INI akan terdengar (terbaca)
tidak masuk akal. Atau, meminjam istilahnya almarhum Asmuni, sebuah
hil yang mustahal. Bayangkan, coba. Saya yang sudah belasan
tahun bermukim di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, yang
saban hari melewati beberapa restoran cepat saji (mulai McD, KFC,
Hokben dan sebangsanya), tetapi belum pernah sekalipun andok
disitu.
Tetapi sebuah hil (maaf, hal maksudnya)
tentu bisa dicarikan alasannya kenapa bisa begitu. Dan untuk tentang
yang saya bilang diatas, setidaknya ada dua macam alasan. Sebagaimana
terbentuknya sebuah alasan, untuk kasus apapun, tentu bisa dibikin
agar nyambung, senyambung-nyambungnya. Untuk yang macam begini, saya
yang rakyat jelata, tentu bisa meniru 'kreatifitas' para pesohor
negeri yang piawai betul dalam memproduksi alasan. Tetapi biarlah
saja mereka. Saya hanya akan menyebut alasan kenapa saya tidak
pernah 'marung' di McD, misalnya. Begini; Pertama alasan medis, kedua
alasan nasionalis.
Agar terkesan berbau patriotisme, tentu
saya bilang yang alasan nasionalis dulu. Untuk apa kita memakan yang
produk asing (setidaknya brand asing) bila sebenarnya lidah
kita lebih akrab dengan nasi pecel, lontong balap atau rawon,
misalnya. Atau bukankah rendang itu sudah masuk sebagai salah satu
kuliner paling mak-nyus sedunia? Atau, kadang-kadang secara
tidak sadar ada yang orang yang berstandar ganda. Misalnya, pernah ia
ikut demo anti Amerika. Ikut aksi turun ke jalan. Dengan suara
lantang mencemooh tabiat negara adi kuasa itu. Sungguh demonstrans
yang demonstratif. Dengan tampilan keren, bercelana Levi's,
yang si saat jeda orasi, karena kehausan lalu mengguyur
tenggorokannya degan Coca Cola, setelahnya menyulut Marlboro.
Lalu saat pulang, karena lapar kemudian mampir andok di McD.
Alasan kedua; medis. Konon, segala
makanan cepat saji itu kurang baik bagi kesehatan. Ia hanya akan
memperlancar laju bagi yang sedang meretas jalan menuju obesitas.
Dan, kegemukan itu mempunyai serombongan efek tak menyehatkan
lainnya. Nah.
Tetapi jangan percaya begitu saja
alasan yang saya buat itu. Karena, jujur ini, saya sadar diri
sekaligus sadar kantong. Maka, ketika istri saya getun setelah
andok di depot Bayuangga Probolinggo karena harus membayar
lima puluh ribu rupiah untuk tiga piring nasi yang kami makan,
sungguh saya bisa memakluminya. Uang segitu bagi kami, tentu bisa
untuk makan sekeluarga dua hari penuh dengan sayur lodeh tewel
lengkap dengan iwak peyek.
Kenapa saya menulis ini tentu ada
sebabnya. Begini, kemarin malam, seorang teman yang telah berbaik
hati memperjuangkan tulisan-tulisan saya yang remeh temeh macam ini
(yang dimuat di media tempatnya bekerja) untuk juga dihargai secara
rupiah, bilang dalam pesan singkatnya, “Kapan-kapan kalau ada waktu
ketemu, (sampeyan) kusuruh traktir. Makanku buanyak...”
Selain 'ancaman', itu tentu saja bisa
saya maknai kalimat itu sebagai guyonan semata. Tetapi, kalau itu
diniati secara betulan bagaimana? Kemana saya harus mentraktir? Andok
nasi pecel di warung tetangga, atau saya traktir mi pangsit di tempat
jualannya adik ipar saya? Daripada saya puyeng mempersiapkan itu
semua, lebih baik saya biarkan (kalau memang terjadi kopi darat itu)
berlaku hukum apa adanya. Kalau terjadi, terjadilah. Karena, bukan
tidak mungkin, karena nelangsa melihat keadaan saya, justru saya
nanti yang malah ditraktirnya. Hehe...
Untuk hal ditraktir saya punya
pengalaman tak terlupakan. Dulu, ketika masih bujang, banyak sekali
pemuda seusia saya yang merantau ke Bali. Di pulau Dewata itu
kami-kami meniti karir sebagai kuli. Karena jarak Jember-Bali yang
tak seberapa jauh, dua Minggu atau sebulan sekali kami pulang
kampung. Kalau sudah begitu, biasaya, teman-teman di kampung suka
mengajak andok di warung nasi pecel. Padahal saya alami
sendiri, tidak tentu setiap pulang dari Bali itu ada uang cukup di
dompet. Yang sering terjadi, justru ketika hendak balik ke Bali lagi
itu, kami harus menjual barang dua-tiga ekor ayam untuk sangu naik
bus.
Suatu hari, ada seorang ada teman yang
baru pulang dari Bali. Saya ingat, namanya Munajat. Sungguh, ia
datang di saat tepat. Tepat ada acara bersih desa di kampung yang
tentu ada aneka hiburan. Mulai jaranan, sampai pagelaran wayang kulit
semalan suntuk. Dan, setiap ada keramainan, tentu saja ada banyak
sekali penjual makanan. Maka, kami todonglah si teman yang baru
pulang dari Bali itu untuk mentraktir kami.
Saya bersama dua teman lain berhasil
menghasutnya untuk mengajak kami makan di sebuah kedai rujak lontong.
Jadinya kami berempat duduk di bangku panjang sambil dengan lahap
menyantap rujak. Tetapi, si pentraktir, saya lihat cepat sekali
makannya. Edan, rujak sepedas itu ia santap dengan lahap. Dan, tentu
saja, ia selesai duluan. Selesai jauh meninggalkan kami bertiga yang
makan sambil mendesis-desis kepedesan.
“Eh, teruskan saja. Aku tak
beli rokok dulu,” kata Munajat sambil berdiri meninggalkan kami.
Itu tentu bisa diterima akal. Karena,
mengisap rokok setelah makan pedas tentulah sangat nikmat. Dan,
memang ibu penjual rujak itu tidak merangkap jabatan sebagai penjual
rokok.
Kami terus saja makan. Tetapi ketika
sekian lama si Munajat tidak juga muncul batang rokoknya, lama-lama
kecepatan makan kami makin lama. Karena itu kami lakukan sambil
menungu kemunculan si pentraktir. Sungguh, karena hanya Munajatlah
yang kami curigai sedang pegang uang. Semakin lama Munajat tidak
muncul, semakin lama pula kami makannya.
Merah muka saya bukan karena kepedasan
semata. Itu adalah juga campuran dari kemungkinan terburuk;
pentraktir ngacir. Sementara semua dompet kami hanya berisi KTP.
Kecurigaan Munajat kabur makin kuat
manakala saya lihat untuk membeli rokok sebenarnya tidak perlu
beranjak jauh, karena lima meter dari penjual rujak ini sudah ada
penjual rokok. Pernah memang seorang teman bercerita meninggalkan KTP
kepada benjual bensin eceran ketika motornya kehabisan BBM di tengah
perjalanan. Tetapi, tentu amat memalukan bila untuk empat piring
rujak lontong kami harus pula meninggalkan selembar kartu identitas
itu.
Disaat saya tolah tolah-toleh dalam
aneka praduga itu, yang sampai-sampai rujak menjadi tidak terasa enak
dilidah saya, Munajat datang dengan senyum yang sungguh sedemikian
menjengkelkan. “Macak'e ae mbois, ternyata semua dompetnya
kempis...” ejeknya.
Asyem tenan!*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar