“RUMAHNYA disewakan apa dijual, pak?”
“Dua-duanya bisa, pak.”
“Ada berapa lantai?”
“Dua lantai”
“Yang lebih tinggi ada?”
“Tiga lantai?”
“Yang lebih tinggi lagi?”
“Huk, bapak ini mau beli rumah apa tiang listrik, se?”
"Saya ini mau beli rumah tinggi, soalnya saya pakai bukan telepon biasa."
Itu hanya penggalan iklan radio sebuah operator CDMA, yang jelas-jelas ‘menyerang’ kompetitornya. Lewat bahasa iklan dengan aksen yang Jawa Timur banget, sekaligus yang menohok. Tohokan itu ada pada kalimat selanjutnya pada dialog itu; ”Cik geleme se dibujuki bukan telepon biasa.” (kok mau-maunya sih ditipu bukan telepon biasa.)
Nah. Jelas sudah siapa lawan yang menyerangnya.
Dan, kalau mau sedikit saja mencermati, perang operator seluler (CDMA maupun GSM) memang luar biasa sengit. Tidak hanya dalam layanan dan tarif, tetapi tentu saja dalam iklan. Contohnya ya head to head antara Flexi vs Esia. Karena pemain CDMA lain (Star One, Fren, Smart, Ceria ) sepertinya tertinggal beberapa lap di belakang dalam 'balapan' ini.
Sebagai yang pertama (sampai-sampai orang menyebut Flexi untuk setiap jenis CDMA, seperti orang menyebut Aqua untuk segala jenis air mineral) tentu tidak tinggal diam. Harus ada yang ditata ulang. Dalam hal ini saya ingin membahas dari sisi bahasa iklan, dan tentu saja termasuk tagline-nya.
Flexi, yang mengusung slogan ‘bukan telepon biasa’ jelas-jelas menjadi santapan empuk sang lawan untuk meledeknya. Seperti yang dilakukan Esia. Konotasi yang hendak dibangun, ’ya memang bukan telepon biasa, makanya bla-bla-bla...dst.’ Karena, sekali lagi, kalau telepon biasa itu ya mesti sinyal selalu bagus, dan gak sering putus. Seperti yang terlihat iklan Esia versi televisi yang dibintangi Ade Rai.
Digambarkan disitu, Ade Rai, dengan badan kekar penuh otot, berpakaian hijau (identik warna dasar Esia) mampu menarik beberapa orang dalam tarik tambang melawan yang berpakaian kuning, hijau, merah, warna khas Flexi. ”Telepon putus, kami ganti!” kata Ade, masih dalam iklan.
Tak hendak menelusur apa benar penggantian itu memang terjadi atau tidak, saya justru lebih tertarik mencermati yang dilakukan Flexi menanggapi serangan ampuh sang Esia yang bertubi-tubi.
Dua saja.
Pertama; Flexi merubah tampilan logonya. Lebih simpel. Dengan warna dasar biru dan tulisan Flexi warna putih di dalamnya. Lihat, ia lebih terasa praktis dibanding model lama yang ‘kaku’ dengan tampilan banyak warna.(Hijau, kuning, merah; seperti warna parpol dominan di negeri ini. Hehehe...)
Kedua, ini dia; slogan. Tak lagi ‘bukan telepon biasa’, tetapi ‘Lebih Irit Kan!'
Ia dibikin sebagai penegas; bahwa Flexi sebagai yang teririt.
Tetapi, saya yang tak terlampau pinter dalam hal bahasa ini, berulang-ulang mendengar kata ‘Lebih Irit Kan!’ selalu gagal memahami lebih dalam. Gara-garanya, ada tanda seru di akhir kata. Karena, dalam tangkapan pendengaran saya, samar-samar kalimat itu sebagai kalimat tanya.
Saya bukan pengguna Esia, juga tidak memakai Flexi.
Tetapi, menurut saya, kalimat itu (yang ada tanda seru, tetapi bernada tanya --menurut kuping saya, sih--) bukan tidak mungkin untuk ditengok ulang. Karena, sebagai kalimat tanya; kalimat Lebih Irit Kan! bisa saja dijawab 'Tidak' oleh sang kompetitor.
Dan, saya pikir, kata “pasti lebih irit” terkesan lebih aman sebagai slogan.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar