Jumat, 04 Mei 2012

Dua Sahabat Meneropong Porong

Wina Bojonegoro dengan buku Korsakov.
Sumber foto: Google Images
NGGAK pakai cap bibir juga, ta?” mbak Wina Bojonegoro membalas SMS saya agar jangan lupa menandatangani buku kumcer yang akan dikirimkan kepada saya.

Karena sebagai canda, tentu saja ketika buku itu saya terima, tidak saya dapatkan cap bibir perempuan penulis yang mengambil pensiun dini dari PT Telkom itu. Selebihnya, malah saya dapati foto mendiang Lan Fang pada halaman depan. Ya, buku itu memang juga dipersembahkan untuk mendiang sahabatnya itu. Begini tulisnya; Untuk Lan Fang. "Mati indah, kau indah, jejakmu indah."

(Tulisan saya yang lain tentang mendiang Lan Fang bisa dibaca disini.)

Sekalipun saya juga dipesani agar ikut mengkritisi buku kumpulan cerpen berjudul Korsakov itu, sepertinya saya tidak berani melakukannya. Bagaimana mungkin, tulisan saya yang masih belepotan begini harus mengkritisi penulis senior itu. Makanya, saya hanya terus saja membaca belasan cerpen dalam buku itu. Dan membaca Korsakov (berisi delapan belas cerpen, satu diantaranya adalah --Seruni-- potongan kisah dari novel The Souls III, dan tidak semua cerpen dalam buku ini pernah dipublikasikan di media massa) yang menurut Nita Tjindarbumi, sebagai layaknya kita sedang menyaksikan reportase televisi (Lampung Post, Minggu 8 April 2012).


Karena hanya sebagai foto dari upload selular di Facebook, saya tak membaca lengkap resensi itu. Tetapi dalam buku kumpulan cerpen ini, saya dapati setting cerita memang kemana-mana. Ada yang hanya di sebuah jembatan Rolak Gunungsari Surabaya, di stasiun Pasar Turi, sampai Glasgow, sampai Korsakov (eh, ternyata Korsakov adalah nama kota, sekaligus nama tokoh utama salah satu cerpen dalam buku itu). Dua kota lagi, yang sekarang saya ingat, yang juga sebagai judul cerpennya, adalah Antara Porong – Jakarta.

Membaca Porong – Jakarta, langsung saja saya ingat Lan Fang yang juga pernah membidik cerita dengan lakon agak sama, dengan setting sama. Saya curiga, cerpen itu lahir karena dua sahabat itu pernah (baca: sering) berbakti sosial di penampungan pengungsi korban lumpur Lapindo di pasar Porong.

Bedanya, pada cerpen mbak Wina, tokoh utamana 'aku', seorang guru SD swasta bergaji 250 ribu sebulan, mempunyai dua adik (satu SMP, yang satunya lagi sudah SMA), sementara pada cerpen Lan Fang tokoh utamanya Pipin, usia delapan tahun, mempunyai dua kakak namanya Olap dan Ndo. Samanya lagi, tokoh utama dan keluarganya terpaksa mengungsi ke pasar Porong karena luberan lumpur menenggelamkan kampung mereka. Setting ketika cerita itu dibikin, 'aku' sudah mengungsi selama setahun, sementara Pipin dalam tulisan Lan Fang (yang digambarkan sebagai anak yang kurang pandai berhitung) sudah mengungsi selama 365 hari. Sama.

Pada cerpen Wina, nama lokasi dibilang sebenarnya, Porong, Reno Kenongo atau Besuki. Pada cerpen Lang Fang (judulnya Pok Ame-ame, dimuat pertama kali oleh Pikiran Rakyat, Bandung), ia bermain plesetan walau tidak terlalu meleset jauh. Misalnya Porong ia ganti sebagai Rongrong, dan luberan lumpur itu digambarkan sebagai ular peliharaan Tuan Bakir (tentu maksudnya Bakrie) yang sedang kelaparan setelah bertapa ribuan tahun. Sementara si Tuan Bakir sendiri tinggal di nirwama (Ah, saya jadi teringat nama Bali Nirwana Resort, atau belakangan rumah ganti rugi korban Lapindo itu bernama Kahuripan Nirwana Village). Pendek kata, saya duga, nirwana dimaui Lan Fang sebagai nama tempat yang senang sekali Tuan Bakir, eh, Bakrie menamainya begitu.

Kembali ke lokasi pengungsian, disitu Wina mengatakan bahwa segalanya serba terbatas. Bahkan sering sekali ia dan adik-adiknya ketika tengah malam mendengar suara dari kasur sebelah yang tidak pantas didengar telinga adiknya. Tentu kita paham apa maksudnya. Dengan caranya sendiri, Lan Fang menyebut suara dari kasur sebelah itu adalah tingkah orang tua yang sedang main petak umpet dan atau pok ame-ame. Keadaan yang serba tak nyaman itu, adalah penderitaan lanjutan dari kejaran ular lapar yang terus menelan lebih luas tanah Rongrong. Tetapi, penderitaan (bisa) membuat orang menjadi pintar.

Kepintara pulalah yang membuat tokoh 'aku' ikut ke Jakarta untuk berdemo di depan gedung DPR. Ke Jakarta itu, selain untuk memperjuangkan nasib, sekaligus juga untuk 'tamasya'. Karena, seumur hidup, 'aku' itu belum pernah menginjakkan kaki ke situ. Tetapi semua ternyata tak sesuai rencana. Demo yang diharapkan berlangsung damai, setelah bergabungnya para simpatisan yang turut serta, malah menjadi anarkis. Yang akhirnya terpaksa dibubarkan aparat keamanan. Sampai 'aku' bersama Bu Min terpisah dari rombongan. Sampai malam. Sampai mereka kelelahan dan terlantar di sebuah taman.

Ending dari cerpen Wina itu mengajak pembaca untuk ikut memikirkan. Karena, ditaman itu, mereka berdua lalu didatangi seorang lelaki bernama Yono yang menawarkan 'solusi' agar ikut dengannya saja. Begini katanya, "Tidak usah bingung. Mari ikut saya. Di tempat saya banyak perempuan bernasib sama dengan kalian. Tapi mereka akhirnya enggan pulang, karena di sini segalanya bisa didapat dengan mudah." (hal. 40).

Lan Fang tidak. Maksudnya tidak menerbangkan tokoh utamanya sampai ke Jakarta untuk demo. Ayah Pipin ternyata tidak mempunyai selembar data pun atas rumah dan tanahnya yang adalah benda sangat penting untuk mendapatkan ganti rugi. Itu tentu adalah juga penderitaan tambahan. Tetapi karena tokoh utamanya adalah anak umur delapan tahun, mana tahu ia tentang itu. Yang ia tahu sekarang kakaknya sudah dapat memberinya uang jajan yang bisa ia pakai untuk membeli telur puyuh kegemarannya. Uang itu diperoleh kakaknya dari menjual jasa menunjukkan jalur alternatif bagi para pengemudi yang tidak tahu jalan menuju Pandaan atau Malang akibat jalan raya Rongrong sering macet total..

Sebagaimana dalam cerpen Lan Fang yang berjudul Ambilkan Bulan, Bu, pada cerpen Pok Ame-ame ini pun Lan Fang menutup ceritanya dengan mengajak pembaca ikut menyanyi. Menyanyi lagu yang nyaris semua orang bisa. Nyanyian anak-anak yang dilagukan sambil mengajaknya bertepuk tangan; pok ame-ame belalang kupu-kupu, siang makan lumpur kalau malam minum lumpur....*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar