layu, sehingga aroma wanginya berhari-hari menyerbaki ruang tamu rumah kami yang tak seberapa besar. Dan, setiap pagi di ulang tahun ibu, kehitung sejak tuhuh tahun lalu, seorang tukang bunga mengantarkan seikat bunga sedap malam terbaik, beserta secarik kertas ucapan selamat ulang tahun untuk ibu. Itu saja. Tanpa nama pengirimnya.
Karena penasaran, aku pernah mendatangai toko bunga tempat seikat
sedap malam itu dibeli, untuk menanyakan siapa yang membeli dan
meminta mengantarkannya untuk ibu. Tetapi, “Maaf, kami telah
sepakat untuk tidak memberitahukannya kepada siapapun,” kata wanita
cantik pemilik toko bunga itu. Bahkan untuk agar menyebutkan si
pembeli itu seorang laki-laki atau perempuan pun, senyumannya adalah
jawabannya. Selebihnya, aku hanya pulang tanpa hasil.
Tahun-tahun berikutnya pun sama.
“Pasti orang yang mengirimi ibu bunga setiap hari ulang tahunnya
itu adalah orang yang istimewa,” kata suamiku. “Ibu sebagai yang
istimewa atau sebaliknya, peluangnya sama besarnya.”
Tentu aku iyakan pendapat suamiku itu. Bisa jadi, bunga itu sebagai
ungkapan terima kasih atas segala kebaikan ibu kepada si pengirim
itu. Atau, tidak tertutup kemungkinan bunga itu sebagai sarana
meminta maaf atas kesalahan yang pernah diperbuatnya kepada ibu.
Atau (lagi), sebuah ungkapan cinta. Tetapi dari siapa? Pak Johan
tetangga depan rumah yang telah hidup menduda sekian lama, ataukan
dokter Iwan yang ketika ibu sakit setahun yang lalu teramat perhatian
merawat ibu? Oh, tidak, tidak. Bunga itu selalu dikirim sejak tujuh
tahun lalu, jauh hari sebelum ibu mengenal dokter Iwan, juga jauh
hari sebelum pak Johan membeli rumah yang letaknya hanya dibatasi
jalan di depan rumah kami.
--**--
KAMI tidak terbiasa merayakan ulang tahun dalam kemasan yang
berlebihan. Sebentuk kua tart sederhana, lilin dan hadiah-hadiah
kecil saja. Itu aku pelajari sejak dulu dari ibu. Dari setiap ulang
tahunku. Seterusnya kuulangi untuk setiap ulang tahun anak kembarku,
ulang tahun pernikahanku yang tahun ini memasuki tahun ke delapan.
Maka, ketika hari ini ibu merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh dua, aku tahu ibu tak mengharapkan hadiah berlebih dari kami. Dan
benarlah adanya dugaanku; ketika pagi-pagi sekali Wina menyerahkan
lukisan bunga, disusul puisi yang dibacakan dengan ketulusan hati
oleh Weni, kulihat mata ibu berkaca-kaca; bahagia. Juga ketika
suamiku mengajak ibu menuju ruang samping tempat biasa ibu mengisi
hari-harinya dengan menjahit apa saja (taplak meja, baju anakku yang
agak sobek, kancing baju suamiku yang terlepas dan semacamya) mata
ibu dibalik kacamatanya sekali lagi melelehkan bahagia bahkan sebelum
suamiku membuka kain penutup mesin jahit baru yang malam-malam ketika
ibu sedang tidur, ditata sendiri sedemikian rupa oleh suamiku.
Dan tangis bahagia itu, kemudian kami ikuti ketika satu persatu
secara bergantian ibu memeluk dan mencium kami. Setiap ulang tahun
ibu selalu berlaku begitu. Tetapi, kami tidak pernah kehabisan
airmata kebahagiaan macam itu.
Namun kulihat mata ibu menyiratkan ada sesuatu yang belum lengkap.
Segera saja aku menuju pintu depan, dan sia-sia. Belum ada pengantar
bunga yang datang. Ya, biasanya, jam segini seikat bunga yang entah
dari siapa itu sudah diantar. Aku maklum yang ada di pikiran ibu.
Sesuatu, yang sekalipun sebelumnya tidak dikendaki, bila datang
bertubi-tubi dalam waktu yang selalu sama, tentu kemudian tidak
menjadi kesalahan ketika lalu diharapkan.
Sampai sore, sampai senja tiba, tak jua datang sang pengantar bunga.
Dengan duduk dikursi teras yang sesekali matanya dilemparkannya ke
jalan depan rumah, aku tahu ibu sedang menunggu.
Ibu berdiri dari duduknya, dan aku ikut keluar mendekatinya ketika
sebuah taksi berhenti di jalan depan rumah kami. Seorang lelaki tua
berjaket tebal yang kelihatan sebagai pembungkus tubuhnya yang
ringkih, dengan syal warna agak gelap menutupi lehernya, dengan
rambut penuh uban, guratan-guratan diwajah yang terlihat abstrak,
tetap berdiri di pinggir jalan ketika taksi yang mengantarnya itu
sudah pergi. Seikat bunga tergenggam ditangannya. Kulihat mata ibu.
Dingin. Tak kutemukan apa-apa didalamnya. Ah, ibu terlalu pintar
menyembunyikan sebongkah perasaan.
Untuk beberapa saat lamanya kami seakan sebagai batu, sebagai patung.
Dan baru kembali memiliki nyawa ketika lelaki berjaket tebal itu
melangkah dengan ayunan kaki yang ragu-ragu. Kembali kulirik mata
ibu; dan kembali mata itu tetap yang tadi kudapati.
Langkah ragu-ragu lelaki tua itu berhenti dibibir teras, disebelum
undakan terbawah teras rumah kami yang hanya memiliki tiga trap Dari
jarak sebegitu, kulihat mata lelaki itu keruh. Entah oleh apa. Tetapi
aku yakin ibu tahu mata keruh itu sedang mengatakan apa.
Kami kembali seakan sebagai batu, sebagai patung. Untuk beberapa
saat. Dan baru kembali memiliki nyawa ketika tangan lelaki itu
menjulurkan seikat bunga kepada ibu. “Maaf kalau selama ini
membuatmu menerka-nerka tentang seikat bunga disetiap ulang
tahunmu...” kata lelaki yang menurut taksiranku seusia ibu tetapi tubuhnya terlihat lebih tua dari umur sesungguhnya.
“Aku sudah mendugamu,” kata ibu dengan nada yang datar saja
sambil menerima seikat bunga.
Kulihat mata lelaki tua itu makin keruh. Dan ketika kulirik lagi mata
dibalik kacamata ibu, tetap saja seperti tadi; bening.
“Terima kasih kau selalu ingat ulang tahunku...” kata ibu.
Tetapi, aku tak tahu kenapa ibu sejauh ini belum menyilakan lelaki
itu untuk masuk ke rumah. Bukankah ia tamu?
“Ibu, mungkin lebih baik kita bicara didalam saja ya?” mohonku.
“Oh, tidak usah, Nak,” potong lelaki itu. “Terima kasih. Aku
tidak lama, kok...”
Mata ibu yang bening itu, semakin bening oleh air yang melapisinya
tipis. Kemudian mengumpul disudutnya, dan lalu menetes.
Lelaki tua berjaket tebal itu sorot keruh matanya makin tak
kumengerti. Setak mengerti aku akan arti air mata ibu yang
mengaliriri pipinya yang mulai keriput.. Ibu memang tidak pernah
mengajariku membenci yang ia benci. Dan, bisa jadi, lelaki itu
teramat ibu benci. Tetapi tentu aku tak punya alasan untuk ikut
membencinya. Maka, ketika ibu tidak mencegah saat ia pamit pulang,
aku hanya bisa diam. Dan memandangi punggung lelaki bermata keruh itu
melangkah dalam ayunan yang seragu-ragu datangnya tadi.
“Katakan padaku, Bu, siapa laki-laki itu?” rontaku lirih. “Dan
kenapa ibu tidak mengajaknya masuk rumah? Apa salah laki-laki itu
kepada ibu?”
Ibu memelukku. Dalam tangis yang tertahan, ibu berkata,
“Lelaki itu ayahmu, Nak..”*****
*)tentang pengirim bunga yang merahasiakan dirinya, dan dugaan-dugaan atasnya, inspirasinya itu saya dapat dari salah satu kisah dalam buku Chicken Soup for the Woman's Soul.
*)tentang pengirim bunga yang merahasiakan dirinya, dan dugaan-dugaan atasnya, inspirasinya itu saya dapat dari salah satu kisah dalam buku Chicken Soup for the Woman's Soul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar