Wina Bojonegoro dengan buku Korsakov. Sumber foto: Google Images |
Karena sebagai canda, tentu saja ketika
buku itu saya terima, tidak saya dapatkan cap bibir perempuan penulis
yang mengambil pensiun dini dari PT Telkom itu. Selebihnya, malah
saya dapati foto mendiang Lan Fang pada halaman depan. Ya, buku itu memang juga dipersembahkan untuk mendiang sahabatnya
itu. Begini tulisnya; Untuk Lan Fang. "Mati indah, kau indah, jejakmu indah."
Sekalipun saya juga dipesani agar ikut
mengkritisi buku kumpulan cerpen berjudul Korsakov itu, sepertinya saya
tidak berani melakukannya. Bagaimana mungkin, tulisan saya yang masih
belepotan begini harus mengkritisi penulis senior itu. Makanya, saya
hanya terus saja membaca belasan cerpen dalam buku itu. Dan membaca
Korsakov (berisi delapan belas cerpen, satu diantaranya adalah --Seruni-- potongan kisah dari novel The Souls III, dan tidak semua cerpen dalam buku ini pernah dipublikasikan di media massa) yang menurut Nita Tjindarbumi, sebagai layaknya kita sedang
menyaksikan reportase televisi (Lampung Post, Minggu 8 April 2012).
Karena hanya sebagai foto dari upload selular di Facebook, saya tak membaca lengkap resensi itu.
Tetapi dalam buku kumpulan cerpen ini, saya dapati setting
cerita memang kemana-mana. Ada yang hanya di sebuah jembatan Rolak
Gunungsari Surabaya, di stasiun Pasar Turi, sampai Glasgow, sampai Korsakov (eh,
ternyata Korsakov adalah nama kota, sekaligus nama tokoh utama salah
satu cerpen dalam buku itu). Dua kota lagi, yang sekarang saya ingat,
yang juga sebagai judul cerpennya, adalah Antara Porong – Jakarta.
Membaca Porong – Jakarta, langsung
saja saya ingat Lan Fang yang juga pernah membidik cerita dengan
lakon agak sama, dengan setting sama. Saya curiga, cerpen itu
lahir karena dua sahabat itu pernah (baca: sering) berbakti sosial di
penampungan pengungsi korban lumpur Lapindo di pasar Porong.
Bedanya, pada cerpen mbak Wina, tokoh
utamana 'aku', seorang guru SD swasta bergaji 250 ribu sebulan,
mempunyai dua adik (satu SMP, yang satunya lagi sudah SMA),
sementara pada cerpen Lan Fang tokoh utamanya Pipin, usia delapan
tahun, mempunyai dua kakak namanya Olap dan Ndo. Samanya lagi, tokoh
utama dan keluarganya terpaksa mengungsi ke pasar Porong karena
luberan lumpur menenggelamkan kampung mereka. Setting ketika
cerita itu dibikin, 'aku' sudah mengungsi selama setahun, sementara
Pipin dalam tulisan Lan Fang (yang digambarkan sebagai anak yang
kurang pandai berhitung) sudah mengungsi selama 365 hari. Sama.
Pada cerpen Wina, nama lokasi dibilang
sebenarnya, Porong, Reno Kenongo atau Besuki. Pada cerpen Lang Fang
(judulnya Pok Ame-ame, dimuat pertama kali oleh Pikiran Rakyat,
Bandung), ia bermain plesetan walau tidak terlalu meleset jauh.
Misalnya Porong ia ganti sebagai Rongrong, dan luberan lumpur itu
digambarkan sebagai ular peliharaan Tuan Bakir (tentu maksudnya
Bakrie) yang sedang kelaparan setelah bertapa ribuan tahun. Sementara
si Tuan Bakir sendiri tinggal di nirwama (Ah, saya jadi teringat nama
Bali Nirwana Resort, atau belakangan rumah ganti rugi korban
Lapindo itu bernama Kahuripan Nirwana Village). Pendek kata,
saya duga, nirwana dimaui Lan Fang sebagai nama tempat yang senang
sekali Tuan Bakir, eh, Bakrie menamainya begitu.
Kembali ke lokasi pengungsian, disitu
Wina mengatakan bahwa segalanya serba terbatas. Bahkan sering sekali
ia dan adik-adiknya ketika tengah malam mendengar suara dari kasur
sebelah yang tidak pantas didengar telinga adiknya. Tentu kita paham
apa maksudnya. Dengan caranya sendiri, Lan Fang menyebut suara dari
kasur sebelah itu adalah tingkah orang tua yang sedang main petak
umpet dan atau pok ame-ame. Keadaan yang serba tak nyaman itu, adalah
penderitaan lanjutan dari kejaran ular lapar yang terus menelan lebih
luas tanah Rongrong. Tetapi, penderitaan (bisa) membuat orang menjadi
pintar.
Kepintara pulalah yang membuat tokoh
'aku' ikut ke Jakarta untuk berdemo di depan gedung DPR. Ke Jakarta
itu, selain untuk memperjuangkan nasib, sekaligus juga untuk
'tamasya'. Karena, seumur hidup, 'aku' itu belum pernah menginjakkan
kaki ke situ. Tetapi semua ternyata tak sesuai rencana. Demo yang
diharapkan berlangsung damai, setelah bergabungnya para simpatisan
yang turut serta, malah menjadi anarkis. Yang akhirnya terpaksa
dibubarkan aparat keamanan. Sampai 'aku' bersama Bu Min terpisah dari
rombongan. Sampai malam. Sampai mereka kelelahan dan terlantar
di sebuah taman.
Ending dari cerpen Wina itu
mengajak pembaca untuk ikut memikirkan. Karena, ditaman itu, mereka
berdua lalu didatangi seorang lelaki bernama Yono yang menawarkan
'solusi' agar ikut dengannya saja. Begini katanya, "Tidak usah bingung. Mari ikut saya. Di tempat saya banyak perempuan bernasib sama dengan kalian. Tapi mereka akhirnya enggan pulang, karena di sini segalanya bisa didapat dengan mudah." (hal. 40).
Lan Fang tidak. Maksudnya tidak
menerbangkan tokoh utamanya sampai ke Jakarta untuk demo. Ayah Pipin
ternyata tidak mempunyai selembar data pun atas rumah dan tanahnya
yang adalah benda sangat penting untuk mendapatkan ganti rugi. Itu
tentu adalah juga penderitaan tambahan. Tetapi karena tokoh utamanya
adalah anak umur delapan tahun, mana tahu ia tentang itu. Yang ia
tahu sekarang kakaknya sudah dapat memberinya uang jajan yang bisa ia pakai untuk membeli telur puyuh kegemarannya. Uang itu diperoleh kakaknya dari menjual jasa menunjukkan jalur alternatif bagi para
pengemudi yang tidak tahu jalan menuju Pandaan atau Malang akibat
jalan raya Rongrong sering macet total..
Sebagaimana dalam cerpen Lan Fang yang
berjudul Ambilkan Bulan, Bu, pada cerpen Pok Ame-ame
ini pun Lan Fang menutup ceritanya dengan mengajak pembaca ikut menyanyi. Menyanyi lagu yang nyaris semua orang bisa. Nyanyian
anak-anak yang dilagukan sambil mengajaknya bertepuk tangan; pok
ame-ame belalang kupu-kupu, siang makan lumpur kalau malam minum
lumpur....*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar