BILA lantai keramik di coridor,
kitchen atau laundry area yang tiba-tiba terangkat dan menggunung
terlepas dari semennya, hal pertama yang saya duga adalah; dulu
ketika akan memasangnya para tukang (yang bersistem borongan) tidak
merendam dulu keramiknya. Itu pertama. Kedua, usia pasangan keramik
lantai itu yang memang sudah belasan tahun.
Hal itu pulalah yang turut saya
tanyakan ketika suatu kali saya diminta mendampingi seorang teman
menginterview para pelamar kerja untuk posisi sebagai building
maintenance di sebuah mall baru di kota ini. Tetapi, karena
syarat yang diutamakan adalah yang fresh graduate, para
pelamar itu sering tidak ngeh dengan pertanyaan saya. Kecuali
seorang. Dari data yang ada, ia termasuk dalam fresh graduate.
Dan dari penampilannya, kulit yang seperti punya saya, dari telapak
tangan yang lumayan kasar saya rasa ketika berjabat tangan, sungguh
ia saya curigai sebagai yang sebangsa setukang serabutan seperti
saya.
Benarlah adanya. Karena dia expert,
semua pertanyaan saya tentang dinding, paving stone, kaca,
polycarbonate, sealant, cat dan semua bidang sipil di mall itu ia
lahap habis. Termasuk tentang keramik yang menggelembung tanpa sebab
pasti. Bahkan, untuk keramik ini saya malah mendapat ilmu tambahan.
Begini katanya, “Untuk melepas keramik yang sudah terpasang di
lantai dengan tidak pecah pun saya bisa.”
Tentu saja saya penasaran. “Bagaimana
caranya?” tanya saya.
Dengan PD dia menjelaskan urutan yang
harus dilakukan. Pertama-tama, meng-gerinda bagian nat keramik. Itu
diperlukan agar cairan kopi bisa masuk ke bawah pasangan keramik.
“Kopi?” saya heran. “Sembarang kopi atau hanya merek
tertentu?!”
Dengan mantap ia mejawab semua bubuk
kopi bisa dipakai. Tetapi, sampai sekarang, tiga tahun setelah
interview itu, belum pernah saya terapkan ilmunya. Saya, dalam
bekerja, memakai cara yang wajar-wajar saja. Terlebih, para costumer
yang harus saya layani adalah para orang kaya. Kalaulah mereka akan
mengganti lantai rumahnya, tak akan peduli sekalipun lantai lamanya
kami pecahi semua. Karena barang itu tidak ia perlukan lagi.
Yang justru menjadi soal, agaknya,
tabiat orang kaya yang kadang (tidak semua, sih) menyesakkan
dada. Misalnya, suatu ketika saya harus mengganti roda korden.
Sebagai orang kaya, jangan ditanya bagaimana keadaan rumahnya. Semua
serba luks, pokoknya. Di lantai kamar tidurnya, terhampar kulit
beruang yang bulu putihnya begitu lebat dan halus. Kordennya pun
tebal dan tentu saja mahal. Karena tebal itu pula rodanya cepat rusak
karena keberatan menanggung beban.
Mengganti roda korden sebetulnya adalah
pekerjaan ringan. Tetapi, dengan kesadaran bahwa barang tebal nan
bagus itu harganya mahal, menjadi beratlah beban mental saya.
Korden dan vitrage-nya saya turunkan.
Baru kemudian saya lepas ruda lama untuk diganti roda baru sesuai
lubang pengaitnya. Tetapi, demi agar nanti kalau ada roda yang rusak
tidak perlu menurunkan keseluruhan bagian korden yang berat itu, saya
kasihlah empat roda tambahan sebagai cadangan. Ketika terpasang, dan
mendapati ada empat roda serep itu, si empunya rumah bertanya, “Untuk
apa dikasih lebih?”
“Begini, pak Agar nanti kalau ada
satu atau dua roda yang rusak, kita tidak perlu membongkar
keselurahannya.” jawab saya.
“Sekarang aku mau tanya,” si tuan
ini memang nada bicaranya sering 'sengak'. “Kamu pakai celana dalam
berapa?”
“Satu, Pak” jawab saya, jujur.
“Kok kamu tidak pakai empat,”
semburnya. “Agar kalau yang satu kotor tidak perlu ganti baru.”
Sungguh, saya tidak tahu darimana ia dapat logika ngawur
yang dipakainya itu. Tetapi, sebagai 'pelayan', saya turuti saja
maunya. Saya lepas lagi empat biji roda serep tadi. Dan beralih ke
kamar sebelah masih dengan pekerjaan yang sama. Dan sesuai
kemauannya, sekalipun rodanya masih sisa, saya pasang saja sesuai
gantungan yang ada.
Setelah mengemasi peralatan kerja, saya
serahkan sisa roda kepada si tuan.
“Sisa berapa?” tanyanya.
“Delapan, pak.”
“Kok gak dipasang sekalian, agar
nanti kalau ada yang rusak tidak perlu membongkar total dan tinggal
mencantolkan saja,” enteng sekali dia berkata.
Tentu saja hati saya dongkol
mendengarnya. Tapi saya bisa apa, coba? Dalam hati, saya dengan gemas
bertanya,” Bapak pakai celana dalam berapa?” *****
Benaran tu mas membongkar keramik dgn kopi?.. Pakai bubuk kopi atau cairan kopinya?.. Rencana mw buktiinnya ni mas biar ada bahan buat postingan saya di www.perumahan-asri.blogspot.com
BalasHapus