Senin, 28 Mei 2012

Pentraktir yang Ngacir

INI akan terdengar (terbaca) tidak masuk akal. Atau, meminjam istilahnya almarhum Asmuni, sebuah hil yang mustahal. Bayangkan, coba. Saya yang sudah belasan tahun bermukim di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, yang saban hari melewati beberapa restoran cepat saji (mulai McD, KFC, Hokben dan sebangsanya), tetapi belum pernah sekalipun andok disitu.

Tetapi sebuah hil (maaf, hal maksudnya) tentu bisa dicarikan alasannya kenapa bisa begitu. Dan untuk tentang yang saya bilang diatas, setidaknya ada dua macam alasan. Sebagaimana terbentuknya sebuah alasan, untuk kasus apapun, tentu bisa dibikin agar nyambung, senyambung-nyambungnya. Untuk yang macam begini, saya yang rakyat jelata, tentu bisa meniru 'kreatifitas' para pesohor negeri yang piawai betul dalam memproduksi alasan. Tetapi biarlah saja mereka. Saya hanya akan menyebut alasan kenapa saya tidak pernah 'marung' di McD, misalnya. Begini; Pertama alasan medis, kedua alasan nasionalis.

Agar terkesan berbau patriotisme, tentu saya bilang yang alasan nasionalis dulu. Untuk apa kita memakan yang produk asing (setidaknya brand asing) bila sebenarnya lidah kita lebih akrab dengan nasi pecel, lontong balap atau rawon, misalnya. Atau bukankah rendang itu sudah masuk sebagai salah satu kuliner paling mak-nyus sedunia? Atau, kadang-kadang secara tidak sadar ada yang orang yang berstandar ganda. Misalnya, pernah ia ikut demo anti Amerika. Ikut aksi turun ke jalan. Dengan suara lantang mencemooh tabiat negara adi kuasa itu. Sungguh demonstrans yang demonstratif. Dengan tampilan keren, bercelana Levi's, yang si saat jeda orasi, karena kehausan lalu mengguyur tenggorokannya degan Coca Cola, setelahnya menyulut Marlboro. Lalu saat pulang, karena lapar kemudian mampir andok di McD.

Alasan kedua; medis. Konon, segala makanan cepat saji itu kurang baik bagi kesehatan. Ia hanya akan memperlancar laju bagi yang sedang meretas jalan menuju obesitas. Dan, kegemukan itu mempunyai serombongan efek tak menyehatkan lainnya. Nah.

Tetapi jangan percaya begitu saja alasan yang saya buat itu. Karena, jujur ini, saya sadar diri sekaligus sadar kantong. Maka, ketika istri saya getun setelah andok di depot Bayuangga Probolinggo karena harus membayar lima puluh ribu rupiah untuk tiga piring nasi yang kami makan, sungguh saya bisa memakluminya. Uang segitu bagi kami, tentu bisa untuk makan sekeluarga dua hari penuh dengan sayur lodeh tewel lengkap dengan iwak peyek.

Kenapa saya menulis ini tentu ada sebabnya. Begini, kemarin malam, seorang teman yang telah berbaik hati memperjuangkan tulisan-tulisan saya yang remeh temeh macam ini (yang dimuat di media tempatnya bekerja) untuk juga dihargai secara rupiah, bilang dalam pesan singkatnya, “Kapan-kapan kalau ada waktu ketemu, (sampeyan) kusuruh traktir. Makanku buanyak...”

Selain 'ancaman', itu tentu saja bisa saya maknai kalimat itu sebagai guyonan semata. Tetapi, kalau itu diniati secara betulan bagaimana? Kemana saya harus mentraktir? Andok nasi pecel di warung tetangga, atau saya traktir mi pangsit di tempat jualannya adik ipar saya? Daripada saya puyeng mempersiapkan itu semua, lebih baik saya biarkan (kalau memang terjadi kopi darat itu) berlaku hukum apa adanya. Kalau terjadi, terjadilah. Karena, bukan tidak mungkin, karena nelangsa melihat keadaan saya, justru saya nanti yang malah ditraktirnya. Hehe...

Untuk hal ditraktir saya punya pengalaman tak terlupakan. Dulu, ketika masih bujang, banyak sekali pemuda seusia saya yang merantau ke Bali. Di pulau Dewata itu kami-kami meniti karir sebagai kuli. Karena jarak Jember-Bali yang tak seberapa jauh, dua Minggu atau sebulan sekali kami pulang kampung. Kalau sudah begitu, biasaya, teman-teman di kampung suka mengajak andok di warung nasi pecel. Padahal saya alami sendiri, tidak tentu setiap pulang dari Bali itu ada uang cukup di dompet. Yang sering terjadi, justru ketika hendak balik ke Bali lagi itu, kami harus menjual barang dua-tiga ekor ayam untuk sangu naik bus.

Suatu hari, ada seorang ada teman yang baru pulang dari Bali. Saya ingat, namanya Munajat. Sungguh, ia datang di saat tepat. Tepat ada acara bersih desa di kampung yang tentu ada aneka hiburan. Mulai jaranan, sampai pagelaran wayang kulit semalan suntuk. Dan, setiap ada keramainan, tentu saja ada banyak sekali penjual makanan. Maka, kami todonglah si teman yang baru pulang dari Bali itu untuk mentraktir kami.

Saya bersama dua teman lain berhasil menghasutnya untuk mengajak kami makan di sebuah kedai rujak lontong. Jadinya kami berempat duduk di bangku panjang sambil dengan lahap menyantap rujak. Tetapi, si pentraktir, saya lihat cepat sekali makannya. Edan, rujak sepedas itu ia santap dengan lahap. Dan, tentu saja, ia selesai duluan. Selesai jauh meninggalkan kami bertiga yang makan sambil mendesis-desis kepedesan.

“Eh, teruskan saja. Aku tak beli rokok dulu,” kata Munajat sambil berdiri meninggalkan kami.

Itu tentu bisa diterima akal. Karena, mengisap rokok setelah makan pedas tentulah sangat nikmat. Dan, memang ibu penjual rujak itu tidak merangkap jabatan sebagai penjual rokok.

Kami terus saja makan. Tetapi ketika sekian lama si Munajat tidak juga muncul batang rokoknya, lama-lama kecepatan makan kami makin lama. Karena itu kami lakukan sambil menungu kemunculan si pentraktir. Sungguh, karena hanya Munajatlah yang kami curigai sedang pegang uang. Semakin lama Munajat tidak muncul, semakin lama pula kami makannya.

Merah muka saya bukan karena kepedasan semata. Itu adalah juga campuran dari kemungkinan terburuk; pentraktir ngacir. Sementara semua dompet kami hanya berisi KTP.

Kecurigaan Munajat kabur makin kuat manakala saya lihat untuk membeli rokok sebenarnya tidak perlu beranjak jauh, karena lima meter dari penjual rujak ini sudah ada penjual rokok. Pernah memang seorang teman bercerita meninggalkan KTP kepada benjual bensin eceran ketika motornya kehabisan BBM di tengah perjalanan. Tetapi, tentu amat memalukan bila untuk empat piring rujak lontong kami harus pula meninggalkan selembar kartu identitas itu.

Disaat saya tolah tolah-toleh dalam aneka praduga itu, yang sampai-sampai rujak menjadi tidak terasa enak dilidah saya, Munajat datang dengan senyum yang sungguh sedemikian menjengkelkan. “Macak'e ae mbois, ternyata semua dompetnya kempis...” ejeknya.

Asyem tenan!*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar