Senin, 28 November 2016

Minyak dan Api

JANGANLAH engkau menjelma menjadi api ketika orang lain menyuguhimu minyak
Cak Nun.

Selasa, 22 November 2016

Jenang Sapar

SEMAYI adalah nama sejenis botok tetapi tiada udang, tempe atau jamur dan bahan lainnya sebagai isi. Ia hanya botok dengan bahan utama kelapa diparut yang tampil secara solo. Iya sih ada bumbunya, dan bumbu itu sebagaimana layaknya bumbu botok. Seingat lidah saya, rasa utama ketika dimakan adalah pedas. Parutan kelapa nyaris sudah tiada rasa kelapanya, sepo. Karena ia adalah parutan kelapa yang telah tiada santannya. Santan telah diperas untuk dipakai memasak lodeh gori, nangka muda.

Nasi aking (karak) yang dikrawu berteman semayi adalah menu yang tidak jarang mengisi perut saat saya kecil. Nikmat sekali. Dulu kami makan begitu karena keadaan, kini saya kembali ingin menikmatinya lagi karena kerinduan.

Tetapi, di kota ini, dimanakah saya bisa membeli semayi dan nasi aking dikrawu? Tentu tidak ada, selain membuatnya sendiri. Tentu saya bisa meminta dibuatkan menu itu kepada emaknya anak-anak, namun sebagaimana menu lainnya, hidangan apa pun adalah bukan tandingan bila dibanding masakan ibu. Lebih-lebih bila makanan itu didapat dari membeli. Kenapa? Karena makanan yang dibeli dari restoran atau warung makan unsur utama ketika dimasak adalah berdasar hitungan uang, sementara masakan ibu untuk keluarganya dimasak selalu dengan bumbu utama bernama kasih sayang.

Sekarang bulan Syafar, sebagai lidah yang kolokan, kok ya sempat-sempatnya ia merindukan jenang sapar, begitu kami menyebutnya. Berbeda dengan jenang Suro yang berbahan beras putih, penganan ini berbahan tepung ketan yang hanya ada di bulan Syafar. Adonan tepung ketan itu dibentuk bulatan-bulatan kecil (makanya juga disebut jenang grendul) dipadu gula merah dan santan. Hmm, aroma pandannya menggoda, semenggoda sensasi nyeplus bulatan ketan yang kenyil-kenyil, kenyal. Saat dikunyah rasanya nano-nano; ada manis, ada asin, ada gurih, ada-adaaa aja.... (Hmm, mak cleguk..)
Jenang grendul (Foto: istimewa)

Nah, demi menuruti kerinduan lidah, saya mencari si jenang sapar itu ke pasar. Tidak seperti di awal Syawal yang banyak sekali penjual ketupat, di bulan Syafar tidak saya temukan seorang pun penjual jenang sapar. Padahal kalau di kampung saat masa kecil dulu, di bulan Syafar begini, antar tetangga saling antar jenang sapar. Makanya kita bisa makan penganan itu gratis tanpa bayar. Pagi kemarin itu saya meninggalkan pasar dengan tanpa berhasil membuat kerinduan sang lidah terbayar

Namun, dasar rejeki anak bapak sholeh, saat datang ke tempat kerja, ada seorang teman yang baru pulang kampung membawa sebungkus agak besar jenang sapar. Lumayanlah, walau hanya memakan satu-dua sendok (demi agar jenang segitu bisa dimakan semua teman), paling tidak kerinduan lidah saya sudah relatif terobati. *****

Sabtu, 19 November 2016

Perempuan Penjajah

WANITA dijajah pria sejak dulu.....

Penggalan syair lagu lawas itu mungkin agak kurang dikenal oleh generasi sekarang. Tetapi, 'penjajahan' macam itu masih saja terjadi sampai kini. Walau, atas nama HAM, si penjajah (baca: pria, menurut lagu itu) harus lebih berhati-hati. Harus lebih halus, sehingga si terjajah nyaris tidak menyadari kalau dirinya sedang dijajah.

Isu kesetaraan gender dan sebangsanya memang membawa hasil. Jumlah perempuan dalam parlemen dan aneka bidang lainnya cenderung lebih ada dibanding pada masa lalu. Perempuan, setidaknya bukan sekadar sebagai kanca wingking, teman di belakang. Yang hanya berkutat di sumur, dapur dan kasur. Sebagai yang secara jumlah lebih besar dibanding pria, seyogyanya perempuan adalah 'sang penjajah', bukan sebaliknya. Atau memang sudah, sudah menjajah. Tetapi secara halus, sehingga seperti saya tulis di atas, si terjajah (kali ini pria) nyaris tiada merasa kalau sedang dijajah?

Di sebuah pusat kebugaran di Surabaya, saya dapati ada sudut yang mengkhususkan diri sebagai tempat berlatih tinju. Tidak melulu tinju seperti yang dilakukan oleh Tyson atau Pacman, namun dipadu juga dengan Thai Boxing. Pokoknya tidak sekadar jotosan, nyaduk pakai dengkul dan atau cara nyikut yang 'mematikan' pun dilatihkan. Dan, setiap kali saya kesitu, selalu saya temui sebagian besar yang berlatih adalah perempuan!

Tentu perempuan yang berlatih di situ bukan oma-oma. Para perempuan itu masih kinyis-kinyis dan --dugaan saya-- masih bujangan. Saya belum sempat bertanya apa yang mendorong mereka berlatih jotosan dan nyaduk 'secara baik dan benar', tetapi itu saya baca sebagai sinyal bahwa mereka ingin mematahkan sebagian pendapat yang secara tradisional mengatakan wanita adalah lemah. Itu pertama. Kedua, dengan tidak sedikit kasus kejahatan jalanan yang mengincar perempuan sebagai korban, berlatih bela diri adalah hal yang masuk akal dilakukan. Dan ketiga, bisa jadi, KDRT yang sering menempatkan perempuan sebagai korban, kelak bila para perempuan itu menikah, bila sedang bertengkar dan kurang bisa mengontrol diri, si suami yang akan dijadikannya sansak.

Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS, ditakutkan orang (bahkan warga AS sendiri) akan membuat dunia kacau berantakan. Sebuah ketakutan yang berlebihan, lebih-lebih bila jangan-jangan tokoh menakutkan itu ternyata malah menjadi penakut di hadapan perempuan bernama Melania.

Akhir syair lagu yang saya pakai sebagai pembuka tulisan ini adalah para pria berlulut di sudut kerling wanita, di hadapan perempuan yang piawai bertinju akan menjadi lebih tragis nasibnya karena berlutut bukan sekadar oleh kerling, namun oleh jap, hook atau upper cut. *****

Rabu, 16 November 2016

Pengemis Pemalu

SORE yang mendung. Saya ada di deret lumayan belakang pada antrean agak panjang di SPBU Mayjen Sungkono ke arah Adityawarman. Sambil menunggu giliran, mata saya tertuju pada sesosok ibu berkain panjang, berkebaya dan berkerudung yang duduk di dekat pengisian angin/nitrogen dekat pintu keluar SPBU. Semula saya duga ia adalah ibu dari seseorang yang juga sedang antre mengisi BBM. Sebuah dugaan yang sejauh ini keliru. Karena, hingga saya mendekati giliran, tak seorang pengendara pun menghampirinya untuk melanjutkan perjalanan.

Selesai mengisi tanki kendaraan, saya dekati ibu itu yang di wajahnya terbaca sebagai perpaduan antara ragu dan malu.

“Menunggu siapa, Bu?” saya bertanya.

“Tidak menunggu siapa-siapa,” jawabnya.

“Lalu, kenapa Ibu disini?”

“Saya mengemis...”

Selembar uang sekian rupiah saya berikan, setelah sekian detik tertegun mendengar jawabannya, lalu melajukan kendaraan meninggalkan SPBU. Meninggalkan si Ibu, pengemis pemalu (karena pemula?) yang sepertinya melakukan itu karena terpaksa.

Sore kian turun dan, seperti biasa, beban pundak jalanan kota makin berat oleh volume kendaraan yang makin sarat. Lampu-lampu yang mulai menyala, menyalakan pula tanya tentang Ibu tua itu. Diantaranya;  kemana suami dan anak-anaknya? *****