DALAM memulai pembicaraan dengan
orang yang baru saya kenal, biasanya, agar akrab, lebih dulu saya
bertanya darimana asalnya. Karena dengan begitu, beberapa kali saya
alami, dia ternyata bertetangga kampung dengan saya. Paling tidak masih sekabupaten. Ini yang bulan
lalu saya alami ketika saban hari belanja material bangunan untuk
renovasi rumah. Salah satu pelayan toko bangunan itu kemudian saya
ketahui berasal dari Sukoreno, sebuah desa yang lokasinya bertetangga
dengan kampung almarhum ayah kandung saya.
Dengan tahu ia berasal darimana, saya
kemudian bisa mengubernya lebih dalam lagi. Misalnya, ketika si
lawan bicara mengaku berasal dari Banyuwangi, ia saya giring
untuk lebih menyempit lagi; Songgon, Genteng, Tegaldlimo, Glenmore
atau Kalipait. Atau kalau dia bilang beasal dari Trenggalek, begini
cara saya memperkecil cakupannya,”Trengalek mana? Karangan,
Panggul. Ndurenan?” Atau (lagi) ia bilang berasal dari Jawa Tengah,
“Jawa Tengah mana? Blora, Cepu, Purwodadi, Grobogan?”
Begitulah. Ketika asalnya sudah lebih
sempit lagi, masih saja saya persempit menuju sasaran. Kalaulah lawan
bicara saya berasal dari Bojonegoro dan telah bisa saya persempit
menjadi Baureno, misalnya, uberan saya kemudian mengarah lebih spesifik lagi.
“Baureno mananya SMP? Apanya masjid, sebelah mananya alun-alun,
atau dari kantor polsek kearah mana?”
***
***
Sekitar jam sembilan tadi pagi, didepan
lift P4 (lift khusus, yang ukurannya lebih besar) saya dapati dua
orang pekerja dari sub-cont yang sedang menunggu untuk turun. Dengan trolley didekatnya, saya kira, mereka hendak mengambil material kerja di basement. Dan
karena P4 ini hanya satu-satunya yang boleh untuk mengangkut
barang-barang berat dan besar, (sementara di lantai 6 sedang ada
aktifitas mengangkut banyak sekali dus barang salah seorang penghuni
yang akan check out) dua bapak itu mungkin telah beberapa menit
menunggu.
“Aslinya mana, pak?” saya
mengeluarkan jurus pengakraban diri, sambil ikut sama-sama menanti lift.
“Saya aslinya dari luar Jawa, pak,”
salah seorang dari mereka menjawab. ”tetapi sudah lama tinggal di Jawa," lanjutnya.
Mendengar logatnya saya percaya. Aksennya sudah sangat Jawa sekali.
“Luar Jawa-nya mana?” ini jurus lanjutan saya. “Palembang, Bengkulu, Balikpapan, Samarinda, Makassar?”
Mendengar logatnya saya percaya. Aksennya sudah sangat Jawa sekali.
“Luar Jawa-nya mana?” ini jurus lanjutan saya. “Palembang, Bengkulu, Balikpapan, Samarinda, Makassar?”
“Saya asli Sampang, pak.”
Saya tahu, bapak itu tidak sedang
bercanda. Saya saja yang kurang menyadari, bahwa Madura pun adalah
sudah termasuk 'luwar' Jawa.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar