Minggu, 22 Januari 2012

Yu Wage

SIDAL, begitu nama dusun tempat Yu Wage tinggal. Terpencil. Dan untuk menghirup dunia luar, kalau musim hujan begini, orang dusun ini harus menyeberangi sungai yang bisa-bisa sedalam dada. Padahal kalau lagi kemarau, batu-batu dasar sungai itu seperti berebut menampakkan diri. Dangkal saja. Sampai-sampai daun kluwih yang jatuh dan hanyut ke sungai itu, masih menyempatkan diri mampir, memeluk batu-batu itu. Sejenak. Untuk kemudian meneruskan laku  menuju ujung sungai sana. Jauh. Sejauh burung-burung terbang dipagi hari, untuk kemudian kembali ketika angin telah mengingatkan mereka agar segera pulang di sore hari.

Galih, anak lelaki Yu Wage, untuk berangkat dan pulang sekolah selalu melewati sungai itu. Agak memutar ke sisi timur dusun, dimana disitu ada batu besar berjajar agak saling berdekatan. Disitulah bapak-bapak membangun semacam jembatan. Tetapi jangan bayangkan ia adalah jembatan besar dan bagus. Ia adalah satu-dua batang bambu yang ditata di pundak-pundak batu itu. Saling terhubung. Sampai disisi sana, di bibir dusun Silu. Ya, di dusun Silulah tempat sekolah Galih. Sebagai hanya penjual rujak, Yu Wage ingin Galih bernasib tidak sepedas rujak. Ia harus berhasil. Harus bisa sekolah tinggi di kota.


Tetapi hanya dengan mengandalkan uang dari berjualan rujak, apa bisa Yu Wage menggapai yang diinginkan itu. Padahal ia hanya seorang diri. Karena ayah Wage, oh sudah. Yu Wage selalu tidak ingin bercerita tentang siapa ayah dari si Galih.

Rendheng  sedang dalam saat semangat-semangatnya. Tiap hari hujan datang tak pandang waktu. Tak pula ia berjanji sebelumnya. Tidak seperti Pak Tinggi itu. Dulu, sebelum pemilihan kepala desa, ia mengobral janji bila terpilih nanti, akan membangun jembatan di sungai ini, agar dusun Sidal dan Silu menyatu. Agar akses jalan menjadi mudah. Agar ekonomi orang Sidal tidak kalah dengan dusun-dusun lain di desa ini. Tetapi apa buktinya? Hampir tiga tahun ia menduduki kursi kepala desa, Sidal tetaplah dusun yang terisolir ketika musim hujan begini.

Langit yang menghitam di atas sana sama sekali tidak menandakan sudah jam duabelas siang. Yu Wage gelisah. Ia berharap hujan tidak segera turun. Nanti saja, kalau si Galih sudah sampai rumah, silakan kau turun, pinta Yu Wage.

Kelebat kilat kemudian disusul hujan yang lebat. Yu Wage menggigil membayangkan Galih pulang sekolah dan harus menyeberang batang bambu yang dipanggul batu-batu. Yu Wage, secara usia masih belum terlalu tua. Ia masih empat puluh lima. Pernikahannya kandas di tengah jalan tanpa mendapat momongan. Tetapi jalan lain telah terhampar. Jalan yang sampai sekarang ditempuh. Terjal. Dan sering menjadi cibiran; seorang janda yang tiba-tiba hamil tanpa suami. Bahkan sampai si Galih kelas lima sekarang, Yu Wage tetap menutup rapat siapa bapak dari Galih. Sungguh, kerapatan ia menyimpan itu belum juga rapuh. Padahal bambu-bambu yang melintang di atas sungai itu, Yu Wage curiga, sudah rapuh.

Yu Wage meninggalkan tungku ketika api ia anggap telah membara. Ya, memasak lontong memang harus dengan api besar yang konstan. Malam ini Yu Wage dapat rejeki. Pak Modin memesan rujak lontong sebagai hidangan Yasinan di rumahnya.

Petir yang menyalak membuat Yu Wage makin khawatir. Beberapa saat setelah suara adzan terdengar dari dusun Silu, biasanya Galih sudah sampai rumah. Yu Wage tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Karena, di dusun ini, hanya Galih yang sekolah di SD Silu. Biasanya, ada seorang bapak yang baik hati mengantar Galih pulang ketika hujan begini. Tetapi kali ini Yu Wage agak menyesal. Kenapa tiga hari lalu ia berkata, “ Sudahlah, Pak. Tidak usah repot-repot mengantar Galih sampai rumah begini.”

“Tidak apa-apa, Yu. Kasihan dia, masa hujan gerimis begini ia menyeberang sendiri. Kalau kepeleset bahaya, Yu.” jawab pak Gembrok.

Yu Wage tersenyum getir. Ia tak mau membayangkan Galih terpeleset dan jatuh ke sungai. Tidak. Juga ia sendiri tak mau terpeleset oleh ulah dan bujuk rayu pak Gembrok yang dari tatapan matanya masih senakal anak muda. Orang kaya dengan sawah terluas di dusun Silu. Juga orang yang dalam pemilihan kepala desa tiga tahun lalu kalah suara oleh Pak Tinggi.

Yu Wage terkesiap. Tiba-tiba ia berharap di kejauhan Galih datang berpayung daun pisang diantar seseorang. Siapa saja orang itu ia tak peduli. Termasuk pak Gembrok sekalipun.

Benar saja. Pak Gembrok, orang gendut itu, datang setengah berlari tanpa payung daun pisang. Baju hitam kombornya basah kuyup menempel di badan. Ia datang bersama petir yang seakan mau mampir masuk rumah berdinding anyaman bambu itu.

“Yu, Galih jatuh terpeleset. Hanyut...”


Yu Wage menjerit sampai suaranya mengagetkan hujan. Berkali-kali ia tidak percaya rayuan gombal pak Gembrok, tetapi kali ini, ia sungguh tidak lagi bisa begitu. Ia percaya Galih hanyut. Dan ia juga langsung hanyut dalam kepanikan yang menjadi-jadi. Tanpa sempat mematikan api di tungku tempatnya memasak lontong atau meraih belati untuk menebas setangkai daun pisang di halaman depan sebagai payung, ia langsung berlari meninggalkan pak Gembrok yang karena tambunnya tak bisa lari segesit Yu Wage.

Sambil terus menjerit memanggil Galih, Yu Wage terus saja berlari menuju tempat bambu-bambu di pundak batu-batu. Hujan yang turun butirannya sebesar kelereng menerpa wajah Yu Wage. Seperti hendak memperderas air mata yang mengucur di matanya. Tetapi yang dia temui di tempat itu hanya batu-batu besar yang menahan dingin dan deras arus air sungai. Jangankan Galih, Yu Wage bahkan sudah tidak menemukan batang-batang bambu yang biasanya menempel di bahu batu-batu itu. Air yang berwarna kecokelatan seperti sedang balapan untuk dulu-duluan menyentuh laut. Dengan panik Yu Wage melempar pandang ke arah air menuju. Batang pisang hanyut digulung air. Dan Yu Wage tak sanggup membayangkan batang pisang itu adalah tubuh Galih. Ia hanya berteriak-teriak seperti orang gila. Teriakan itu pula yang membuat orang sedusun berbondong-bondong datang. Ikut mencari.

Rupanya hujan juga punya rasa kasihan. Ia berbaik hati mengurangi butiran yang turun. Semakin siang, langit malah hanya mengirim gerimis. Yu Wage tidak berhenti menangis. Ia dengan kalap ikutan turun kesungai. Ikut bergabung dengan lelaki dari Silu dan Sidal yang bersama-sama mencari Galih.

Dengan pakaian rapi dan dikawal seorang Hansip yang memegangkan payung, pak Tinggi datang. Tetapi ia tidak ingin mengotori sandal mahalnya untuk sekadar memijak bibir sungai. Pak Tinggi malah sibuk menelepon kesana kemari. Ia menelepon tim SAR , Puskesmas atau kantor polisi. Memandang itu, pak Gembrok yang pernah bersaing memperebutkan kursi Kades bersungut, ”Kalian baru sadar sekarang. Ia bahkan tak menampakkan kesedihan ketika melihat warganya kesusahan.”

Jelas, itu perkataan yang dilandasi rasa sakit hati. Tetapi bicara sakit hati, tentu saja, tak mengalahkan kesakitan hatinya Yu Wage. Dengan baju dan kain panjang yang basah dan berlumur lumpur, ia datangi pak Tinggi. Wajah Yu Wage menampakkan amarah yang luar biasa. Ia merasa, ia juga termasuk orang yang berhasil membuat lelaki itu menduduki kursi Kepala Desa.

“Mana jembatan yang kau janjikan kepadaku?” sorot mata itu tajam seperti mata serigala.

Semua yang mendengar mendongak. Melihat Yu Wage sedemikian dekatnya dengan pak Tinggi.

“Kalau saja di sini dibangun jembatan, tentu si Galih tidak akan hanyut.”

Semua wajah orang Sidal terlihat mengiyakan ucapan Yu Wage. Kecuali, tentu saja pak Gembrok. Wajahnya adalah wajah sang rival yang masih mengincar kursi Kades periode mendatang.

“Sabar, Yu. Ini musibah. Ini, aku baru saja menghubungi tim SAR. Sebentar lagi datang.”

Yu Wage ingin memaki lagi pak Kadesnya, tetapi teriakan seseorang di pinggir sungai mengurungkan niatnya. “Galih ketemu.!”

Yu Wage berlari menuju sungai lagi. Mendekati seorang pemuda yang sedang menggendong tubuh mungil seorang anak yang masih mengenakan seragam sekolah. Tubuh Yu Wage ikut melunglai melihat tubuh bocah itu lunglai. Tetapi ketika Yu Wage hendak ambruk pingsan, di belakangnya telah ada sesosok lelaki yang sigap menerima dirobohi tubuh Yu Wage. Lelaki itu, pak Gembrok.

*****

Suara sirine membuat orang yang mengerubuti tubuh ibu dan anak yang sama-sama lemas itu memberi jalan mobil ambulans yang datang. Dengan sigap, dua orang dari Puskesmas itu mengangkat tubuh Galih ke dalam mobil. Saat yang sama Yu Wage telah siuman. Dengan mata kepala sendiri Yu Wage melihat dada dan perut Galih ditekan-tekan. Lalu, ia juga melihat seorang di antaranya meniup mulut Galih. Berkali-kali. Sampai akhirnya, seorang itu, yang berpakaian putih itu, dengan wajah sedih menggelengkan kepala. Menyertai gelengan kepala itu, samar-sama telinga Yu Wage mendengar orang mengucap Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

“Tidak. Galih belum mati!” ronta Yu Wage.

Orang-orang menenangkan Yu Wage yang kalap dan tidak bisa menerima kenyataan. Tetapi kenyataan berikutnya adalah, Yu Wage kembali melabrak pak Kadesnya sendiri. Dengan suara tinggi ia mengungkit kembali janji-janjinya saat kampanye dulu. Dan selama ini Yu Wage merasa, bahwa selisih satu suara yang menentukan kemenangan pak Tinggi dalam pilkades dulu itu adalah suaranya. Dan selama ini sepertinya pak Tinggi turut pula mengakuinya. Ini dibuktikan dengan ia sesekali memberi uang jasa kepada Yu Wage. Atau misalnya, ketika ada acara kumpulan di balai desa, seringkali hidangan untuk makan siang para peserta, adalah rujak bikinan Yu Wage. Dalam membayarnyapun, biasanya, pak Tinggi memberikan lebih dari harga yang disepakati sebelumnya.

“Kamu harus bertanggung jawab,” rupanya Yu Wage telah kehilangan sifat sopan-santunnya kepada pak Tinggi.

“ Sabar, Yu. Saya turut berbela sungkawa atas meninggalnya Galih.”

“Berbela sungkawa, katamu?!” Yu Wage geram. “Ayah macam apa kamu, yang hanya mengucap belasungkawa ketika darah dagingmu sendiri mati?”*****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar