Jumat, 20 Januari 2012

Luar Jawa


DALAM memulai pembicaraan dengan orang yang baru saya kenal, biasanya, agar akrab, lebih dulu saya bertanya darimana asalnya. Karena dengan begitu, beberapa kali saya alami, dia ternyata bertetangga kampung dengan saya. Paling tidak masih sekabupaten. Ini yang bulan lalu saya alami ketika saban hari belanja material bangunan untuk renovasi rumah. Salah satu pelayan toko bangunan itu kemudian saya ketahui berasal dari Sukoreno, sebuah desa yang lokasinya bertetangga dengan kampung almarhum ayah kandung saya.

Dengan tahu ia berasal darimana, saya kemudian bisa mengubernya lebih dalam lagi. Misalnya, ketika si lawan bicara mengaku berasal dari Banyuwangi, ia saya giring untuk lebih menyempit lagi; Songgon, Genteng, Tegaldlimo, Glenmore atau Kalipait. Atau kalau dia bilang beasal dari Trenggalek, begini cara saya memperkecil cakupannya,”Trengalek mana? Karangan, Panggul. Ndurenan?” Atau (lagi) ia bilang berasal dari Jawa Tengah, “Jawa Tengah mana? Blora, Cepu, Purwodadi, Grobogan?”

Begitulah. Ketika asalnya sudah lebih sempit lagi, masih saja saya persempit menuju sasaran. Kalaulah lawan bicara saya berasal dari Bojonegoro dan telah bisa saya persempit menjadi Baureno, misalnya, uberan saya kemudian mengarah lebih spesifik lagi. “Baureno mananya SMP? Apanya masjid, sebelah mananya alun-alun, atau dari kantor polsek kearah mana?”

***

Sekitar jam sembilan tadi pagi, didepan lift P4 (lift khusus, yang ukurannya lebih besar) saya dapati dua orang pekerja dari sub-cont  yang sedang menunggu untuk turun. Dengan trolley didekatnya, saya kira, mereka hendak mengambil material kerja di basement. Dan karena P4 ini hanya satu-satunya yang boleh untuk mengangkut barang-barang berat dan besar, (sementara di lantai 6 sedang ada aktifitas mengangkut banyak sekali dus barang salah seorang penghuni yang akan check out) dua bapak itu mungkin telah beberapa menit menunggu.

“Aslinya mana, pak?” saya mengeluarkan jurus pengakraban diri, sambil ikut sama-sama menanti lift.

“Saya aslinya dari luar Jawa, pak,” salah seorang dari mereka menjawab. ”tetapi sudah lama tinggal di Jawa," lanjutnya.

Mendengar logatnya saya percaya. Aksennya sudah sangat Jawa sekali.

“Luar Jawa-nya mana?” ini jurus lanjutan saya. “Palembang, Bengkulu, Balikpapan, Samarinda, Makassar?”

“Saya asli Sampang, pak.”

Saya tahu, bapak itu tidak sedang bercanda. Saya saja yang kurang menyadari, bahwa Madura pun adalah sudah termasuk 'luwar' Jawa.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar