Kamis, 28 Juli 2011

Flexi vs Esia; Dalam Perang Iklan

“RUMAHNYA disewakan apa dijual, pak?”

“Dua-duanya bisa, pak.”

“Ada berapa lantai?”

“Dua lantai”

“Yang lebih tinggi ada?”

“Tiga lantai?”

“Yang lebih tinggi lagi?”

Huk, bapak ini mau beli rumah apa tiang listrik, se?”

"Saya ini mau beli rumah tinggi, soalnya saya pakai bukan telepon biasa."

Itu hanya penggalan iklan radio sebuah operator CDMA, yang jelas-jelas ‘menyerang’ kompetitornya. Lewat bahasa iklan dengan aksen yang Jawa Timur banget, sekaligus yang menohok. Tohokan itu ada pada kalimat selanjutnya pada dialog itu; ”Cik geleme se dibujuki bukan telepon biasa.” (kok mau-maunya sih ditipu bukan telepon biasa.)

Nah. Jelas sudah siapa lawan yang menyerangnya.
Dan, kalau mau sedikit saja mencermati, perang operator seluler (CDMA maupun GSM) memang luar biasa sengit. Tidak hanya dalam layanan dan tarif, tetapi tentu saja dalam iklan. Contohnya ya head to head antara Flexi vs Esia. Karena pemain CDMA lain (Star One, Fren, Smart, Ceria ) sepertinya tertinggal beberapa lap di belakang dalam 'balapan' ini.

Sebagai yang pertama (sampai-sampai orang menyebut Flexi untuk setiap jenis CDMA, seperti orang menyebut Aqua untuk segala jenis air mineral) tentu tidak tinggal diam. Harus ada yang ditata ulang. Dalam hal ini saya ingin membahas dari sisi bahasa iklan, dan tentu saja termasuk tagline-nya.

Flexi, yang mengusung slogan ‘bukan telepon biasa’ jelas-jelas menjadi santapan empuk sang lawan untuk meledeknya. Seperti yang dilakukan Esia. Konotasi yang hendak dibangun, ’ya memang bukan telepon biasa, makanya bla-bla-bla...dst.’ Karena, sekali lagi, kalau telepon biasa itu ya mesti sinyal selalu bagus, dan gak sering putus. Seperti yang terlihat iklan Esia versi televisi yang dibintangi Ade Rai.

Digambarkan disitu, Ade Rai, dengan badan kekar penuh otot, berpakaian hijau (identik warna dasar Esia) mampu menarik beberapa orang dalam tarik tambang melawan yang berpakaian kuning, hijau, merah, warna khas Flexi. ”Telepon putus, kami ganti!” kata Ade, masih dalam iklan.

Tak hendak menelusur apa benar penggantian itu memang terjadi atau tidak, saya justru lebih tertarik mencermati yang dilakukan Flexi menanggapi serangan ampuh sang Esia yang bertubi-tubi.

Dua saja.
Pertama; Flexi merubah tampilan logonya. Lebih simpel. Dengan warna dasar biru dan tulisan Flexi warna putih di dalamnya. Lihat, ia lebih terasa praktis dibanding model lama yang ‘kaku’ dengan tampilan banyak warna.(Hijau, kuning, merah; seperti warna parpol dominan di negeri ini. Hehehe...)

Kedua, ini dia; slogan. Tak lagi ‘bukan telepon biasa’, tetapi ‘Lebih Irit Kan!'

Ia dibikin sebagai penegas; bahwa Flexi sebagai yang teririt.

Tetapi, saya yang tak terlampau pinter dalam hal bahasa ini, berulang-ulang mendengar kata ‘Lebih Irit Kan!’ selalu gagal memahami lebih dalam. Gara-garanya, ada tanda seru di akhir kata. Karena, dalam tangkapan pendengaran saya, samar-samar kalimat itu sebagai kalimat tanya.



Saya bukan pengguna Esia, juga tidak memakai Flexi.

Tetapi, menurut saya, kalimat itu (yang ada tanda seru, tetapi bernada tanya --menurut kuping saya, sih--) bukan tidak mungkin untuk ditengok ulang. Karena, sebagai kalimat tanya; kalimat Lebih Irit Kan! bisa saja dijawab 'Tidak' oleh sang kompetitor.

Dan, saya pikir, kata “pasti lebih irit” terkesan lebih aman sebagai slogan.

Salam.

Minggu, 24 Juli 2011

Sisi Lain

SEMOGA ini bukan menjadi lebaran terakhir. Semoga semua sehat,aku juga sehat, anak-anakmu juga sehat...,” itu pesan ibu ketika aku, suami dan kedua anakku pamit pulang selepas mengunjunginya lebaran tahun kemarin. Selalu begitu. Saban lebaran.

Kuhitung, telah dua belas lebaran. Sejak aku tinggal tidak bersama ibu. Sejak mengikuti mas Dewo. Dua belas tahun. Dan terasa baru kemarin saja. Padahal Ika sudah besar. Seusia perkawinanku . Dan Dwika, dua tahun selisihnya dengan Ika. Mereka,anak-anakku itu, harta yang ternilai. Tentu itu, bagi siapapun ibu.
Apalagi aku bagi ibu. Karena aku hanya anak satu-satunya.

Mas Dewo, lelaki itu yang mampu memisahkan aku dengan ibu. Duabelas tahun lalu. Setamatku dari SMA. Dan aku tahu, ibu amat terpaksa melepasku. Karena tanpa aku, ibu hanya akan berdua saja dirumah besar itu. Berdua dengan bapak. Dirumah joglo peninggalan eyangku.

Malam itu, dua belas tahun lalu, bapak nyaris saja menamparku. Menampar anak semata wayangnya ini. Untung ada ibu. Yang rela meyerahkan dirinya untuk ditampar bapak, daripada diriku. Dan bapak malah duduk. Menangis. Lelaki itu menangis, ya menangis. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

“Kamu tahu, nduk. Bapakmu terluka. Amat terluka hatinya,” kata ibu.

Aku menangis. Bahkan ini sebagai lanjutan dari tangisku sebelum bapak menangis tadi. Tangis yang entah maknanya apa. Tapi, sambil menangis itu, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu tindakan bapak selanjutnya. Meneruskan ingin menamparku, dan itu tidak akan kuhindari kalau terjadi. Atau malah menyuruhku seperti yang dikehendaki mas Dewo; aborsi.

“Apa salah bapakmu ini, nduk, sampai-sampai harus menghadapi keadaan begini ini?!” suara bapak lirih tapi sangat jelas ada nada kecewa didalamnya.

Aku diam. Ibu juga diam. Malam juga semakin hening terasa.

Bapak lunglai duduk di kursi. Tak punya kekuatan sepertinya. Tak terlihat lagi raut wajah merahnya saat nyaris menamparku. Aku menghambur ke dadanya. Dalam tangis yang tentu tak berguna. Tangis yang mungkin malah ditertawakan janin dalam kandunganku.

Sungguh, betapa malunya bapak dan ibu atas kehamilanku.
Aku, satu-satunya buah hatinya, yang baru tamat SMA, sudah berbadan dua. Dan malam jahanam perpisahan sekolah adalah awalnya. Dan Dewo, sahabatku, pelakunya.
Malam yang diam terluka dia. Tapi mau bagaimana, malam terasa berhenti. Seperti langkah asa ibu-bapak yang membentur tembok buntu.

“Nak, bagaimanapun engkau adalah calon ayah. Siap atau tidak siap, engkau harus siap,” kata bapak saat kupaksa Dewo menemui beliau.

Dewo menunduk.

“Bagaimana?” tanya bapak.
“Iya,pak.”

“Iya bagaimana?”

“Saya akan nikahi Rina ,pak.”

***

Tak terasa itu dua belas tahun lalu. Tak terasa pula, sudah tujuh tahun bapak tiada. Ibu sendiri saja sekarang. Dan aku merasa, telah gagal menjadi anak yang baik untuk kesekian kalinya. Seharusnya aku menemani ibu di hari-hari tuanya. Tidak malah berada jauh begini. Yang hanya sesekali saja menengoknya. Dan selalu merasa tidak punya waktu untuk ibu. Walau begitu, saat lebaran aku selalu kesana. Selalu. Karena aku tahu, saat-saat itu jugalah yang ditunggu ibu.

“Sudah, jangan terlalu pikirkan ibu. Ibu baik-baik saja kok.”

“Tapi ibu kan sendiri.” rengekku,saat terakhir mengunjunginya pada pertengahan tahun kemarin. Saat khaul bapakku.

“Nduk, berbakti kepada suami itu utama bagi seorang istri. Dan ibu ingin kamu bisa melakukan itu sepenuh hatimu.”

Aku merangsek ke dada ibu. Seperti bayi yang hendak menyusu. Sementara di halaman depan, mas Dewo dan anak-anakku riang memetik rambutan.

Ibu tersenyum melihatnya. Melihat suami dan anak-anakku.

“Melihat kamu bahagia, ibu juga bahagia, nduk. Kalau saja bapakmu masih ada, ia tentu juga senang melihatmu bahagia.”

Aku masih betah berada di dada ibu. Agar ibu tahu aku bahagia. Sekalipun tentu ada sisi lain yang aku sembunyikan. Karena, bukankah selalu ada riak kecil dalam rumah tangga. Tapi, selama ini ia hanyalah sebagai pemanis saja. Tak lebih dari itu.


Reuni sekolah selalu saja bisa menggugah kenangan lama. Masa-masa indah. Masa remaja yang selalu ceria. Tanpa beban. Tanpa problema. Ah, lebih-lebih di sound system itu, diputar lagu jadulnya Paramitha Rusady; Nostalgia SMA kita, indah lucu banyak cerita....


Kami berkeliling sekolah. Dalam senda gurau. Melihat kelasku dulu. Kelas mas Dewo juga. Ohya, mas Dewo itu sesekolah, tapi beda kelas denganku. Ia A aku B. Sementara Sisi C. Sisi? Ya.

Kami sahabat. Tiga serangkai, teman-temanku menjuluki.Dewo; cakep,pinter dan humoris. Sisi;cantik, postur yang layak jadi seorang model, cerdas dan pandai bergaul. Aku? Ah,biasa saja. Rasanya tak sepinter Dewo, juga tak secantik Sisi. Mungkin karena itulah kami merasa cocok. Saling melengkapi.

Tetapi, dalam reuni itu, setelah sekian belas tahun tak saling bertemu, dan ternyata Sisi benar-benar menjadi seorang model di Jakarta, aku tahu, tatap pandang mas Dewo kepada Sisi ada sisi lainnya. Dalam sekali. Tetapi, ah bukankah kami memang sahabatan dari dulu. Sedari SMA. Bedanya, Sisi melanjutkan kuliah, sementara aku malah menjadi nyonya Dewo yang ibu rumah tangga tulen. Dan hanya berkutat di dapur, sumur kasur. Sungguh keadaan yang sangat ketinggalan jaman.

Hm, aku seperti tak layak hidup di jaman ini. Aku terlalu tradisional. Terlalu seperti ibuku. Yang seumur hidupnya hanya sebagai ibu rumah tangga.

“Sudah jaman mbah Google kok  masih begitu,” seloroh Sisi.

Kami tertawa saja. Saling pandang. Tapi ketika aku melihat mata mas Dewo dan mata Sisi bertabrakan, kutemukan ada sorot aneh disana. Ada sorot masa lalu. Jarak waktu sekian lama sepertinya belum juga mampu menghapus sebuah kenyataaan; mereka dulu nyaris sebagai sepasang kekasih. Yang terpaksa putus karena kehamilanku.

“Mas, mungkin sebaiknya kita lebih sering mengunjungi ibu. Ibu sudah semakin sepuh. Sudah semakin menurun kesehatannya.”

“Kan ada bik  Jah yang nemenin,” mas Dwo menjawab sambil baca koran.

“Iya sih. Tetapi bukankah bik Jah itu hanya orang lain, mas.Yang kita bayar untuk menemani ibu.”

“Lalu?”

“Kadang aku berpikir, ingin memboyong ibu ke rumah kita ini.”

“Iya, tetapi bukankah itu selalu ditolak ibu.”

Ya, ibu memang sangat mencintai tanah kelahirannya. Desanya. Tak pernah kerasan beliau tinggal dirumahku. Belum pernah ibu tinggal lebih dari seminggu di rumahku ini. Dan aku maklum itu. Ibu itu orang desa tulen. Yang tentu terlalu pusing hidup di Surabaya yang panas ini.

Suara ponsel berdenting. Denting nada pesan dari ponsel mas Dewo itu. Tertinggal rupanya. Kubiarkan saja benda itu di meja . Aku tak biasa membuka ponsel mas Dewo. Aku tak ingin mencampuri urusan pekerjaannya. Kuteruskan saja membereskan meja makan bekas makan malam semalam.

Sekalipun sudah saban hari begini, selalu saja aku dapati nasi yang tak dihabiskan di masing-masing piring dua anakku. ”Hh,anak sekarang.Susah sekali makan..” batinku.

Hendak kubawa setumpuk piring kotor untuk kucuci di dapur, ponsel mas Dewo berbunyi lagi. Kali ini nada panggil. Kulirik saja. Oh dari Sisi. Melirik saja, hanya itu yang kulakukan. Karena untuk mengangkatnya, aku merasa tak berhak.

Malamnya mas Dewo pulang agak malam. Juga malam-malam berikutnya. Makin malam. Rupanya banyak lemburan. Banyak pekerjaan yang harus diselaikan menjelang lebaran ini.

“Dua hari kedepan ini aku tak pulang. Keluar kota.” pamitnya.

“Kemana?”

“Jakarta.”

“Ya, hati-hati,” kataku. ”Tapi, kita jadi mudik ke rumah ibu tiga hari jelang lebaran kan?”

“Ya, kuusahakan.”

“Lho ,memangnya kenapa?”

“Karena kalau dua hari ini urusan yang di Jakarta belum beres, sepertinya minggu depan aku harus ke sana lagi.”

“Untuk?” belum pernah aku selancang ini menyakan pekerjaan kantor mas Dewo. Tetapi, karena jadwal mudik kerumah ibu yang belum pasti ini yang menyebabkan aku berani begitu.

“Om Wisnu ingin aku yang berangkat menangani pekerjaan ini. Sekaligus, sepertinya aku mulai dipercaya menangani urusan yang agak serius. Mungkin om punya pemikiran lain, aku tak tahu. Dan bukankah aku bekerja ini juga untuk kebahagiaan kita. Untuk anak-anak kita.” kata mas Dewo yang memang bekerja di perusahaan milik om Wisnu, adik bapaknya.

“Juga untuk ibu kan?”

Mas Dewo genit mencubit daguku. ”Tentu,” katanya sambil mematikan lampu kamar.

Lebaran semakin dekat. Pekerjaan mas Dewo semakin padat. Selalu lembur. Sering keluar kota. Kalau ke luarkota sih sudah terbiasa sejak beberapa bulan lalu. Sejak beberapa bulan sebelum ramadhan. Menginap. Dan, lama-lama sebagai istri aku curiga.

Selalu ke Jakarta. Jakarta? Untuk urusan kerja atau yang lain. Demi Sisi misalnya. Tetapi, ”Ah, mengapa aku menjadi sentimentil begini?” aku berusaha mengibaskan kecemburuanku.

Sampai,

“Kamu tidak ingin menambah keluarga baru?” tanya mas Dewo tadi malam.
“Ih ,apaan sih?” sahutku.
Mas Dewo tersenyum. Senyum yang serius.

“Dua anak lebih baik,kan?” jawabku menirukan iklan Keluarga Berencana.
“Bukan anak.”

Mas dewo ingin memaksa ibu tinggal disini?, batinku.

“Bagaimana?”

“Ibu tak akan mau, mas.” sahutku.

“Bukan ibu.”

Aku sedang membayangkan mas Dewo bercanda. Bukankah ia jago juga tentang yang satu ini.
“Lalu?”

“Sisi.”

“Ha?!”

“Ia hamil. Ia ingin aku menikahinya.”*****


Surabaya, 24 Juli 2011, 23.48 WIB

Jumat, 22 Juli 2011

Sepotong Sore

BERDIRI di bawah canopy,didepan lobby.Angin membuat rambutnya terbang menari.

“Menunggu itu jemu,”katanya sambil melempar pakan ikan ke lilypond.

Ikan koi berebut,riang.

Tapi hati Ve sedang tidak senang.”Pengkhianat tetap pengkhianat...”

Ri tertawa.Kecil saja.Sampai hampir Ve tak mendengar suaranya.

“Hati emosi kadang selalu gagal memahami sesuatu secara sejati."

“Aku tak butuh nasihat.”

“Aku juga tak sedang begitu.”

“Lalu,yang kamu bilang barusan itu apa?Ocehan?!”

Ri tertawa lagi.Agak tidak kecil kini.


Ve jengkel.Sedikit.Tapi Ri itu memang spesial bagi Ve.Ia batu.Walau kadang ia juga sebagai api.Dan kali ini,ia adalah angin.Paling tidak itu yang sedang dilakukan Ve menyikapi Ri.

Ya,ia angin.Tapi bukankah angin kadang juga tak bisa diremehkan?Dan,memang,Ve tak pernah melakukan itu terhadap Ri.

Juga,saat mereka berperang di dalam lobby barusan.Peperangan kecil saja,sepertinya.Tentang Ve yang kalap akan Da.

“Da itu tak perlu dipikirkan lagi.”kata Ve.

“Sungguh?Bukankah engkau terlampau sering mengatakan itu dihadapanku.Tetapi kau selalu melupakannya lagi.Dan dikemudian hari kau mengulangnya lagi.Selalu begitu,”sergah Ri.

“Kamu membela siapa sih?”Ve protes.
“Pada suatu saat,kadang kita tak perlu berpihak.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Apanya yang baik?!”

“Aku telah tahu kamu sekarang.”

“Lalu?!”tanya Ri.

“Kamu....”Ve tak melanjutkan kata-katanya.Ia malah ingin menangis.Tangis yang membuat sore datang dengan malu-malu.

Malu juga diperhatikan dua resepsionis yang berdandan laiknya SPG kosmetik di frontdesk itu.Sampai kemudian Ri mengajaknya ke canopy saja.Agar Ve biasa lebih tenang.Sambil memandangi ikan-ikan koi yang pasti tidak pernah sedih.Juga tidak pernah patah hati..Tidak seperti Ve.

Padahal Ri tahu.Da telah pergi.Tepatnya,telah pergi kelain hati.Meninggalkan Ve.Tapi Ri tak tega mengatakan kepergian hati diam-diam lelaki itu kepada Ve.Ri tahu,sesewot-sewotnya Ve kepada Da,ia masih menaruh harap kepada Da.

Seperi Ri yang ,diam-diam,menaruh harap juga.Ya,ia tak pernah surut turut meluruskan hati Ve yang sering kusut.Tapi Ri tahu diri.Karena Da adalah juga temannya.

Ada saatnya nanti,entah kapan,Ri menaruh bunga hatinya di hati Ve.Dan,sore yang datang malu-malu ini,masih saja juga membuat Ri malu mengungkap isi dadanya.

Ah,kadang cinta memang butuh keberanian laksana tentara yang maju perang.

Kamis, 21 Juli 2011

Kisah Tentang Para Pengarang

PENGARANG yang mahir selalu bisa menuangkan karangannya tanpa berpikir.Seperti petani yang mecangkulkan paculnya sambil bersendau gurau dengan teman disebelahnya tanpa menghitung butuh seberapa kuat tenaga untuk mengayunkan gagang cangkul.Atau seperti sopir yang bisa mengemudi sambil menerima telepon atau malah ber-SMS-ria.Pendeknya,karena mahir orang bisa berbuat tanpa berpikir.Meluncur saja.

Mengarangpun begitu.Meluncur saja.Tanpa berpikir.Dan satu lagi;karangan yang baik menjadi seolah nyata.Dan malah ada yang meyakini itu memang nyata.

Kisah Siti Nurbaya-nya Marah Roesli misalnya.Atau kisah kolosal Mahabharata karangan Begawan Wiyasa.Dan banyak lagi karangan yang dianggap nyata.

Saya punya teman yang sangat mahir bermain gitar.Karena mahir ia bisa memetiknya tanpa berpikir.Tanpa berpikir pula ia melantunkan lagu sekenanya.Spontan saja.Dan,ini dia lebihnya,tetap nyaman didengar.Sekali lagi,karena ia mahir.

Pengarang-pengarang terus lahir.Terus mahir.Saya tentu tidak membatasi membahas tentang AS. Laksana yang saya anggap memang sangat mahir.Karena,pasti anda juga tahu,M.Nazaruddin juga mahir.Anas Mahir.Bang Ruhut mahir.Andi Nurpati juga mahir.

Mengarangkah mereka?

Iya saja.Karena bukankah Andrea Hirata adalah juga mengarang ketika menulis Laskar Pelangi walau bukunya adalah juga berisi kisah nyata.Dan karangannya menjadi hidup karena ia mahir.

Saya ,pada masa remaja dulu,malah menganggap kisah film Roman Picisan yang dibintangi Rano Karno dan Lidya Kandau yang dikarang Eddy D. Iskandar itu nyata.Itu sangat ‘gue banget’,menurut istilah anak sekarang.Padahal itu karangan.Juga, bukankah Romeo dan Juliet-nya William Shakespeare serupa itu.Juga seakan nyata.

Hasil pengarang terus saja lahir.Seperti halnya kisah tentang M. Nazaruddin juga mengalir.Juga seakan nyata.Dan,bisa jadi,memang nyata.Tetapi ada karya pengarang lain menanggapi.Anas dan teman-temannya,misalnya.Dan itu lahir mengalir karena juga mahir.Karangannya menjadi tampak nyata.Belum lagi pengarang lain.Dengan kisah yang lain.

“Pengarang yang mahir selalu bisa mengarang dengan tanpa berpikir,”begitu kurang-lebih kalimat yang ditulis AS Laksana dalam blog Ruang Berbagi miliknya.

Dari kisah mengharu biru sampai kisah politik yang ruwet.Dan sebagai khalayak umum,kita bebas menyikapinya.Ikut terbawa kisahnya,atau cuekin saja.Dan karena kita sudah sangat mahir sebagai rakyat,tentu tidak salah kalau menangapinya dengan tanpa berpikir.

Tapi,sungguh.Sebagai pengarang saya belum mahir.Masih belum mampu untuk tidak berpikir.****

Hadiah Lebaran Buat Biran

SEPERTI biasa Biran pulang sekolah jalan kaki saja.Cuaca sedang panas-panasnya.Karena matahari tepat di atas ubun-ubunnya.Debu jalanan yang beterbangan lengket di wajahnya yang berkeringat.Mobil bagus putih mulus menyalip langkah Biran yang selalu berjalan di trotoar.Di dalam mobil itu,Kevin tentu tak kepanasan.Ada pendingin udara di dalamnya.
Ya,Kevin.Teman sekelas Biran.Yang angkuh dan sombong.Ah,pantes saja.Orang kaya sombong memang pantas.Tapi kan tidak selalu.Soni,temannya yang lain,juga kaya.Tapi tidak sombong.Ia sungguh baik hati.Pernah sekali Biran kerumahnya.Dia dan keluarganya baik semua.
Tetapi Kevin?
Uh.Ia selalu meledek Biran.Tetapi,
“Ya sudah.Biarkan saja.Itu harus bikin kamu tambah kuat.Tambah semangat,”kata ayah Biran ketika suatu malam ia menceritakan kejahilan Kevin kepadanya
Kejahilan Kevin itu,antara lain ini:
”Minum terus....”suara itu muncul tiba-tiba.Saat Biran mengeluarkan botol air putih dari dalam tas sekolahnya yang lusuh.Yang ada jahitan tambalan disana-sini.Dan Biran sedang menenggak bekal sekolahnya itu.
“Orang kadang tidak bisa membedakan antara lapar dan haus.Kalau haus minum itu betul.Tapi kalau lapar minum, ya kembung...”
Air yang kadung berada di tengorokan seakan berhenti.Tak jadi masuk.Ingin Biran melempar botol itu ke Kevin.Tetapi,seperti pesan ayah selalu,Biran harus sabar.
Dan setiap hari memang harus sabar.Berangkat tidak sarapan itu sering,pulang belum ada yang dimakan juga sering.Ya,ayah Biran hanya tukang sapu jalan.Orang menyebutnya pasukan kuning.Karena seragamnya memang serba kuning.
Ibunya sudah meninggal sejak Biran kecil.Ia tak ingat wajah ibunya.
Sekalipun hanya sebagai tukang sapu jalanan,ayah Biran ingin ia sekolah terus.Semampu ayah membiayainya.”Ayah tentu tak mampu memberimu warisan harta.Tetapi,semoga ayah bisa menyekolahkanmu sampai setinggi ayah mampu membiayaimu,”kata ayah suatu ketika.
Kelas lima sudah Biran sekarang.Ia berusaha tidak minder di kelasnya.Dan memang semua temannya baik kepadanya.Kecuali satu itu:Kevin.Yang tadi baru saja menyalipnya.Yang selalu saja mengejeknya.Beberapa hari ini sudah tidak lagi.Karena Biran sudah tak perlu membawa bekal air putih untuk diminum saat istirahat tiba.Ya,kerena ini bulan puasa.
Bulan penuh berkah.Yang salah satu berkah itu adalah ia tak lagi diejek tentang makan oleh Kevin.Tetapi soal lain.Tentang baju lebaran.
“Aku kemarin diajak mamaku ke mall.Beli baju baru.Kamu tahu harganya berapa?Hampir setengah juta,”Kevin bercerita dengan nada pamer saat istrirahat sekolah.Di depan temannya.
Biran memisahlan diri dari kerumunan itu,Kerumunan teman yang mendengarkan cerita pamer dari Kevin.Ia masuk kelas.Membaca lagi.Ia ingat pesan guru agama.Bulan puasa saat untuk belajar menahan hawa nafsu.Tak baik bicara yang tak perlu.
Biran terus saja melangkah.Dan didepan itu,ada tempat yang selalu Biran hampiri saat berjalan pulang sekolah panas-panas begitu.Sebuah tempat berbentuk kotak kaca.Ya,tempat itu ATM.Anjungan Tunai Mandiri sebuah bank.Bukan untuk mengambil uang tentu.Ia hanya ingin merasakan dinginnya ruang yang ber AC.Beberapa saat.Tergantung situasi.Sampai pak satpam berkumis tebal pejaga pertokoan ini menyuruhnya keluar.Atau sampai ada orang datang dan masuk bertransaksi disitu.
Dan untungnya siang ini sepi.Tak ada pak satpam berkumis tebal.Tak pula ada orang mau masuk ke ATM.
Adem.Biran merasakan dingin merambat disekujur tubuhnya.Kalau boleh sampai maghrib disini,tentu puasa jadi lebih kuat,batin hati Biran.
Biran memerhatikan layar ATM.Seperti televisi kecil.Ada orang menari-nari dalam guyuran hujan uang.Ada suara lelaki mempromosikan heboh undian hadiah lebaran.Biran diam.Dia tentu tak berhak memenangkan hadiah itu.Ia bukan nasabah bank.Uang mana yang bisa ditabung.Untuk makan seharti-hari saja ayahnya kerja siang malam banting tulang.
Biran mendongak keatas.Ada CCTV.Biran tahu itu.Kamera itu merekam semua yang terjadi di dalam ATM ini.Dan Biran yakin,orang yang bisa melihat rekaman CCTV itu pasti bosan melihatnya setiap pulang sekolah muncul di rekamannya.Tapi sejauh ini,tak ada apa-apa.Tak ada teguran dari pihak bank.Hanya sesekali dari pak satpam berkumis tebal penjaga pertokoan ini.
Dan,ketika Biran melihat diatas mesin ATM ini ada sesuatu.Yang jelas itu biasanya tak ada.Pasti itu milik orang yang tertinggal.Biran meraihnya.Ah,sebuah telepom gengam.Bagus.Hitam mengkilat.Baru kali ini Biran memegangnya.Kalau melihatnya sih sering.Karena di pertigaan sana,ada papan reklame yang memampang gambar telepon genggam ini.
Biran bimbang.Membawanya pulang atau mengembalikannya lagi kepada yang punya.Mengembalikan?Ah,yang punya siapa dan rumahnya dimana Biran tak tahu.Atau menitipkanya kepada si pak satpam berkumis tebal?Tapi kalau malah diambil sendiri oleh pak satpam bagaimana?Atau dambil sendiri saja.Lalu dijual.Dan uangnya bisa untuk beli baju untuk lebaran nanti.
Biran bingung.Tetapi ia malah memasukkannya kedalam tas kumalnya.Lalu pulang.

Sampai dirumah Biran mengeluarkan lagi ponsel itu.Ada beberapa bintik putih kecil sebagai lambang ponsel pintar ini.Biran tahu,itu lambang BlackBerry.Itu ponsel mahal.Dan Biran ingat,Kevin pernah membawanya sekali kesekolah.Tapi warnanya silver.Tentu untuk dipamerkan.Sekali saja.Karena kemudian dilarang oleh ibu wali kelas.
Benda itu berdering.Biran kaget setengah mati.
Dari melirik waktu Kevin menerima tetepon dari mamanya,Biran tahu tombol mana yang harus ia tekan saat menerima panggilan.
“Halo?”Biran menirukan gaya orang yang lagi menerima panggilan telepon.
“Ini siapa?”suara wanita di seberang sana malah bertanya.
Biran diam.Pasti orang ini yang punya benda ini.Benda yang tertinggal diatas mesin ATM.
“Hallo,siapa ya?”suara itu terulang lagi.
“Saya Biran”
“Ini ponsel saya yang ketinggalan di ATM kan?”
“Iya”
“Oh terima kasih Tuhan.”kata suara diseberang sana.”Hallo ,adik.Tante sungguh memerlukan data yang tersimpan di ponsel itu.Tante pasti ngasih hadiah kalau adik mau mengembalikan benda itu kepada tante.”
Dengan mantap Biran menjabab,”Tentu tante.Tapi dimana alamat rumah tante?”
“Oh,tidak perlu.Kamu tidak perlu kerumah tante.Tante yang akan kerumahmu.Ya,dimana alamatmu?”
“Jalan Perjuangan nomor 68,tante,’jawab Biran.
“Ya,nanti sore aku kerumahmu.Tunggu ya...”

Hari menjelang maghrib kala sebuah mobil masuk ke jalan sempit didepan rumah Biran.Ia masih sendiri saja dirumah.Karena ayahnya sudah biasa pulang telat.Karena selain tukang sapu jalan,juga nyambi jadi kuli angkut di pasar sore.
Seorang ibu muda turun dari mobil.Sendiri.Ah,tidak.Tapi berdua dengan anaknya.Yang tentu saja Biran tahu.Itu Kevin.
Biran langsung menyerahkan benda yang sedari tadi sudah ia siapkan.
“Terima kasih,Biran.Kamu anak baik.Karena kamu bisa saja menjual ini.Dan tentu tante kehilangan banyak data penting didalamnya.Kamu sungguh anak baik,Biran.”kata tante itu sambil mengusap rambut Biran.
“Kevin,”sapa Biran.
Kevin diam.
“Oh,kalian sudah saling kenal rupanya?”
Kevin tetap diam.Dan tentu Biran juga diam.Biran tahu,Kevin tentu ingin mengejeknya lagi.Entah tentang apa ejekannya kali ini.Mungkin tentang rumah kontrakannya yang jelek ini.Tetapi,
“Ayo Kevin.Balas dong sapaan temanmu.Tidak baik kamu begitu.Kita harus baik kepada semua orang,Kevin.Apapun keadaannya.Terlebih kepada Biran yang jujur dan baik hati ini...”
Kevin tersenyum.Senyum yang dipaksaan.Ah,tidak.Karena tiba-tiba Kevin memeluk Biran.
“Maafkan aku,Biran.Selama ini aku selalu mengejekmu.Dan kamu tak pernah membalasku.Kamu baik,Biran,Aku malu kepadamu.”kata Kevin.Ada tulus yang terpancar dari sorot matanya.
Ibu Kevin tersenyum bahagia melihat pemandangan itu.

Cuaca begitu cerah pagi ini.Kecerahan itu makin terasa ketika semua melihat Kevin terlihat akrab dengan Biran.Sesuatu yang selama ini tak terjadi.
“Ayo ikut aku,”songsong Biran setiba Biran di sekolah.
“Ada apa?”tanya Biran.
“Ayolah..”Kevin menarik tangan Biran.Masuk kekelas,walau jam pelajaran belum mulai.
“Apa ini?”tanya Biran setelah menerima bungkusan dari Kevin.
“Titipan mamaku untukmu.”
Mata Biran terbelalak.Hadiah?
“Dan yang ini dari aku.Tapi aku ingin kamu membukanya dirumah.Tidak disini,”pesan Biran.
Biran tak bisa berkata banyak.Hanya,”Terima kasih,Kevin.”
“Oh,mamaku yang malah harus berterima kasih padamu.Kalau bukan kamu yang menemukan itu,pasti telah dijualnya barang itu.”

Pulang sekolah,seperti biasa Biran jalan kaki.Tapi ada yang beda hari ini.Tas di punggungnya yang sudah jelek itu terasa lebih berat dari biasanya.Ada dua bungkus hadiah di dalamnya.Ia tak tahu isinya apa.Ia ingin segera membukanya.Ia ingin segera sampai dirumah.Karenanya,walau panas menyengat kulitnya,ia tak mampir dulu mendinginkan diri ke ruang ATM di depan pertokoan itu seperti biasanya.
Sesampainya dirumah,ia lebih dulu membuka bungkusan dari mamanya Kevin.Isinya; baju dan celana baru.Juga selembar uang seratus ribu.Juga ada secarik kertas,tulisannya; Tante mengucapkan selamat lebaran ya.Maaf lahir batin.
Berkaca-kaca Biran membacanya.”Terima kasih ya Allah,”ucapnya lirih.
Ia membuka bungkusan satu lagi.Yang ini dari Kevin.Isinya;tas sekolah baru warna hitam.Ada kertas juga didalamnya.Biran tahu,itu tulisan tangan Kevin.
“Maafkan aku ,Biran.Selama ini aku sering berbuat salah kepadamu.Terimalah ini sebagai hadiah lebaran dariku.Sekaligus aku mohon maaf lahir batin.Kevin”
Mata Biran semakin berkaca-kaca.”Terima kasih ya Allah,”ucapnya lagi.Tetap lirih.***

Minggu, 17 Juli 2011

N y e k a r

BESOK sudah masuk Ramadan.Itu,salah satunya,yang membuat Sekar pulang.Dan syukurlah,suaminya mengijinkan.Malah ikut menyertainya.Tiga tahun sudah mereka tak pulang ke Indonesia.Tiga tahun pula Sekar memegang parport Malaysia.Setelah ia menikah dengan Saleem,pengusaha restoran langganan majikannya saat ia menjadi TKW sebagai baby sitter dulu.
Panah cinta memang kadang menancap tak terduga.Pun,yang dialami Sekar.Selalu menyertai,untuk momong anak majikannya kemanapun,juga ke sebuah restoran milik Saleem.Siapa nyana,Saleem terpikat oleh Sekar.Seorang TKW.Seorang janda.Seorang yang hanya ingin hidup mandiri.Dan memulai hidup baru.Sambil menyembuhkan luka hati,oleh suaminya.Ya,mantan suaminya.Sungguh,ia ingin menghapus kenangan pahitnya bersama Aksan.Sekalipun untuk itu Sekar harus pergi jauh.Dan hanya sebagai pembantu,dinegeri orang pula.
Mendarat di tanah air Jum’at sore.Sabtunya mereka beranjang sana kesanak saudara dan hadai taulan.Karena Minggu Sekar sudah merancang suatu acara khusus; nyekar ke makam.Awalnya Saleem tak habis pikir ketika Sekar mengajaknya ke makam.Makam siapa?Bukankah ayah dan ibunya masih ada.Belum meninggal.Kakek-neneknya juga.Lalu ke makam siapa?
“Makam orang spesial,yang samasa hidupnya sangat mencintaiku,”kata Sekar.
Dan Saleem,dengan segenap cinta,tak kuasa tak mengiyakan kehendak sang istri.
Mobil mengkilap itu,berjalan pelan menapak jalanan kampung.Debu yang beterbangan,mulai pula menerbangkan ingatan Sekar.Dulu.Ya,dulu ia pernah hidup di kampung ini.Kampung yang asli kampung.Walau ia hanya berjarak satu jam bermobil dari kota,ia adalah kampung yang tertinggal,sepertinya.Selalu ada wajah kemiskinan di sana-sini.
“Ikut tak?”tanya Sekar setelah Saleem memarkir mobil di depan makam.
“Bolehlah,”kata Saleem.
Makam khas kampung.Sederhana.Tetapi,apakah memang sebuah tanda kematian harus di megahkan?Entahlah.Sekar tak tahu.Seperti ia yang tak tahu letak makam yang ia tuju.Rumput ilalang berebut tinggi menutupi makam-makam yang tak terawat.Tanda bahwa sang keluarga tak terlalu peduli.
Besok sudah masuk Ramadan.Dan,tidak hanya hanya Sekar,ada beberapa orang yang mengunjungi makam ini.Membawa sabit dan sebungkus kembang.Tapi Sekar? Ia hanya membawa do’a dan kerinduan.Akan sosok Emak,mantan mertuanya.Almarhum sudah ia.Lima tahun lalu beliau berpulang.
Sepeninggal emak pula Sekar menjadi lebih berani.Lebih tak mau diperlakukan semaunya oleh Aksan,suaminya.
“Mabuk lagi kamu ,San?”songsong emak saat tengah malam Aksan pulang.
Aksan sempoyongan merebahkan tubuhnya ke sofa di ruang depan.
Sekar yang baru keluar kamar,memandanginya biasa saja.Terlampau sering ia mendapati suaminya pulang dalam keadaan begitu.Ia merasa lebih baik diam.Mendiamkannya.Walau hatinya terlampau perih.Tersayat-sayat.
Aksan,suaminya,yang dulu lembut dan penuh cinta,entah setan darimana yang menjerumuskannya ke keadaan begini.Luka yang menganga di dada Sekar,tergores saat ia dengan baik-baik menanyakan kenapa tiga hari tak pulang sementara dirumah emak lagi kurang sehat.
“Emak sakit karena memikirkan kamu tak segera memberinya cucu.Kamu mandul!”
Malam itu Sekar terjaga semalaman.Emak memikirkanku yang tak mampu memberinya cucu?Duh.
Emak,mertuanya,yang tak ia bedakan dengan ibunya sendiri,yang Sekar tahu tak pernah ada keruh disorot matanya,yang lugu,yang mengangapnya bukan sebagai menantu,tetapi sudah sebagai anak sendiri.Tak mungkin.Tak mungkin beliau begitu.Buktinya?
“Pergi kamu,Aksan.Pergi.Aku lebih rela kehilanganmu daripada kehilangan Sekar,”ronta emak ketika malam-malam Aksan menampar Sekar,kala ia tak mau memberikan kalung yang melingkar di lehernya.Aksan merebutnya,untuk modal berjudi.
Tamparan itu,rupanya juga sebagai tamparan di hati emak.Emak jatuh sakit.Keadaan yang sudah miskin,membuatnya jatuh lebih miskin.Dan Aksan,tetap asyik dengan dunianya.Tak peduli akan keadaan.Akh,Aksan...

Disebelah pembaringan Emak,Sekar merenung.Kalau bukan karena perempuan tua ini,lama sudah ia ingin bercerai dengan Aksan.Karena,sekalipun ia belum mampu memberinya keturunan,sepenuhnya ia tak mau disalahkan.Ya,ia merasa tak bersalah akan keadaan itu.Tetapi,sudahlah.Tak tertarik Sekar merentang masalah itu lebih panjang.Ia hanya mau memikirkan Emak.Yang makin hari makin lemah.Makin lemah.Lalu meninggal.
Keadaan berubah sudah.Emak sudah tiada.Padahal,dirumah ini,hanya ia yang mencintai Sekar.Selebihnya tidak ada.Aksan,satu-satunya anak Emak sekaligus satu-satunya lelaki dirumah ini,ia angap pula telah tidak ada.Maka,tiga bulan sepeninggal emak,Sekar telah bulat akan tekatnya;bercerai.
“Baik,kuturuti maumu.Toh kamu tak ada gunanya lagi disini,”
Tak sakit sudah hati Sekar di suguhi kata-kata itu.Toh,ia menganggap Aksan telah tidak ada.Sekar ingin bebas.Sekar ingin merdeka.Melupakan masa lalu yang kacau.Ia ingin terbang.Jauh.Menjadi TKW.

“Mencari makam siapa,bu?”lelaki tua membawa cangkul dan sabit mendekat.
Mungkin sejak tadi lelaki itu memperhatikan Sekar yang celingukan mencari letak makam Emak.
“Makam Emak,”jawab Sekar.
“Emak?Emak siapa?”
Sekar melepas kacamata hitamnya.Menoleh kearah Saleem.Padahal ia lebih kepada sedang berusaha mengingat nama mertuanya.Ia selalu memanggilnya Emak.Itu saja.
“Bukan orang tua sendiri,to?”tanya lelaki tua itu lagi.
“Iya”jawab Sekar.
“Kalau begitu,ia masih saudara atau ibunya siapa begitu?”
Oh,ini.Mau tak mau Sekar harus menyebut satu nama.Ya,nama anak Emak.Mantan suaminya.
“Bagaimana,sudah ingat?”
“Aksan...”agak pelan Sekar mengucapnya.
“Oh,mak Imah.Itu.Makamnya disana,”kata lelaki tua itu sambil menunjuk ke sudut timur,disebelah rumpun bambu.
Langkah lelaki tua itu menuntun kaki Sekar dan Saleem mengikuti.Kesebuah makam yang tak terawat mereka menuju.Ah,Aksan.Belum berubah rupanya ia.Sampai-sampai makam ibunya jadi begini.Ilalang nyaris setinggi perut.Dan sepasang nisannya tak terlihat dirambati rumput.
“Boleh saya bersihkan,bu?”kata lelaki tua itu.
Dan Sekar mengiyakannya.
Cekatan lelaki tua itu membabat rumput dan ilalang.Sampai bersih.Tetapi,selama ini Sekar tak mampu membersihkan ingatannya akan Emak.Ia perempuan terbaik dalam hidupnya,selain ibunya sendiri tentu.
Lelaki tua itu mengucap terima kasih seterima-terimakasihnya,saat Sekar memberinya selembar uang limapuluhribuan sebagai uang lelah telah membersihkan makam Emak.Lelaki tua itu sedang beruntung,rupanya.Dan,beruntung,dalam hal apapun,itu yang gagal dinikmati almarhumah Emak.Kasihan Emak.Tetapi semoga,kalau di dunia ia tidak beruntung,disisiNya ia lebih beruntung.
Sekar duduk.Lunglai.Tangan kanannya meraih nisan.Sekuat tenaga ia membendung air matanya.Ia diam.Dan Saleem tahu,Sekar butuh beberapa waktu menikmati rasa diam itu.
“Kutunggu di mobil ya?”katanya.
Sekar mengiyakan.
Sekar menarik nafas dalam.Ingin ia mengirim hawa segar kerongga dadanya yang terasa sesak.Sekaligus ia ingin meminta maaf kepada emak,karena ia datang tak membawa kembang.Tapi ia ingin meyakinkan emak,ia datang membawa sesuatu yang lebih berharga dan lebih wangi ketimbang kembang.Cinta.

Beberapa waktu Sekar hanya diam disitu.Dan,anehnya,ia merasa lega melakukannya.Seperti ia telah berhasil menumpahkan segala rindu didada.Sekali lagi ia menarik nafas.Terasa ringan.Di dadanya tak sesak lagi.Benar,lega sudah.Disaat itu,Sekar ingin pamitan kepada Emak.Ia ingin pulang.Karena,besok pagi,di hari pertama puasa,ia harus balik ke Malaysia.Dalam hati ia berjanji,lain waktu,ia akan kesini lagi.Melepas rindu di makam Emak.
Sebelum Sekar berdiri dari duduknya,ada bayangan orang datang di dekatnya.Laki-laki.Dengan wajah kurus tak terurus.Dan,terkesiap Sekar memandangnya.Ingat betul ia akan laki-laki itu.Ia anak satu-satunya Emak.Ya,laki-laki itu Aksan.
Sekar berdiri.Mengenakan kacamata hitamnya lagi.Dan melangkah.Menuju mobil,yang Saleem telah menunggu didalamnya. *****

Kamis, 14 Juli 2011

Pabrik Kata-kata

JARAK antara rumah saya dengan kawasan Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) tak lebih dari seratus meter. Dari gang Perjuangan depan rumah saya lurus ke barat via gang Perdamaian,sudah membentur dinding SIER.
Kalau hari Minggu pagi,saya sering berolah raga (sekalipun itu hanya dengan menggendong si kecil dan melihat si sulung berlari-lari kecil) ke sana.Sambil memperhatikan satu persatu pabrik di situ.
Ada pabrik lampu,pabrik minuman ringan,pabrik karpet,obat nyamuk bakar,baterai,rokok,sabun,minyak goreng,sepeda,es krim,lem,cat,besi,sendok,piring,gelas dan sebagainya,dan seterusnya.
Mereka terus saja berproduksi.Saban hari. Okelah,saya bisa menerima kalau barang yang dihasilkan jenis konsumsi.Yang saban hari dimakan atau dinikmati.Rukok yang selalu dibakar,seperti obat nyamuk.Atau es krim dan minyak goreng.Atau sabun dan baterai.Tetapi kalau sendok?
Saya tahu istri saya sejak sekian tahun lalu tak pernah lagi beli sendok.Karena ia awet.Ia tak dimakan.Tetapi pabriknya saban hari bikin lagi.Untuk siapa?Untuk yang sendoknya hilang?Rusak?
Saya tak hendak mencari tahu lebih jauh.Saya hanya iseng membandingkannya dengan 'barang' produksi saya;kata-kata.
Ya,kata!Saya kira ia selalu dibutuhkan sepanjang ada yang baca.Dalam hal ini,peluangnya sudah ditangkap Joger di Bali atau Dagadu di Jogja.Ia bisa sebagai nilai lebih yang menempel pada kaos oblong.
Tetapi saya juga menganggap setiap kita adalah juga pabrik kata-kata.Sebentuk 'barang' yang selalu dibutuhkan.Termasuk di blog ini.
Maka,mari kita selalu memproduksi kata-kata.*****

Minggu, 03 Juli 2011

Khitanan Keponakan

NYARIS duapuluh tahun lebih saya tidak menginjakkan kaki di kampung kakak saya di kaki gunung Kumitir. Di perbatasan Jember-Banyuwangi sana. Sebuah kampung, yang membayangkannya saja seakan sudah merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Dan hari itu,disebabkan oleh selembar kabar, saya harus 'terbang' kesana lagi.
Ya, kakak sulung saya punya hajat; mengkhitankan anak sulungnya.


Perjalanan panjang dari Surabaya sampai ujung Jember paling timur, harus saya lalui. Tidak ada kisah menarik yang laik tulis hampir sepanjang jalan. Kecuali setibanya saya di terminal Tawangalun Jember.
Perut yang berkoar-koar karena lapar, harus saya siksa lagi karena saya melihat semua kedai yang menjual makanan di terminal kurang terjaga kebersihannya. (ini dulu, semoga sekarang sudah lebih baik). Setelah sekedar cuci muka dan buang air di toilet terminal, melanjutkan perjalan ke Pal Kuning; nama ancar-ancar turun saya dari bus nanti, yang sekaligus sebagai main gate menuju kampung kakak saya.

“Pal Kuning?” tanya saya pada sopir yang sudah siap di kokpit bus AKDP Jember-Banyuwangi.

“Iya,” jawaban itu mendorong saya naik bus yang tampil tanpa AC ini.

Lupa sudah saya akan waktu tempuh Tawangalun-Pal Kuning. Perkiraan kasar saya,pasti kurang dari sejam. Tapi lebih dari tigapuluh menit. Atau entahlah. Tetapi saya sangat ingat, lagu yang diputar dalam bus ini suara Sumiyati, penyanyi lagu-lagu kendang-kempul Banyuwangi yang sudah sekian belas tahun tak lagi pernah mampir ke telinga saya.

Lumayanlah, tidak terlalu jenuh sambil menunggu bus penuh. Menunggu berangkat. Tetapi, saya sudah lebih dulu memberangkatkan ingatan saya ke kampung kakak saya itu. Saat pertama kali dulu menginjakkan kaki disitu. Sidomulyo, nama kampung yang sepi itu. Yang masuk dalam wilayah kecamatan Silo. Yang dinginnya minta ampun. Yang kedalamnan sumurnya luar biasa, yang butuh biaya besar untuk membuatnya. Makanya tak setiap orang punya sumur. Kampung yang asrinya lamiah sekali, berhias pohon pinus, bertanah pasir halus.

Bus akhirnya berangkat juga, walau penumpang dalam perutnya tak seberapa. Lazim sudah, besarnya populasi pengguna motor menggerus jumlah penumpang angkutan umum yang sering tampil seadanya. Juga tingkat keselamatan yang sekadarnya.

Lepas dari wilayah kota, yang pembangunannya pesat melesat tak meleset dari dugaan saya, meninggalkan Pakusari. Menusuk pedesaan yang sejuk. Meliuk-liuk. Hawa dingin mulai menyapa. Rakus saya menghirup udaranya, memanjakan mata menatap kehijauan aneka tanaman dikiri-kanan jalan. Sejuk, asri, hijau....

Saya sengaja mengambil duduk dibelakang pak sopir. Agar bisa segera mengenali Pal Kuning. Dan bisa bilang, ”Kiri,” sebagai aba-aba kepada si sopir.

“Masih jauh,mas,” suara pak sopir itu pertanda beliau tahu maksud saya.

Saya melihat plang toko. Oh, sudah masuk Silo. Berarti Pal Kuning sudah dekat. Benar saja, tanpa saya aba-aba pak sopir menurunkan saya kesebuah tempat. Dan mencari kesegala arah, mata saya gagal menemukan tanda atau tulisan Pal Kuning. Ah, jangan-jangan,ini sudah sebagai nama abadi. Seperti nama sebuah pertigaan yang acap kali sebagai tempat orang naik-turun bus di timur pasar Kencong sana; Toko Ijo.Walau nantinya toko itu sudah tidak ada, tetap saja orang menyebut namanya.

Sebagai pintu gerbang Pal Kuning, jangan bayangkan terdapat gapura disitu. Kanan kiri hanya hutan pohon pinus.

Duduk di jok belakang tukang ojek, tak terasa adrenalin terpompa juga. Jalan makadam berhias bebatuan, naik turun, meliuk itu penyebabnya. Dan motor tua tanpa busana (hanya rangka, mesin dan dua roda) tanpa aksesoris menempel ditubuhnya, tampil lincah ditangan pengojek tanpa helm ini. Sekalipun sudah sangat lama tidak kesini, mencari rumah orang di kampung memang ada mudahnya. Karena nyaris semua orang saling kenal. Tidak seperti dikota. Lebih-lebih kakak saya ini sedang punya hajat. Pastilah ada terop (tenda) dan segala perlengkapannya.

Benar saja. Menjelang asyar saya tiba. Turun dari motor menenteng tas berisi baju ganti dan sedikit buah tangan untuk keponakan. Tetapi....

Kedatangan saya disambut oleh suara tangis histeris. Yang volumenya nyaris mengalahkan suara sound system yang sedang bendentum. Ada sedikit kepanikan tercipta. Ternyata itu tangis keponakan saya yang akan dikhitan. Kakak saya sibuk mendiamkan tangisnya. Saya juga. Tetapi semakin saya mendekat, semakin menjadi-jadi tangisnya.

Oh, adakah saya 'ketempelan' makhluk halus penunggu Pal Kuning, yang membuat keponakan saya ketakutan?

Mau tak mau saya harus keluar dari kamar keponakan saya itu. Sebagai tamu, kedatangan saya agak terabaikan. Saya maklum saja. Kakak saya sedang sibuk menenangkan anaknya. Saya duduk diruang tamu, sambil menikmati hidangan walau belum disilakan. Tak apa-apa, toh ini rumah kakak saya. Saya sudah sangat tidak tega membiarkan lambung saya menggelepar-gelepar.

Ditengah saya menikmati hidangan itu, suara tangis dikamar berhenti sudah. Malah berganti suara tawa. Tawa beersama-sama. Seperti koor.

Kakak saya keluar kamar masih ada tawa yang menempel dibibirnya, ”Ada-ada saja...” gumamnya.
“Kenapa?” tanya saya.
“Dia nyangka kamu tukang sunat yang akan mengkhitannya,” jawab kakak saya.
Oh.****