DALAM beberapa
kali, saya pernah saling curhat tentang hari nanti. Ketika kami, yang dalam bekerja
lebih dominan pakai otot, menerawang masa pensiun yang suram. Tak mumpuni di keahlian
lain, dan tiada mengerti nanti harus ngapain.
Terdengar sebagai sebentuk pesimisme yang lahir prematur. Tetapi,
dalam obrolan itu, kami sepakat untuk membahas lebih dini. Agar bisa jaga-jaga.
Tetapi rasa khawatir tanpa solusi pasti, lebih sering muncul sebagai pemburam
bayangan yang memang sudah suram.
Sampai kemudian saya membaca tentang nenek Moses di buku Chicken Soup for the Woman’s Soul;
Ann Mary Moses merantau dalam usia 13 tahun. Dari perkawinannya ia melahirkan 10 anak, sekalipun yang hidup hanya 5. Untuk menghidupi anak-anaknya, tiada hari baginya tanpa bekerja keras. Di lingkungan pertanian miskin, dia berhasil menciptakan sedikit keindahan untuk dirinya sendiri; merenda.
Ann Mary Moses merantau dalam usia 13 tahun. Dari perkawinannya ia melahirkan 10 anak, sekalipun yang hidup hanya 5. Untuk menghidupi anak-anaknya, tiada hari baginya tanpa bekerja keras. Di lingkungan pertanian miskin, dia berhasil menciptakan sedikit keindahan untuk dirinya sendiri; merenda.
Pada umur 78 tahun, jari-jarinya menjadi terlalu kaku memegang
jarum untuk merenda. Tetapi ia masih jauh dari kata menyerah; menerima nasib
sebagai nenek renta yang bergerak tuyuk-tuyuk.
Ia menuju gudang dan mulai melukis. Untuk tahun pertama, hasil goresan
tangannya hanya diberikan begitu saja. Atau dijual, sekalipun kalau laku harganya
murah sekali.
Tetapi pada usia 79 tahun, dia ‘ditemukan’ oleh dunia seni. Dan
tercatatlah namanya dalam sejarah; dia menghasilkan lebih dari 2000 (dua ribu!)
lukisan. Buku kumpulan karyanya, Twas the
Night Before Christmas selesai pada ulang tahunnya yang ke 100!
Liah Kraft-Kristaine, perempuan yang punya hasrat besar menjadi penulis, merasa dirinya sudah uzur. Saat pernikahan dan karirnya di bidang hukum berakhir bersamaan, ia merasa tidak PD untuk berhasil di sisa umur. Dan ketika --tanpa sadar--sedang membiarkan sisa usia usai sia-sia, cerita tentang nenek Moses itu menggugahnya. Langsung saja ia menuju ke meja komputernya; menulis novel yang nyaris dilupakannya. Dan, delapan bulan kemudian, novelnya itu diterbitkan!
Liah Kraft-Kristaine, perempuan yang punya hasrat besar menjadi penulis, merasa dirinya sudah uzur. Saat pernikahan dan karirnya di bidang hukum berakhir bersamaan, ia merasa tidak PD untuk berhasil di sisa umur. Dan ketika --tanpa sadar--sedang membiarkan sisa usia usai sia-sia, cerita tentang nenek Moses itu menggugahnya. Langsung saja ia menuju ke meja komputernya; menulis novel yang nyaris dilupakannya. Dan, delapan bulan kemudian, novelnya itu diterbitkan!
Mengkhawatirkan tetapi hanya dengan meratapi hari tua (apalagi itu dilakukan kala masih muda), terdengar
sebagai sebuah tindakan konyol yang memalukan. Paling tidak, malu kepada nenek
Moses, juga kepada nenek Liah Kraft-Kristaine. ******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar