Senin, 21 Oktober 2013

S e p a t u



SEKALIPUN, tentu saja, saya pernah mendengar perihal sepatu kaca milik Cinderella, sayangnya, pengetahuan saya tentangnya tak seberapa lengkap. Cenderung buta, malah. Tak tahu saya, misalnya, apa keistimewaan dari sepatu itu, apa konflik yang terjadi atasnya dsb, dst. Itu  tentang dongeng. Dan apa pun bisa terjadi di alam dongeng, sehingga saya tak perlu repot-repot menariknya ke logika nyata. Bahwa, betapa dengan mengenakan sepatu kaca, si pemakai bakalan  mudah sekali celaka. Kesandung batu saja, pecahan beling sepatu itu bakal mengancam telapak kaki.

Lain sepatu kaca Cinderella, lain pula dengan Sepatu Dahlan. Karena suatu sebab, ketika berkunjung ke sebuah toko buku, dan buku itu ditata sedemikian rupa lazimnya buku unggulan yang baru terbit, ia langsung saya usung ke kasir bersama beberapa buku lainnya untuk saya beli. Apesnya, ternyata buku tulisan Krishna Pabichara itu, dengan membaca beberapa bab awal, gairah saya meneruskan membaca sirna sebelum dapat separonya. Dan ia segera menghuni rak buku bersama koleksi saya yang lain. (Wah, rugi dong sudah mahal-mahal membeli tak khatam membacanya? Ah, tidak juga. Lagian  tak sekali itu saja saya kehilangan syahwat membaca sebelum menamatkannya. Saya merasa lebih tidak begitu rugi manakala, kemudian, buku itu dilahap anak saya sampai halaman terakhir).

Dengan tahu betapa untuk memiliki sepatu saja adalah sebuah mimpi yang tak mudah terwujud bagi si Dahlan, cukuplah bagi saya sebagai modal untuk menengok masa lalu yang juga kurang lebih demikian. Contoh terbaru dari kisah sepatu ini adalah dari beberapa penggawa Timnas U-19 yang mengalami main bola memakai sepatu bekas seharga tigapuluh ribu rupiah. Kalau saja rasa malu karena hanya menggunakan sepatu bekas begitu tinggi sehingga membuat minder dan menyerah  serta meyalahkan keadaan, tentu saja kita tak akan mengenal Evan Dimas, Fathurrohman dkk sebagai pesepak bola andalan masa depan.

Ketika SD, saat pertama kali dibelikan sepatu, pergi ke sekolah saya tetap saja bersandal jepit, atau tak jarang malah bertelanjang kaki. Saat itu saya sudah kelas lima. Kalaulah berangkat dari rumah pakai sepatu, begitu jam istirahat tiba, istirahat pula kaki saya dari terbungkus sepatu. Dengan tidak memakai sepatu, main betengan, kejar-kejaran dan lainnya dalam berlari terasa lebih gesit. Itu alasan pertama. Alasan kedua, dan ini lebih tinggi kadarnya, adalah betapa saya begitu menyayangi sepatu berbahan seperti beludru warna hitam itu. Saking sayangnya, saya tak ingin ia kotor, apalagi sampai rusak dipakai bermain. Alasan ketiga, dengan sebagian besar teman sekolah paling banter bersandal jepit, menjadikan kaum bersepatu sebagai minoritas. Kalaulah kami kemudian ikutan melepas sepatu walau punya, kami anggap itu semata sebagai tindakan solidaritas.

Kalau anak saya atau anak Sampeyan sekarang ini minta sepatu dengan ukuran disesuaikan dengan ukuran kaki, kalau setahun kemudian ukuran kaki membesar, walaupun sepatu itu  (karena mahal dan mutunya bagus) belum rusak, niscaya si anak akan minta sepatu baru lagi. Dalam hal ini, saya akui, orang tua saya telah berpikir matang sebelum membelikan sepatu. Sehingga walau pun sepatu itu sangat jarang sekali saya pakai, orang tua saya tak terlalu khawatir tiba-tiba sepatu itu tak muat di kaki saya yang secara ukuran akan bertambah besar. Apa pasal?

Ya, karena dalam membelikan sepatu, orang tua saya memilih yang ukurannya melebihi ukuran kaki saya kala itu. Sehingga dalam memakainya, bagian ujung depan kaki yang masih longgar, Ibu memasukkan gombal (kain bekas) sebagai sumpal. Tidak hanya sepatu, dalam membelikan baju pun saya sering diperlakukan begitu. Kalau saya kenakan, ia menjadi baju kebesaran dalam arti yang sesungguhnya.

Kenapa orang tua saya berlaku demikian, penjelasannya adalah; keterbatasan bisa melahirkan 'visi/wawasan jauh ke depan', sekalipun kalau diterapkan pada anak-anak saya sekarang, sekadar membayangkannya saja sulitnya sudah sedemikian.

Atau isenglah sedikit; belikan anak kita yang sudah  kelas lima SD sepatu yang kebesaran, sumpal bagian depan dengan kain bekas, mintalah ia kenakan untuk ke sekolah, lalu perhatikan apa yang terjadi. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar