Senin, 28 Mei 2012

Sepatu Dahlan: Inspirasi dari Alas Kaki



Sepatu Dahlan
Gambar: Google Images
Judul Buku: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Penerbit: Noura Books
Cetakan Pertama, Mei 2012
390 hlm.; 14 x 21 cm



SETIAP penulis mempunyai cara sendiri untuk membuat cerita fiksi. Salah satunya, yang saya tahu, menggunakan resep para jurnalis. Resep itu cukup manjur. Pertama, agar sebuah cerita menjadi sedemikian hidup walau itu hanyalah rekaan semata. Kedua, ini tidak kalah penting, agar semua alur cerita tertata secara runut dan dapat dengan mudah menjawab keingintahuan pembaca. Ya, resep itu lazim disebut sebagai 5W+1H.



Pada cerita fiksi macam itu, penulis setelah menentukan plot dan tokoh-tokohnya lengkap dengan masing-masing karakter, membuat pertanyaan kepada masing-masingnya. Tentu memakai kaidah 5W+1H itu. Tetapi karena semua seratus persen adalah fiksi semata, pertanyaan dan jawabannya itu hanyalah sebuah wawancara imajiner belaka. Bagaimana tidak, karena yang bertanya dan yang menjawab adalah sang penulis sendiri. Dan hal itu dilakukan agar sebuah penciptaan (cerita fiksi) menjadi lebih gampang dan cepat.



Buku Sepatu Dahlan ini pun dibangun dengan cara yang sama. Yang membedakan hanyalah wawancara yang dilakukan oleh Khrisna Pabichara terjadi secara nyata. Ia, selain mewawancarai tokoh utama, juga melakukan riset mendalam dengan menemui orang-orang (baca: saksi mata) kehidupan masa kecil Dahlan Iskan, menginap di kampungnya dan sampai-sampai menelusuri rute perjalanan Dahlan Iskan dari rumah ke sekolah yang 6 kilometer sekali jalan itu. Dengan itu, tentulah tidak berlebihan bila dikatakan novel ini lebih mempunyai 'nyawa'. Ruh-nya betul-betul terasa. Karena ditulis dengan totalitas oleh seorang Khrisna yang terbilang mumpuni.



Tetapi, “Buku ini bukan kisah nyata. Bukan biografi. Namun isinya terinspirasi oleh perjalanan hidup saya,” demikian kata Dahlan Iskan pada lounching buku ke 14 (tetapi novel pertama) dari Khrisna Pabichara ini.



Jelas sudah, bagi yang berharap menemukan gaya penulisan Dahlan Iskan di buku ini, silakan untuk bersiap kecewa. Karena buku ini ditulis oleh orang lain. Tetapi, sekali lagi, karena dikerjakan sepenuh hati oleh seorang yang mumpuni, kita akan diajak berkelana ke masa lalu Dahlan Iskan dengan alur yang mengalir, dengan setiap butir kisah dibangun lewat sentuhan sastrawi, menjadikan (bisa-bisa) pembaca akan seperti kena candu.



Bagi yang sudah pernah membaca buku Ganti Hati yang ditulis Dahlan Iskan (diterbitkan pertama oleh JPBooks, Oktober 2007), Prolog dan Epilog buku ini mungkin akan menggugah kembali ingatan Anda tentang saat-saat menjelang dan sesudah Dahlan Iskan melakukan operasi cangkok hati di sebuah Rumah Sakit di Tiongkok sana. Tetapi sekalipun buku ini diniatkan 'hanya' sebagai novel fiksi, dengan Prolog dan Epilog itu (masing-masing berjudul 18 Jam Kematian dan Mimpi Baru) sudah diolah sedemikian rupa, akan sangat sulit sekali melepaskan diri dari kenyataan bahwa bagian itu adalah merupakan kisah asli.



Jujur saya akui, saya tertarik membaca buku ini karena sebagai anak kampung dengan keadaan yang miskin, dulu saya juga pergi-pulang sekolah dengan berjalan kaki, juga bersepatu bekas yang ujungnya sudah jebol. Dengan membaca buku ini, seolah saya sedang membaca kisah saya sendiri. Tetapi kalau beranggapan buku ini hanya layak dibaca oleh orang yang berlatar belakang miskin seperti saya, tentu saja keliru. Bahwa kemiskinan itu pernah dialami, biarlah saja itu. Namun ketika sebuah keadaan yang susah itu tidak dihadapi dengan 'cara susah' tentu adalah sebuah pencerahan. Dan buku ini, nyaris setiap lembarnya adalah bicara tentang itu. Tentang sebetapa pun miskinnya, harus selalu pantang menyerah.



Dibaca sekarang, saat orang tua sibuk memilihkan sekolah lanjutan untuk anak-anaknya, buku ini memberi cerminnya. Bahwa ketika sebagian besar orang tua ingin anaknya sekolah negeri dan cenderung menjadikan pesantren sebagai alternatif terakhir disinggung pada bab pertama yang diberi judul Tanah Tebu.



“Bapak tahu, Le, tapi kamu harus tahu diri. Harus tahu kemampuan orang tua. Kalau di pesantren Takeran, biaya lebih ringan,” tegas Bapak. (hal 20)



Sekalipun dengan biaya murah begitu, dengan tidak melarang Dahlan sekolah hanya bertelanjang kaki saja begitu, hari pertama mendaftar sekolah ke Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin ini sudah disambut tulisan yang ditempelkan didinding. Bukan sembarang tulisan. Karena tulisan itu kalau bisa meresapkannya ke dalam jiwa, akan menjadikan setiap kita lebih bermakna.



Ojo kepingin sugih, lan ojo wedi mlarat, juga sumber bening ora bakal nggolek timba. (Jangan ingin kaya, dan jangan takut miskin. Sumur bening tidak akan mencari timba.)



“Pilih ngendi, sugih tanpa iman opo mlarat ananging iman?”



Dengan tegas aku menjawab, “Sugih ananging iman, Pak.” (hal. 31)



Begitulah, dialog dibangun dengan ringan tetapi sarat makna. Juga ketika Dahlan sepulang sekolah dan masih ngos-ngosan, karena berjalan tanpa alas kaki sejauh 6 kilometer dibawah terik matahari, sekalipun Ibu karena kasihan menyilakan agar tidur sebentar, “Ndak ada waktu, Bu. Harus nyabit (mencari rumput untuk pakan ternak, pen) lagi.”



Tentang telapak kakinya yang selalu kepanasan pergi-pulang sekolah hanya nyeker begitu, impian terbesar untuk mengurangi penderitaan macam itu adalah ingin memiliki sepatu.



Setengah sadar aku bergumam, “Coba aku punya sepatu.....”



Ibu tertegun, meletakkan canting (alat untuk membatik, pen), dan menatapku sedih. “Kita boleh saja bermimpi sesuka hati, Le. Tak ada salahnya bermimpi punya sepatu, tapi jangan karena mimpi itu belum tercapai lantas kamu putus asa. Hidup ini keras, kamu harus berjuang sendiri.” (hal. 40)



Saya sependapat dengan testimoni cerpenis dan esais Damhuri Muhammad, bahwa tidak gampang menulis novel dari riwayat seorang tokoh yang sedang bertabur bintang. Pengarang bisa terjebak dalam ungkapan-ungkapan prosaik yang bergelimang puja-puji, atau terancam oleh sinisme lantaran menyingkap hal-hal tak terlihat yang boleh jadi mencemari keterpujian tokoh tersebut. Tetapi, Khrisna Pabichara telah selamat dari dua jebakan itu.



Inspirasi memang bisa muncul dari siapa saja dan benda apa saja. Bagi sebagian orang, bisa jadi sosok Dahlan Iskan adalah seorang inspirator. Yang ceplas-ceplos, yang tegas, jujur, pekerja keras dan, ini dia, selalu bersepatu kets. Bahwa sekarang ia dipandang sukses, iya. Tetapi bahwa ia mempunyai 'pengalaman' mendalam tentang masa lalunya yang miskin sampai-sampai sepatu saja hanya mampu dimilikinya saat-saat akhir SMA (Aliyah), juga iya. Dan ini, sekali lagi, juga bisa dijadikan sebuah inspirasi.



Akhirnya, sambil menunggu dua buku lanjutannya (Surat Dahlan dan Kursi Dahlan) saya mengamini kalimat terakhir dari pengantar Dahlan Iskan untuk buku ini yang ditulis pendek saja; It's a must read.*****

Pentraktir yang Ngacir

INI akan terdengar (terbaca) tidak masuk akal. Atau, meminjam istilahnya almarhum Asmuni, sebuah hil yang mustahal. Bayangkan, coba. Saya yang sudah belasan tahun bermukim di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, yang saban hari melewati beberapa restoran cepat saji (mulai McD, KFC, Hokben dan sebangsanya), tetapi belum pernah sekalipun andok disitu.

Tetapi sebuah hil (maaf, hal maksudnya) tentu bisa dicarikan alasannya kenapa bisa begitu. Dan untuk tentang yang saya bilang diatas, setidaknya ada dua macam alasan. Sebagaimana terbentuknya sebuah alasan, untuk kasus apapun, tentu bisa dibikin agar nyambung, senyambung-nyambungnya. Untuk yang macam begini, saya yang rakyat jelata, tentu bisa meniru 'kreatifitas' para pesohor negeri yang piawai betul dalam memproduksi alasan. Tetapi biarlah saja mereka. Saya hanya akan menyebut alasan kenapa saya tidak pernah 'marung' di McD, misalnya. Begini; Pertama alasan medis, kedua alasan nasionalis.

Agar terkesan berbau patriotisme, tentu saya bilang yang alasan nasionalis dulu. Untuk apa kita memakan yang produk asing (setidaknya brand asing) bila sebenarnya lidah kita lebih akrab dengan nasi pecel, lontong balap atau rawon, misalnya. Atau bukankah rendang itu sudah masuk sebagai salah satu kuliner paling mak-nyus sedunia? Atau, kadang-kadang secara tidak sadar ada yang orang yang berstandar ganda. Misalnya, pernah ia ikut demo anti Amerika. Ikut aksi turun ke jalan. Dengan suara lantang mencemooh tabiat negara adi kuasa itu. Sungguh demonstrans yang demonstratif. Dengan tampilan keren, bercelana Levi's, yang si saat jeda orasi, karena kehausan lalu mengguyur tenggorokannya degan Coca Cola, setelahnya menyulut Marlboro. Lalu saat pulang, karena lapar kemudian mampir andok di McD.

Alasan kedua; medis. Konon, segala makanan cepat saji itu kurang baik bagi kesehatan. Ia hanya akan memperlancar laju bagi yang sedang meretas jalan menuju obesitas. Dan, kegemukan itu mempunyai serombongan efek tak menyehatkan lainnya. Nah.

Tetapi jangan percaya begitu saja alasan yang saya buat itu. Karena, jujur ini, saya sadar diri sekaligus sadar kantong. Maka, ketika istri saya getun setelah andok di depot Bayuangga Probolinggo karena harus membayar lima puluh ribu rupiah untuk tiga piring nasi yang kami makan, sungguh saya bisa memakluminya. Uang segitu bagi kami, tentu bisa untuk makan sekeluarga dua hari penuh dengan sayur lodeh tewel lengkap dengan iwak peyek.

Kenapa saya menulis ini tentu ada sebabnya. Begini, kemarin malam, seorang teman yang telah berbaik hati memperjuangkan tulisan-tulisan saya yang remeh temeh macam ini (yang dimuat di media tempatnya bekerja) untuk juga dihargai secara rupiah, bilang dalam pesan singkatnya, “Kapan-kapan kalau ada waktu ketemu, (sampeyan) kusuruh traktir. Makanku buanyak...”

Selain 'ancaman', itu tentu saja bisa saya maknai kalimat itu sebagai guyonan semata. Tetapi, kalau itu diniati secara betulan bagaimana? Kemana saya harus mentraktir? Andok nasi pecel di warung tetangga, atau saya traktir mi pangsit di tempat jualannya adik ipar saya? Daripada saya puyeng mempersiapkan itu semua, lebih baik saya biarkan (kalau memang terjadi kopi darat itu) berlaku hukum apa adanya. Kalau terjadi, terjadilah. Karena, bukan tidak mungkin, karena nelangsa melihat keadaan saya, justru saya nanti yang malah ditraktirnya. Hehe...

Untuk hal ditraktir saya punya pengalaman tak terlupakan. Dulu, ketika masih bujang, banyak sekali pemuda seusia saya yang merantau ke Bali. Di pulau Dewata itu kami-kami meniti karir sebagai kuli. Karena jarak Jember-Bali yang tak seberapa jauh, dua Minggu atau sebulan sekali kami pulang kampung. Kalau sudah begitu, biasaya, teman-teman di kampung suka mengajak andok di warung nasi pecel. Padahal saya alami sendiri, tidak tentu setiap pulang dari Bali itu ada uang cukup di dompet. Yang sering terjadi, justru ketika hendak balik ke Bali lagi itu, kami harus menjual barang dua-tiga ekor ayam untuk sangu naik bus.

Suatu hari, ada seorang ada teman yang baru pulang dari Bali. Saya ingat, namanya Munajat. Sungguh, ia datang di saat tepat. Tepat ada acara bersih desa di kampung yang tentu ada aneka hiburan. Mulai jaranan, sampai pagelaran wayang kulit semalan suntuk. Dan, setiap ada keramainan, tentu saja ada banyak sekali penjual makanan. Maka, kami todonglah si teman yang baru pulang dari Bali itu untuk mentraktir kami.

Saya bersama dua teman lain berhasil menghasutnya untuk mengajak kami makan di sebuah kedai rujak lontong. Jadinya kami berempat duduk di bangku panjang sambil dengan lahap menyantap rujak. Tetapi, si pentraktir, saya lihat cepat sekali makannya. Edan, rujak sepedas itu ia santap dengan lahap. Dan, tentu saja, ia selesai duluan. Selesai jauh meninggalkan kami bertiga yang makan sambil mendesis-desis kepedesan.

“Eh, teruskan saja. Aku tak beli rokok dulu,” kata Munajat sambil berdiri meninggalkan kami.

Itu tentu bisa diterima akal. Karena, mengisap rokok setelah makan pedas tentulah sangat nikmat. Dan, memang ibu penjual rujak itu tidak merangkap jabatan sebagai penjual rokok.

Kami terus saja makan. Tetapi ketika sekian lama si Munajat tidak juga muncul batang rokoknya, lama-lama kecepatan makan kami makin lama. Karena itu kami lakukan sambil menungu kemunculan si pentraktir. Sungguh, karena hanya Munajatlah yang kami curigai sedang pegang uang. Semakin lama Munajat tidak muncul, semakin lama pula kami makannya.

Merah muka saya bukan karena kepedasan semata. Itu adalah juga campuran dari kemungkinan terburuk; pentraktir ngacir. Sementara semua dompet kami hanya berisi KTP.

Kecurigaan Munajat kabur makin kuat manakala saya lihat untuk membeli rokok sebenarnya tidak perlu beranjak jauh, karena lima meter dari penjual rujak ini sudah ada penjual rokok. Pernah memang seorang teman bercerita meninggalkan KTP kepada benjual bensin eceran ketika motornya kehabisan BBM di tengah perjalanan. Tetapi, tentu amat memalukan bila untuk empat piring rujak lontong kami harus pula meninggalkan selembar kartu identitas itu.

Disaat saya tolah tolah-toleh dalam aneka praduga itu, yang sampai-sampai rujak menjadi tidak terasa enak dilidah saya, Munajat datang dengan senyum yang sungguh sedemikian menjengkelkan. “Macak'e ae mbois, ternyata semua dompetnya kempis...” ejeknya.

Asyem tenan!*****

Senin, 21 Mei 2012

Sisi Lain

*) catatan: cerpen ini dimuat harian Radar Surabaya edisi Minggu, 20 Mei 2012.

(1)

 “SEMOGA  ini bukan menjadi lebaran terakhir. Semoga semua sehat, aku sehat, anak-anakmu juga sehat...,” itu pesan ibu ketika aku, suami dan kedua anakku pamit pulang selepas mengunjunginya lebaran tahun kemarin. Selalu begitu. Saban lebaran.
     Kuhitung, telah dua belas lebaran. Sejak aku tinggal tidak bersama ibu. Sejak mengikuti mas Dewo. Dua belas tahun. Dan terasa baru kemarin saja. Padahal Ika sudah besar. Seusia perkawinanku . Dan Dwika, dua tahun selisihnya dengan Ika. Mereka, anak-anakku itu, harta yang ternilai. Tentu itu, bagi siapapun ibu.
Apalagi aku bagi ibu. Karena aku hanya anak satu-satunya.
     Mas Dewo, lelaki itu yang mampu memisahkan aku dengan ibu. Duabelas tahun lalu. Setamatku dari SMA. Dan aku tahu, ibu amat terpaksa melepasku. Karena tanpa aku, ibu hanya akan berdua saja dirumah besar itu. Berdua dengan bapak. Dirumah joglo peninggalan eyangku.
     Malam itu, dua belas tahun lalu, bapak nyaris saja menamparku. Menampar anak semata wayangnya ini. Untung ada ibu. Yang rela menyerahkan dirinya untuk ditampar bapak, daripada diriku. Dan bapak malah duduk. Menangis. Lelaki itu menangis, ya menangis. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
     “Kamu tahu, nduk. Bapakmu terluka. Amat terluka hatinya,” kata ibu.
     Aku menangis. Bahkan ini sebagai lanjutan dari tangisku sebelum bapak menangis tadi. Tangis yang entah maknanya apa. Tapi, sambil menangis itu, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu tindakan bapak selanjutnya. Meneruskan ingin menamparku, dan itu tidak akan kuhindari kalau terjadi. Atau malah menyuruhku seperti yang dikehendaki mas Dewo; aborsi.

Sabtu, 19 Mei 2012

Kepancal Bis

DALAM hal kepercayaan, saya terlanjur tidak begitu dalam menaruhnya kepada seseorang yang berprofesi sebagai kondektur. Ini dilandasi oleh pengalaman empirik (waduh!); setiap kali saya naik bis dari depan mulut gang walet di kampung saya, Mlokorejo-Jember sana, bis apapun, baik dari grup Akas atau yang lainnya, selalu saja sang kondektur bilang, “Langsung Surabaya. Probolinggo tidak parkir.”

Dulu sih saya percaya saja. Dan langsung membayar ongkos sampai landing di Purabaya. Tetapi ketika kenyataannya tidak selalu begitu, dan malah lebih sering dioper di sebelum terminal Menak Koncar Lumajang, lunturlah pula kepercayaan itu. Dioper begitu, sampeyan tahu, akan tidak bisa lagi nyaman. Karena, bis yang dioperi itu, bisa jadi lebih jelek kondisinya, sekaligus lebih penuh isinya. Penumpang yang naik dari pintu belakang diminta maju ke depan. Sementara yang masuk dari pintu depan diminta bergeser ke belakang. Intinya, bis itu sudah penuh-sesak. Intinya lagi, yang tidak kebagian kursi harus terpaksa berdiri. Tetapi, “Sabar sebentar,” kondektur menenangkan. “Di terminal Lumajang banyak yang turun.”
Sekali lagi, bagi yang haqqul yaqin akan perkataan kondektur, bersiaplah untuk kecewa. Karena sesampainya di terminal Lumajang, yang turun hanya satu- dua. Malah yang naik tiga-empat.

SUATU malam saya hendak mudik ke Jember. Tetapi saya kemalaman. Karena, setahu saya, bis terakhir jurusan Jember yang via Kencong (finish Ambulu), take off dari Bungurasih jam sebelas malam. Dan ketika itu, saya baru sampai Bungurasih jam sebelas lebih sedikit. “Barusan berangkat,” kata seorang kondektur ketika saya tanya.

Saya langsung lemes. Saya mempersiapkan plan B; pulang balik ke Rungkut untuk berangkat besok pagi saja. Tetapi, karena kaki saya sudah kadung di terminal hampir tengah malam begitu, terpikirlah untuk memunculkan plan C; menginap di terminal.

“Mau kemana to, mas?” tanya seorang kondektur bis jurusan Jember via Tanggul.

“Mlokorejo,” jawab saya. Tentu saja sang kondektur tahu, tujuan saya itu hanya dilalui bis yang via 
Kencong. Bisa juga sih ikut bis yang via Tanggul dan turun di pertelon Rambipuji. Tetapi, dari Rambipuji ke selatan lewat Balung, Kasiyan menuju Mlokorejo, tengah malam begitu tentu juga bukan pilihan bijak. Ya itu tadi, kendalanya ketiadaan angkutannya.

“Begini saja,” sang kondektur memberi solusi.”Ikut saya saja. Nanti sampai Probolinggo sampeyan oper yang bis baru berangkat tadi.”

“Iya kalau nutut, kalau tidak bagaimana?” saya protes.

Sampeyan bisa ikut yang trayek Ponorogo-Ambulu,” kondektur itu optimis sekali. “Jam satu, bis itu transit di Probolinggo.”

Entah pakai susuk apa mulut kondektur itu, sehingga saya termakan ajakannya. Naik bisnya. Karena malam, antara Surabaya-Pasuruan tak ada seorang penumpang pun yang naik atau turun. Saya semakin berdoa; semoga bis ini bisa nututi bis Surabaya-Ambulu di depannya. Sehingga saya bisa oper dan tidak ketiban sial menginap di terminal Bayuangga Probolinggo yang tentu saja tak seramai Purabaya. Atau kalau sedikit apes, masih ada harapan; ikut yang dari Ponorogo.

Jam satu lebih sedikit, bis Akas yang saya tumpangi masuk terminal Bayuangga. Karena bis tidak parkir, saya langsung meloncat (tentu kaki kiri duluan) dan menuju ke seorang (lagi-lagi) kondektur bis malam jurusan Probolinggo-Surabaya yang tempat antreannya berdekatan dengan yang jurusan Probolinggo-Jember  via Kencong. “Akas yang lewat Kencong?”

“Wah, barusan berangkat, mungkin seperempat jam yang lalu,” jawaban itu membuat saya lemas. Tetapi tak lemas-lemas amat. Karena bukankan masih ada harapan cadangan; bis yang Ponorogo-Ambulu. Tetapi, “Yang dari Ponorogo juga barusan berangkat. Baru saja. Belum lima menit.” Kali ini saya benar-benar lunglai.

“Kalau bis yang lewat  Kencong, paling pagi, berangkat dari sini jam berapa, pak?”

“Jam lima.”

 Musnah sudah harapan. Plan C saya memang menginap di terminal. Tetapi asumsi saya adalah terminal Purabaya. Bukan Bayuangga.

Udara malam teerasa dingin, yang anginnya sesekali berhembus mendekatkan bau asap kenalpot itu ke hidung saya. Sudah begitu, disertai juga satu bonus, aroma pesing entah dari hasil ulah siapa yang membuat terminal yang sesekali saya dapati pelancong mancanegara singgah disitu. Mungkin menuju atau dari Bromo. Dan, bau pesing itu, bagi hidung mereka, tentu tidak hanya dibilang sebagai aroma terminal Bayuangga. Tetapi, bau terminal Indonesia.

Sekalipun tak sehidup ketika dibanding siang, tetapi tengah malam begini ada saja bis yang datang dan pergi. Para pedagang asongan yang kalau siang begitu riuhnya, kali ini sepi. Dan, sepi inilah yang juga saya khawatiri. Saya merasa, kalaulah ada khawatir, sekecil apa pun itu, adalah kekhawatiran yang berlebihan. Kalaulah ada preman terminal, saya tak yakin saya adalah sebagai sasaran. Apa coba yang patut diincar dari saya. Sandal jepit? Atau buntalan kecil tas kresek ini? Begitulah, kalau sedang mudik tidak bareng anak-istri, tampilan saya hanya bersandal jepit dan sebuah tas kresek hitam bekas wadah beli beras yang saya isi satu kaos oblong untuk ganti.

Jam setengah dua saya duduk dibangku panjang di depan depot Bayuangga. Mula-mula saya duduk biasa, lalu bersandar. Sambil tak lepas memandang bis-bis yang sesekali transit, sekalipun tidak dalam waktu lama. Menurunkan penumpang, lalu bablas lagi. Disitu, pada bis-bis itu, saya sedang menunggu keajaiban; ada bis yang lewat Kencong. Harapan yang mungkin kosong. Sekosong tatapan mata saya. Status duduk saya meningkat, saya selonjorkan kaki. Saya letakkan tas kresek hitam. Sampeyan tahu, apa yang seharusnya dilakukan kebanyakan orang di tengah malam begitu? 

Ya, jawaban sampeyan betul; tidur. Maka, demi maksud itu, saya naikkan status kresek hitam ini, dari yang tadinya hanya sebagai wadah baju ganti, saya bikin ia merangkap jabatan juga sebagai bantal. Lumayanlah, tidur tiga jam, sholat subuh di musholla itu, beli roti untuk sarapan, dan jam lima berangkat pulang, matang betul rencana itu saya susun dalam batin.

Badan capek, baru saja kepala saya taruh di bantal (eh kresek isi kaos, ding), langsung saja saya bablas. Tidur pulas itu, tentu tak melulu harus berkasur empuk di ruang sejuk. Di terminal pun, beralas bangku panjang dari beton, yang sesekali hidung ditusuk bau pesing pun, bisa.

Angler sekali saya tidur. Rasanya baru beberapa saat terlelap, telinga saya mendengar teriakan lantang dari kondektur, “Kencong, Kencong, Kencong...”

Saya langsung jenggerat, bangun. Heran saya. Belum mendengar adzan subuh, belum sarapan roti, kok sudah ada bis via Kencong yang siap berangkat. Semakin saya kucek-kucek mata, rasanya semakin terang saja dunia. Jam berapa ini?

Secepat titipan kilat saya menembakkan mata ke jam dinding di depan depot Bayuangga. Oh, sudah jam tujuh rupanya!*****

Kamis, 17 Mei 2012

Kekasih Asih

SATU per satu ribuan buruh pabrik itu keluar dari mulut pintu gerbang yang dijaga tiga satpam. Kalau engkau sore itu ikut berdiri didekat situ, pastilah hidungmu mendapati aroma yang sama di antara mereka. Atau aroma itu sudah sedemikian akrab dengan inderamu.  Atau bahkan engkau saat ini sedang menikmati hasil lintingan tangan-tangan mereka. Ya, mereka itu, para buruh pabrik rokok itu, yang  kalaulah kukatakan dalam sahari setiap pasang tangan itu menghasilkan tiga ribu batang rokok, engkau pasti tidak begitu saja memercayainya. Sudahlah, dalam hidup ini kadang ada hal-hal yang dianggap gila. Segila pendapatmu yang meyakini kalau engkau sedang sakit batuk, untuk sembuh engkau harus menghisap rokok merek tertentu. Gila. Sungguh gila. Bagaimana bisa seperti itu. Tetapi kegilaan tentu lebih dari itu. Karena itu baru satu. Bayangkan, dengan ekpansi yang nyaris menyentuh setiap kawasan, engkau akan dapat dengan mudah mendapati pabrik rokok itu membuka tempat produksi di --bahkan mungkin-- kotamu. Dengarlah, selain di Rungkut ini, ia ada di Yogya, Cirebon, Malang, belakangan ia sedang membangun di Probolinggo.

Bisnis rokok adalah memang bisnis gila. Segila engkau yang tahu bahwa benda itu tidak menyehatkan tetapi engkau bahkan kadang lebih memilihnya daripada sepiring nasi. Ia memberi pendapatan yang lumayan gila untuk negara, tetapi juga harus tahu, uang itu didapat dari pembeli, rakyat-rakyat miskin negeri ini. Tetapi, mana peduli.  Dan Asih pun setali tiga uang. Sebagai perempuan single parent ia tentu butuh uang. Untuk biaya sekolah anaknya, juga untuk menghidupi ibu yang ia titipi anaknya itu di desa sana. Dan, dengan tiga ribu batang rokok yang ia linting sehari, dalam seminggu ia mengantongi upah enam ratus ribu. Upah yang tentu besar bila dibanding buruh pabrik-pabrik lain. Atau bahkan yang didapat para penjaga stand mall yang berdandan aduhai itu. Begitulah, semakin pekerjaan itu menyengsarakan orang banyak, engkau akan mendapat upah lebih banyak.

Selasa, 15 Mei 2012

Jangan Ada Celaka di Musim Tamasya

DENGAN segala hiruk-pikuknya, selesai sudah Unas (Ujian Nasional) dijalani para siswa kelas akhir di setiap jenjang sekolah. Sekarang tinggal menunggu pengumumannya. Kehiruk-pikukan orang tua siswa tentu belum berakhir. Karena, masih ada kesibukan lain yang harus dipersiapkan. Mencari sekolah baru bagi anak-anaknya. Dan itu, sungguh juga menguras perhatian.

Tetapi, lihatlah, para siswa itu, yang nasib(kelulusan)nya belum tentu itu, sudah pada sibuk oleh sebuah 'ritual' lain bernama tamasya. Entahlah apa yang mendasarinya. Kesannya kok bersenang-senang dulu, urusan lulus-tidaknya itu soal belakangan. Yang jelas, kegiatan ini telah diagendakan pihak sekolah justru sebelum Unas dihelat. Bagi orang tua, sekali lagi, urusan tamasya ini pun adalah beban lain. Karena untuk kegiatan ini juga diperlukan dana. Padahal, berikutnya, untuk masuk ke sekolah baru, uang masih harus disediakan dalam jumlah tertentu.

Karena sudah menjadi semacam tradisi, hal tamasya para siswa, saat-saat ini sedang masuk musimnya. Tidak hanya bagi yang (akan) lulus SMA, SMP, atau SD. Lulusan TK pun diagendakan tamasya! Tujuan destinasinya tentu aneka macam. Dari yang hanya sekadar di dalam kota, misalnya ke Bonbin. Atau (agak jauh dikit) ke Malang, ke WBL Lamongan atau (lebih jauh lagi) ke Yogyakarta-Borobudur atau melambung jauh sampai ke Bali.

Tentang kecelakaan yang terjadi saat tamasya siswa ini masih kita ingat pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Dan, tentu tidak kita inginkan terulang di musim ini. Untuk itu, sebaiknya, para panitia tamasya (nota bene para guru?) harus pandai memilih armada bus yang akan digunakan. Harus berkondisi prima. Jangan hanya bagian luarnya saja yang dilihat. Segala perlengkapan harus dijamin berfungsi baik. Jangan sampai bus yang catnya tampak kinclong, ditengah perjalanan ternyata remnya blong.

Satu lagi, bagi yang rute destinasinya jauh, misalnya Surabaya-Yogya atau Surabaya-Bali, sebaiknya ada sopir cadangannya. Agar, ketika dalam perjalanan, disaat penumpang mengantuk karena kecapekan, sopirnya tidak ikutan tertidur sak sliut karena kurang istirahat. Karena, sekalipun cuma sak sliutan, kalau bus melaju kencang, itu bisa mencelakakan.

Selamat bertamasya!



Senin, 14 Mei 2012

Menanam dan Menuai

SEGENGGAM benih rumput gajah yang saya tanam dua bulan yang lalu, sekarang sudah mambrah-mambrah memenuhi taman kecil di depan rumah saya. Ataukah memang begitu itu sifat rumput. Apa pun namanya. Apa pun jenisnya. Tetapi, seperti kata pepatah, 'tanam padi rumput ikut, tanam rumput padi tak mungkin turut'. Sangat filosofis. Tak ingin saya menggurui siapa pun memakai 'senjata' ini. Bukan apa-apa; saya merasa masih belum menjadi padi, sekalipun agak geregetan kalau masih dibilang sebagai rumput.

Baiklah, saya ingin bicara tentang taman kecil di depan rumah saya saja. Tentang ini, sebenarnya, telah pernah saya tulis. Lupa saya, apakah itu di FB ataukah di blog saya ini.

Sudahlah, biarlah rumput itu menghijaukan taman saya yang hanya selebar lidah. Tetapi saya sedang memerhatikan empat tumbuhan lain disitu. Turi. Iya, dulunya memang saya tanami turi disitu. Dua batang. Sampeyan tahu, dengan dua batang itu, nyaris semua orang se gang saya ini pernah ngincipi sayur turi. Tentu saya tidak menentukan harus dimasak apa turi dari saya itu. Tetapi, kembang turi sangat cocok kalau ditampilkan sebagai sayur pada menu pecel.

Dua batang yang dulu itu berjenis turi putih. Dan, empat yang sedang setinggi dengkul sekarang ini, saya kira tiga diantaranya berjenis (kelamin?) kembang turi merah. Benihnya saya curi (Maaf, sungguh maaf. Karena saya tidak tahu pemilik pohon turi yang tumbuh di pinggir jalan raya Trosobo itu, saya pungut begitu saja beberapa klenthang-nya yang sudah kering. Tentu saya masih ingat buku  Slilit sang Kiai-nya Cak Nun. Yang esensinya membahas; sesepele dan sekecil tindakan 'pencurian' pun bisa menyebabkan seseorang gagal masuk sorga... Wih!)

Selain itu, secuil halaman di depan rumah saya ini pernah saya tanami terong, kecipir juga kacang panjang. Dari ketiganya, hanya kecipir yang gagal panen. Sekalipun daunnya gimbal, bunga-bunganya selalu rontok dan gagal memberikan buah yang gembel (lebat). Maka, berbulan-bulan menanti si kecipir berbuah, habis sudah kesabaran saya. Saya babat habis si gimbal kecipir mandul itu. Padahal, ketika saya tanam kacang panjang, saya bisa membagi ke tetangga, sebagaimana juga ketika saya panen terong.

Tentang terong ini (ekhm, maaf) saya mesti membohongi ibunya anak-anak. Sekalipun wajar, bukankah memang sering sekali istri akan lebih suka tidak setuju bila dijujuri? Lain halnya kalau sedikit dibohongi. (Ssttt, silakan protes kalau tidak setuju.) Bayangkan, untuk membeli benih terong unggulan di sebuah toko pertanian, saya harus merogoh kocek senilai delapan belas ribu rupiah. Bayangkan (lagi), betapa marahnya ibunya anak-anak bila uang segitu hanya dapat sebungkus kecil benih terong. Karena, dengan uang segitu, sudah bisa membawa pulang sekarung terong bila dibelanjakan ke pasar Wonokromo. Makanya, saya bilang, benih itu saya beli seharga tigaribu lima ratus! Sudah begitu, hanya sak iprit yang saya tanam. (Iya, bisa jadi benih segitu cukup untuk ditanam di lahan seluas setengah hekare!) Lha, padahal, (sekali lagi) tanah di depan rumah saya ini memang cuma sak iprit.

Melihat daun turi yang lumayan lebat, tentu saya tak salah kalau berharap nantinya bunganya juga lebat. Karena, mengingat yang sudah lalu, bunga turi yang tumbuh di halaman depan rumah saya ini tiada hari tanpa berbunga. Selalu. Hari ini di pecel, besok di eseng-eseng, lusa? Ah, tentu saya boleh bertanya kepada sampeyan enaknya kembang turi itu dimasak apa lagi.

Menutup catatan ini, saya ingin sampeyan membaca layaknya sebagai pak Mario Teguh. (Hust, serius ini. Jangan  sampeyan senyumi begitu!) Begini;

“Sahabat Indonesia yang super.
Berharap itu hak setiap insan. Misalnya, seorang karyawan mengharap gaji setiap bulan atas pekerjaan yang telah dilakukan, majikan yang mengharap para pekerjanya seproduktif mungkin setelah lebih dulu  menyejahterakannya, seorang pasien yang mengharap kesembuhan atas pengobatan yang telah diusahakan, seorang murid yang mengharap lulus dari ujian setelah belajar dengan kesungguhan, atau, penanam kembang turi yang mengharap diberi kelebatan bunga sebagai imbalan atas segala ketelatenan memeliharanya. Mengharaplah setelah mengusahakan. So, hanya yang menanam yang akan menuai. Maka, sahabat-sahabat saya yang baik hatinya, menanamlah. Tetapi karena Tuhan menyukai kebaikan, tanamlah hanya yang membaikkan saja. Lalu, perhatikan apa yang terjadi... Itu.”


Minggu, 13 Mei 2012

Televisi Bikin Ngeri

Gambar pemindahan jenazah dari helikopter ke ambulance di
Bandara Halim Perdana Kusuma.
(Foto: tribunnews.com)
“NGERI aku, Kang, lihat gambar di televisi,” Mas Bendo berkata setelah menyaksikan proses evakuasi korban kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 yang menabrak tebing gunung Salak.

“Ngeri kenapa, nDo?”

“Lha itu, kantong-kantong jenazah dibawa lari terbirit-birit, dari heli satu ke heli lain untuk diterbangkan lagi ke RS Polri untuk diotopsi,” tarikan nafas Mas Bendo sungguh bisa dipahami ia sedang teramat sedih. “Memang, tidak ada sanak saudaraku ikut menjadi korban. Tetapi, cara menggotongnya itu, sungguh membuat hatiku teriris. Perihnya melengkapi rasa pertama ketika dalam berita disebutkan jenazah-jenazah itu sudah sebagai jasad yang tak utuh...”

“Terus maumu bagaimana?”

“Bisa kan jenazah-jenazah itu ditandu dengan lebih 'sopan', sehingga pihak keluarga yang sedang menyaksikan di layar kaca tidak semakin berkaca-kaca...”



Tidak ingin menganggu kesedihan dan empati mas Bendo, beberapa saat Kang Karib membiarkan sahabatnya itu dalam diamnya. Dan ketika dilihat saatnya sudah tepat, Kang Karib baru berkata. Begini: “Atau, janganlah kita nyalakan televisi.”

“Tidak bisa begitu, Kang. Televisi menjadi media bagi siapa pun yang ingin memperoleh kabar dan mengikuti perkembangan demi perkembangan proses evakuasi.”

“Kalu begitu, jelas sudah, justru cara televisi memampang gambarlah yang perlu kau protes. Bukan cara para petugas yang harus bergerak cepat dalam mengevakuasi jasad para korban.”

Begitulah, seringkali, demi sebuah gambaran 'nyata' sebuah peristiwa, media (khususnya televisi) berlomba menyajikan gambar yang membuat hati pemirsa miris. Nyata memang, jasad yang tak utuh, cara menangani evakuasi yang sedemikian, dan sebagainya. Itu bisa dipahami sebagai semua harus dilakukan dengan cepat. Agar yang hancur (maaf) itu tidak semakin hancur. Tetapi, tentu, tidak seharusnya semua diliput sedemikian detailnya.

“Aku masih ingat, nDo,” kata Kang Karib. “Dulu, di Aceh, ribuan jenazah bergelimpangan. Di nyaruis semua tempat sejangkauan si tsunami. Dan itu bisa kita lihat secara 'telanjang' di televisi. Itu sudah sekian tahun yang lalu. Nyatanya, sampai saat ini, masih saja stasiun televisi membuat tayangan yang sama; memampang korban Sukhoi dengan sesukhoi sesuka hati. Maka, aku bisa mengerti kengerianmu itu, nDo...”

Anang dan Ashanty
(Foto: Tribunnews.com)
Raut wajah Mas Bendo terlihat keruh. Demi membeningkannya lagi, Kang Karib menawarkan ini; “Kalau begitu, lihatlah berita bahagia di televisi. Misalnya, pernikahan Anang dan Ashanty.”


“Aku terlanjur ngeri pada semua gambar di televisi, Kang,” Mas Bendo berkata seperti seekor ikan lapar menyambar umpan.

“Kenapa?”

“Tidak sedikit gemerlap prosesi pernikahan artis hanya berumur pendek, Kang....” ******