Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 April 2023

R-4

SECARA itungan, rumah saya di Surabaya jaraknya terbilang relatif tak jauh dari bandara Juanda. Sedangkan tujuan mudik saya di Jember, sudah juga punya bandara. Maka, untuk pulang kampung naik pesawat sungguh tiada kendala berarti. Kecuali, berat bagasi yang tentu dibatasi. Tak mungkin saya memasukkan dua ekor Vario ke dalam tas koper. Karena tas saya bukan seperti milik Doraemon. Alasan berikutnya, karena pesawat tujuan Jember bukanlah sejenis Antonov.

Baiklah. Akhirnya saya putuskan lewat jalur darat saja. Pakai roda empat. Alias duo Vario.

Jalanan sepi. Kalaulah dibuat catatan perjalanan, tiada bumbu yang agak menyengat. Nyaris hambar. Kecuali di Tukum. Setelah menyalip laju bis Ladju dan sebuah truk sekelas Dyna, motor saya oleng. Ban depan gembos. Dengan teknik menepi yang ugil-ugil, saya bersyukur tidak punya bakat (baca: nyali) untuk ugal-ugalan. Karena, konon, bila roda depan angin ngowos dan gembos di kecepatan tinggi, niscaya bisa menyebabkan gulung-koming.

Bersyukurnya lagi, di seberang tempat saya menepi, ada tukang tambal ban --yang walaupun sudah tutup, mau membuka lapaknya kala dibilangi ibunya (yang buka warung kopi di sebelahnya), kalau saya sedang membutuhkan jasanya.

Beres. Dengan ongkos yang ramah di kantong. Selembar uang kertas nominal sepuluh ribuan ditukar dengan menambal ban plus menata selembar ban dalam yang telah digunting melebar, yang diharapkan berfungsi sebagai pelindung bagi ban dalam depan, yang ban luarnya batiknya sudah nyaris plontos. Tetapi, "Ini sudah waktunya ganti. Luar dalam", kata lelaki asal Bangkalan yang lebaran ini tidak mudik, dan baru akan 'toron' saat Idul Adha nanti.

Sambil meneruskan mudik, tolah-toleh bengkel: semua ramai, semua penuh. Okelah, nanti saja. Yang penting sampai rumah dulu, urusan ganti ban bisa belakangan.

Saya lupa, hari lebaran adalah juga hari liburan bagi bengkel. Tetapi apa salahnya dicoba. Lepas tengah hari, di hari H hari raya. Semua tutup. Baik bengkel resmi maupun resmi bengkel. Di depan tertulis, buka 26 April 2023. Arang saya belum patah. H+2 perburuan saya lanjutkan. 

Beberapa bengkel di Gumukmas tutup. Lanjut ke Kencong. Oh, kok juga pada tutup. Lanjut. Pelan-pelan. Ada umbul-umbul Ahass di depan sana. Dan bengkelnya buka! Saya baru kali ini mendapati pengalaman batin (halahmbel!) tentang makna filosofis dari One Heart. Satu Hati. Saya merasa, sebagai orang yang tak bisa ke (se)lain Honda, ini benar-benar makna lain dari yang Semakin di Depan milik kompetitornya itu.

Saya masuk. Didaftar. Dapat nomor urut 6. Pada pit 3 tertanda nama saya. Oh, alangkah betapanya. Sudah di-spesialkan rupaya. Sampai tertulis nama saya. Oh, tidak, tidak. Ataukah ini sebagai pertanda, betapa pasarannya nama saya.

Operasi penggantian ban depan luar-dalam di atas pit nomer 6 langsung dilaksanakan. Mas Edy yang nangani. Ngobrol ringan dengannya, laksana jeruk minum jeruk. Edy ketemu Edi.

Diselingi obrolan seputar pervarioan, tahu-tahu operasi selesai. Tahu-tahu Mas Edy menunjuk meja kasir saat saya tanya berapa biayanya. Tahu-tahu hampir seperempat jeti biaya untuk itu. Dan ini belum masuk dalam anggaran mudik. Ini dia, penggantian ban luar dalam yang serta-merta menggerogoti saku saya, juga luar-dalam.

Tapi tunggu dulu. Seperti halnya semua kecap, keselamatan (berkendara) adalah juga nomor satu. ****

Rabu, 11 Juli 2018

Kursi D-8

HARI itu jam 08.15 WITA (Waktu Indonesia Tabanan) saya datang ke kantor PO Gunung Harta di jalan Ngurah Rai. Di halaman kantor ada beberapa penumpang yang rupanya siap berangkat pagi itu. Juga tujuan Surabaya. Ya, hari-hari itu sejumlah bus dan mobil travel atau carteran sedang panen penumpang karena bandara Ngurah Rai sedang ditutup akibat debu erupsi Gunung Agung yang menggganggu operasional penerbangan. Para penumpang yang akan ke Jakarta atau tujuan lain, banyak yang harus ke Juanda dulu.

Setelah antre, sampailah saya di depan petugas PO Gunung Harta. “Maaf, Bapak ke tujuan mana dan untuk keberangkatan kapan?”, tanya petugas setelah lebih dulu mengamalkan SOP 3 S (senyum, sapa, salam).

“Surabaya, untuk keberangkatan hari ini”, jawab saya sambil mengedar pandang ke ruang kantor yang tak berapa luas dengan kondisi relatif kurang bersih.

Petugas tersebut langsung cek layar komputer dan sejenak kemudian bilang, “Maaf, Pak. Untuk keberangkatan hari ini ke Surabaya sudah penuh. Tapi kalau mau, silakan Bapak tinggalkan nomor ponsel yang bisa kami hubungi. Barangkali nanti ada penumpang yang cancel”.

Tidak ada alasan untuk tidak menuruti saran petugas tersebut. Dan saya balik kanan ke kantor di jalan Pulau Menjangan setelah lebih dulu mampir sejenak di sudut jalan Ngurah Rai untuk beli klepon Sidoarjo yang penjualnya orang Krembung.

Benar saja, belum jam sepuluh pagi saya sudah dapat telepon dari Gunung Harta yang mengabarkan ada satu kursi kosong tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam lima sore. “Tapi kursinya nomor 8-D lho, Pak.” kata suara di ujung telepon.

“Gak apa-apa, asal saya bisa berangkat ke Surabaya hari ini,” jawab saya.

Minggu, 28 Mei 2017

Silaturahim Dalam Rangka Ninmedia

SEKITAR limabelas meter masuk jalan Bypass Pandaan, saya menepikan kendaraan dan mampir ke sebuah toko di kiri jalan. Bukan, saya bukan hendak membeli sesuatu, tetapi, “Maaf, numpang tanya, Pak”, kata saya kepada seorang lelaki berpeci haji yang menjaga toko itu. “Kalau mau ke Duren Sewu, arahnya kemana ya?”

Putar balik ke tiga dari depan itu, langsung belok. Jalan pertama dari situ, Sampeyan belok kiri,” lelaki itu ramah berkata.

Setelah berterima kasih, saya melanjutkan perjalanan sesuai petunjuknya. Bukan apa-apa, dulu, sekira tujuh tahun lalu, karena terlalu banter membawa kendaraan, saat akan ke rumah seorang teman yang melalui wilayah Duren Sewu itu, saya sempat kebablasan jauh sekali. Jadi, daripada menjadi keledai (yang kesasar dua kali), saya lakukan itu begiu masuk Bypass.

Nah, ingat sudah. Saat masuk jalan pertama setelah U-turn ke tiga, saya ambil kiri. Dari sini, saya bisa langsung tancap gas. Namun saya malah berhenti dan meraih ponsel di saku. “Saya berangkat,” tak panjang yang saya tulis, karena ia saya kirim sebagai pesan singkat.

iya, sudah tak tunggu”, balasnya.

Iya, SMS yang saya kirim itu hanyalah tipu daya semata. Karena bukankah sejatinya saya sudah berangkat dari rumah satu jam sebelumnya. Saya berangkat pagi tentu agar tak terlalu kepanasan dan terjebak kemacetan di jalan. Dan bisa menikmati perjalanan dalam kecepatan jalan-jalan, bukan sebagai balapan.

Sesuai harapan, perjalanan tadi lancar jaya. Sidoarja, Porong, Japanan, Gempol naik ke arah Pandaan landai-landai saja volume kendaraan yang lewat. Maklum, Kamis itu (25 Mei 2015) adalah hari libur. Hanya ada satu dua truk besar dengan umur rada uzur memikul beban sarat berjalan nggremet ke arah Malang. Ini mengingatkan saya akan kekhawatiran serupa, truk itu gagal naik dan malah melorot, saat balik dari pulang kampung dan menguntit truk bermuatan pasir dari Lumajang ke arah Surabaya di jalan menanjak daerah Klakah.

Suguhan serba hangat, kecuali pisang, satfinder
reciever dan kacamata.

Senin, 04 April 2016

Mengintip Toilet VIP

Toilet VIP (Foto koleksi: M. Faizi)
DALAM perjalanan darat jarak jauh, hal kecil macam buang air kecil bisa menjadi bukan perkara kecil. Terlebih ketika kita tak membawa baju ganti untuk sholat. Pilihan pertama tentu SPBU yang selalu menyediakan toilet. Beberapa SPBU menggratiskan fasiltas ini sebagai bagian dari layanan mereka. Walau, bisa jadi, yang mampir kesitu murni hanya untuk numpang pipis dan tak mengisi BBM karena tandon di tanki kendaraan masih banyak. Sekalipun gratisan, beberapa SPBU memperhatikan betul kebersihan toilet dan ketersediaan airnya, walau di beberapa SPBU lainnya saya dapati tidak begitu; kondisinya relatif jorok dan tiada air pula.

Pilihan buang air berikutnya adalah di toilet masjid-masjid di pinggir jalan. Tiada tarifnya, hanya biasanya disediakan kotak amal di pintu masuk toilet dan tiada yang menjaga. Artinya; seikhlasnya saja. Tak mengisi pun tak mengapa walau kebangetan saja kiranya.

Toilet VIP tampak dari luar. (Foto: ediwe)
Setiap pulang kampung dan melihat di daerah Grati, Pasuruan, ada toilet VIP di sebuah SPBU, saya selalu penasaran. Beberapa kali ingin mampir sekadar mengintip toilet VIP itu, kok eman-eman saja. Uang sepuluh ribu rupiah sebagai tarifnya saya rasa terlalu mahal untuk sekadar sebagai ongkos pipis. Karena bukankah di SPBU lain kita bisa langsung kabur setelah pipis mak-cur? Lha kok ini mesti bayar segala, sepuluh ribu pula.

Kalau yang VIP ada showernya, air hangat pun selalu tersedia,' kata petugas kafetaria di SPBU itu menerangkan ketika saya tanya. “Kalau toilet biasa ada di sana, tarifnya lima ribu rupiah,” lanjut lelaki ramah itu menunjuk deretan toilet di sisi kanannya.

Oh, yang sepuluh ribu itu untuk dana kebersihan to? (Foto: ediwe)
Saya mengedar pandang; meja kursi tertata rapi di indor maupun outdor, pula ada beberapa sarana bermain anak-anak di halaman samping kafetaria. Benar-benar tempat istirahat yang nyaman untuk melepas penat dalam perjalanan. Untuk urusan perut pun tersedia. Walau, kalau melihat sebotol air mineral dan snack yang saya beli disini tadi berharga hampir dua kali lipat dari harga barang serupa di minimarket, bukan tidak mungkin harga makanan disini juga agak tak ramah kantong bagi orang seperti saya.

Lelaki kasir kafetaria yang ramah itu memanggil seorang bapak cleaning service ketika saya bilang akan melihat-lihat bagian dalam toilet VIP yang tarifnya selangit itu. Ya, di dinding depan toilet VIP itu memang tertempel pemberitahuan harus memanggil petugas kalau hendak menggunakannya.

Head dan hand shower dengan air panas dan dingin. (Foto: ediwe)
Bapak cleaning service itu membukakan untuk saya toilet nomor dua dari deretan kamar toilet VIP yang ada. Menyalakan lampunya, menghidupkan exhaust fan-nya lalu dengan sopan menyilakan saya masuk ke dalam.

Saya menghitung dinding keramiknya dan mendapati ukuran 1,5 x 1,6 meter luasnya. Ada head shower dan hand shower-nya, ada pula tissuenya. WC duduknya pun bersih tanpa kerak. Setelah menutup pintu dari dalam, saya menarik nafas agak dalam dan tak mendapati bau pesing tersisa masuk ke lubang hidung saya, walau sayangnya tak pula terdapat pewangi ruangannya.

Bersih, tidak pesing  tapi juga tidak wangi. (Foto: ediwe)
Dengan ventilasi memadai ditambah exhaust fan yang menyala, menjadikan saya tak kegerahan di dalam walau cuaca di luar begitu teriknya. Dengan cuaca seterik di luar itu, tentu air hangat kurang berguna, karena mandi pakai shower dengan air dingin tentu lebih mak-nyus segarnya. Oh, tidak, saya tidak mandi. Saya hanya pipis saja.

Betul, kalau masuk menggunakan toilet VIP itu sekadar untuk buang air kecil semata, tentu sama dengan buang-buang uang saja. Sepuluh ribu rupiah, bos. Uang segitu sudah bisa untuk beli BBM jenis Pertamax satu liter lebih, atau dapat empat bungkus jajan cenil atau klepon di bunderan Gempol sana sebagai buah tangan bagi anak-anak di rumah.****




Jumat, 24 Juli 2015

Mudik, Sebuah Catatan Kecil

"SETIAP Lebaran 'orang kota' pada mengaku berasal dari udik sehingga pada mudik," tulis seorang teman lewat akun FBnya. "sesampainya di kampung, 'orang udik' itu malah petita-petiti bergaya sebagai orang kota," lanjutnya.

Sudahlah, itu hal lain. Yang, bisa jadi, saya juga melakukan walau tanpa sadar. Sekarang saya berniat membuat catatan kecil tentang mudik. Dan sebagai orang kecil, tentu catatan ini saya bikin sendiri, karena kalau orang besar yang mudik, pasti ada media yang dengan senang hati menuliskannya. :)

Karena tiga hari pertama lebaran masih harus menjalankan tugas kenegaraan (lebay, ini memang saya lebay-kan...), maka saya baru sempat mudik hari ini. Dan karena (sekali lagi: karena) asap gunung Raung mengganggu penerbangan sehingga bandara di Banyuwangi dan Jember termasuk yang juga ditutup, terpaksa saya menggunakan angkutan darat. (padahal biasanya ya memang naik bis).

Saya take off dari Purabaya persis jam enam pagi naik bis Borobudur yang karena saya langsung naik menjadikan nopol tak sempat saya catat. Yang tercatat malah waktu tempuh Purabaya-Bayuangga yang gak jelek-jelek amat. Durasi yang biasanya rata-rata dua jam, Borobudur 'mabur' dengan capaian waktu 105 menit saja.

Namun, entah sebagai konsekuensi atau terkena tueslag, tarifnya pun dinaikkan sampai setinggi stupa. Yang normalnya 16 ribu atau 20 ribu per pantat, menjadi 25 ribu. Yo wislah, saya yang berangkat berempat, harus membayar 75 ribu, karena si bungsu (demi penghematan) masih cukup dipangku saja.

Tak ada kejutan berarti bersama Borobudur selain hal di atas.

Garis start di terminal Bayuangga, Probolinggo.

Transit sebentar di Bayuangga hanya untuk ke toilet. Pada saat buang air itu, bis Pari Kesit trayek Probolingo-Jember via Kencong berangkat. Dan saya sama sekali tak mengejarnya karena si sulung masih terjebak antrian panjang di pintu toilet. Lagian, walau namanya Pari Kesit, jalannya tak bakalan kesit sebagaimana umumnya bis yang via Kencong lainnya.

Selasa, 10 Desember 2013

Modus Penipu di Dalam Bus



KARENA pekerjaan, saya penah berbulan-bulan, saban hari naik bis Surabaya-Pandaan PP. Kala itu belum ada arteri baru Porong yang terbukti mampu meringankan beban jalan raya Porong. Waktu itu kemacetan sungguh mengerikan. Berangkat macet, pulang pun setali tiga uang. Bagi pengguna jalan, ketika itu raya Porong sungguh semenakutkan sesosok pocong. Untuk jurusan Malang, mulai Tugu Kuning laju kendaraan sudah seperti kura-kura. Kalau yang dari arah Malang, sejak Mojorejo macet-cet sudah sangat tidak jarang. Ini, adalah salah satu dampak dari luapan lumpur Lapindo yang tidak hanya mengubur kuburan, lahan pertanian, permukiman-perkampungan, pabrik-pabrik, namun juga menenggelamkan jalan bebas hambatan.

Suatu sore, bis Tentrem yang saya tumpangi gagal memberi rasa tentram. Jalanan yang luar biasa macet membuat semua penumpang berkeringat. Makanya, selepas dari itu, saat bis masuk ke mulut Tol Porong, semua penumpang merasa plong. Namun, di saat kami ingin menikmati perjalanan lanjutan ke Purabaya, kicau burung membuat suasana yang berangsur tentram menjadi kembali terusik.

Oh, rupanya ada seorang ibu membawa burung dengan hanya dibungkus  kertas bekas wadah semen dengan memberinya beberapa lubang. Suara ‘burung’ itu sungguh menawan. Tidak hanya berkicau, ia juga bisa menirukan Pancasila, ber-assalamualaikum bahkan mampu pula bersholawat badar. Jan edan tenan!

‘Sandiwara murahan’ yang kemudian dipertontonkan adalah, dialog antara ‘seorang penumpang’ dengan si ibu itu yang ujung-ujungnya berlanjut ke tawar-menawar. Tidak hanya seorang, ada beberapa ‘penumpang’ lain yang ikut meramaikan transaksi. Salah satu dari suara penawar itu sepertinya saya kenali. Makanya saya agak melongok untuk mencari tahu benar tidaknya. Dan benarlah adanya; lelaki gempal berkacamata hitam dan bertopi itu adalah seorang kawan lama. Dulu ia bekerja benar, kenapa sekarang ia terlibat dalam sandiwara berlakon burung di atas bis?

Ia manatap saya, dan kedipan matanya itu saya artikan agar saya tidak membongkar sindikat dengan modus yang sudah sangat tidak menarik itu. Saya ikuti saja maunya, sekaligus saya berdoa agar tidak ada penumpang yang tertipu ulah kawanannya. Syukurlah, doa saya dikabulkan Tuhan. Komplotan itu turun di Medaeng dengan tangan hampa.

oOo

Jumat sore (6 Desember kemarin), bersama Ayah dan Ibu saya berada dalam kabin bis Kuda Laut jurusan Jember-Banyuwangi. Bis sudah keluar terminal Tawangalun tapi masih ngetem di pinggir jalan. Di saat begitu, dari pintu belakang masuk dua orang lelaki. 

“Mana karcismu kalau memang kamu penumpang operan?” tanya lelaki pertama.

“Hilang bersama tas saya yang raib kebawa bis yang tadi,” lelaki kedua menjawab.

“Lalu, kamu ikut bis saya ini mau bayar pakai apa?” oh, rupanya lelaki pertama itu kebagian peran sebagai kru bis ini.

“Semua uang saya hilang, Pak. Saya hanya punya ini...” ia melepas jam tangannya yang berwarna kuning keemasan.

“Sini lihat,” lelaki pertama berkata. “Oh, ini jam mahal ini. Ini buatan Saudi, mengandung emas ini. Berapa ini kamu akan jual?”

“600 ribu sajalah, Pak. Asal bisa buat sangu  pulang. Padahal dulu, ini saya beli di Saudi kalau dirupiahkan setara dua setengah juta.”

Dialog berlanjut dengan inti agar ada penumpang beneran yang tertarik membeli karena lelaki pertama itu berlagak sejatinya pingin tapi kebetulan pas tidak punya uang.

Begitulah ulah para penipu di dalam bis. Dengan skenario yang monoton, dengan orang itu-itu juga yang memerankan, mustahillah awak bis tidak tahu. Tetapi kenapa mereka memilih diam, tentu ada alasan yang bisa disampaikan. Walau karena diamnya itu, bisa pula memunculkan kecurigaan yang bukan-bukan. Misalnya, para awak bis ikut pula kebagian.

“Kami tahu, tetapi bisa apa?” seorang awak bis saya dengarkan saat terlibat pembicaraan dengan seorang penumpang, di bangku sebelah saya. “kalau kami halangi aksi mereka, bisa-bisa kami yang celaka. Kalau tidak ban kami digembosi, kaca dipecah atau bentuk sabotase lain yang kami tak ingin alami...”

Seperti halnya komplotan ‘burung palsu’ yang gagal menggaet korban yang saya lihat dulu, penipuan ala penjahat terminal Tawangalun itu pun tanpa hasil ketika turun. 

Sama halnya tidak gampang membedakan mana pencari sumbangan beneran dan pengumpul sumbangan untuk dimakan sendiri yang mendatangi korban secara door to door, orang kehilangan beneran dan yang pura-pura kehilangan pun demikian. Sepertinya, makin sekarang, makin tak karuan pula cara orang dalam mencari makan. *****


Senin, 09 Desember 2013

3 Hari, 10 Bis



JAM menunjuk angka 08.31 WIB (Waktu Indonesia Bungurasih) kala bis yang saya tumpangi meninggalkan terminal, hari Jumat kemarin. Sebagai makhluk yang jarang sekali bepergian, ketika hari itu saya harus menghadiri sebuah acara keluarga di lereng Gunung Raung dan Gumitir, dari jauh-jauh hari saya sudah berencana akan membuat semacam catatan perjalanan. 

Buku dan pulpen, seperti biasa selalu turut serta di dalam tas saya. Tetapi, ya ampun, kenapa saya tak mencatat nopol bis yang saya tumpangi ini. Celakanya lagi, dalam secarik karcisnya, tak tertera nama PO-nya. Namun, mata saya yang sudah tak terlalu awas ini tadi ketika seorang makelar menggandeng saya untuk masuk masih sempat melihat angka 7277 tanpa ingat huruf depan dan belakangnya. Nantilah, pikir saya, akan saya cari tahu kalau ia ngetem sejenak di bundaran Gempol.

Tetapi perkiraan saya meleset. Bis yang sopirnya penganut haluan kiri ini –karena di sepanjang tol hobi banget menyalip dari lajur kiri—tak berhenti di Bundaran Gempol. Terus bablas. Ketika bannya menginjak jalanan yang berlubang, duh mana tahan, suspensinya yang keras membuat saya yang duduk di posisi persis di atas roda depan sungguh merasa sangat tidak nyaman.

Nyaris dua jam digoyang-goyang, saya takut dilanda mabuk perjalanan. Tanda-tanda ke arah itu sudah terlihat kala di kening mulai muncul keringat dingin, sementara perut makin tidak karuan. Di sebelum pertigaan Ketapang, Probolinggo, untungnya si suspensi mati ini berhenti; Untuk menerima operan semua penumpang berkarcis Jember dari bis yang --karena saya mulai KO-- tak sempat saya perhatikan. Saya meloncat turun sebelum isi perut meloncat duluan, sebelum nama baik saya sebagai penumpang bis menjadi tercemar berantakan.

Kamis, 28 Februari 2013

Kopdar dengan Tamu tak Diundang



SAYA mempunyai beberapa ratus teman dunia maya. Sebagian di antaranya adalah teman dunia nyata yang, karena kemajuan zaman plus kemajuan jejaring sosial, melanjutkan hubungan ke dunia maya. Kategori kedua itu sepertinya sebagai sesuatu yang tak teramat istimewa. Biasa saja. Namanya juga sudah saling kenal. Akan lain halnya ketika pertemanan di dunia maya berlanjut ke dalam jenjang dunia nyata. Pertemanan yang tulus, membuat sebuah pertemuan (kopi darat sebutannya) pertama akan menjadi ‘biasa’. Sebiasa kita bertemu dengan teman-teman akrab di dunia nyata.

Jam delapan seperempat suasana di dekat patung Suro dan Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya sudah begitu teriknya. Menunggu di dekat situ akan membuat kulit saya yang sudah hitam akan menjadi makin gosong. Saya terus ke utara di jalan Diponegoro. Membeli koran pada penjual yang mangkal di trotoar tak jauh dari hotel Oval, lalu langsung belok kiri masuk jalan Ciliwung, dan belok kiri lagi ke jalan Setail. Melajukan motor secara pelan, sambil mencari tempat teduh untuk membaca koran, sekaligus tempat yang bisa langsung melihat ke jembatan penyeberangan di dekat Bonbin.

Membaca Manufacturing Hope Dahlan Iskan di halaman pertama, dilanjut membaca berita-berita lainnya, jam 09.09.51 WIB (Waktu Indonesia bagian Bonbin) saya kirim pesan singkat, “Sudah sampai mana, Ra?”

M. Faizi (yang selalu saya panggil Ra Faizi) membalas mengabarkan sudah naik bis kota Damri kelas ekonomi, sekaligus membuat prediksi akan sampai Bonbin empat puluh menit kemudian.

Empat puluh menit dari jam 09.09 tentu akan menjadi jam sepuluh kurang sebelas menit. Padahal, acara di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dimulai jam 9.30. Itu tidak seberapa. Dibanding ketika saya mendapat pesan singkat kalau ia hadir ke acara presentasi buku itu juga tidak mendapat undangan. “Saya datang karena Pak Berthold (Damshauser) kirim tautan (di FB-nya). Itu saja.” balasnya dalam pesan singkat.

Wadduh, berarti saya ke Unesa ini dalam rangka mengantar tamu tak diundang! Yang ketika saya tanya ‘apa dengan tidak diundang begitu, nanti boleh masuk ke arena acara atau tidak’ juga tak tahu. Semprul  ini. Dan kesemprul-an itu, akan bisa melahirkan kejutan. Ditolak masuk, misalnya.