SEKALIPUN, tentu saja, saya pernah
mendengar perihal sepatu kaca milik Cinderella, sayangnya, pengetahuan saya
tentangnya tak seberapa lengkap. Cenderung buta, malah. Tak tahu saya,
misalnya, apa keistimewaan dari sepatu itu, apa konflik yang terjadi atasnya
dsb, dst. Itu tentang dongeng. Dan apa
pun bisa terjadi di alam dongeng, sehingga saya tak perlu repot-repot
menariknya ke logika nyata. Bahwa, betapa dengan mengenakan sepatu kaca, si
pemakai bakalan mudah sekali celaka. Kesandung
batu saja, pecahan beling sepatu itu bakal mengancam telapak kaki.
Lain sepatu
kaca Cinderella, lain pula dengan Sepatu Dahlan. Karena suatu sebab, ketika
berkunjung ke sebuah toko buku, dan buku itu ditata sedemikian rupa lazimnya
buku unggulan yang baru terbit, ia langsung saya usung ke kasir bersama beberapa
buku lainnya untuk saya beli. Apesnya, ternyata buku tulisan Krishna Pabichara
itu, dengan membaca beberapa bab awal, gairah saya meneruskan membaca sirna
sebelum dapat separonya. Dan ia segera menghuni rak buku bersama koleksi saya yang lain. (Wah, rugi dong
sudah mahal-mahal membeli tak khatam
membacanya? Ah, tidak juga. Lagian tak sekali
itu saja saya kehilangan syahwat membaca sebelum menamatkannya. Saya merasa lebih
tidak begitu rugi manakala, kemudian, buku itu dilahap anak saya sampai halaman
terakhir).
Dengan tahu
betapa untuk memiliki sepatu saja adalah sebuah mimpi yang tak mudah terwujud
bagi si Dahlan, cukuplah bagi saya sebagai modal untuk menengok masa lalu yang juga kurang lebih demikian. Contoh terbaru
dari kisah sepatu ini adalah dari beberapa penggawa Timnas U-19 yang mengalami
main bola memakai sepatu bekas seharga tigapuluh ribu rupiah. Kalau saja rasa
malu karena hanya menggunakan sepatu bekas begitu tinggi sehingga membuat
minder dan menyerah serta meyalahkan
keadaan, tentu saja kita tak akan mengenal Evan Dimas, Fathurrohman dkk sebagai pesepak bola andalan masa depan.
Ketika SD,
saat pertama kali dibelikan sepatu, pergi ke sekolah saya tetap saja bersandal
jepit, atau tak jarang malah bertelanjang kaki. Saat itu saya sudah kelas lima. Kalaulah berangkat dari rumah pakai sepatu, begitu jam istirahat tiba,
istirahat pula kaki saya dari terbungkus sepatu. Dengan tidak memakai sepatu,
main betengan, kejar-kejaran dan lainnya
dalam berlari terasa lebih gesit. Itu alasan pertama. Alasan kedua, dan ini
lebih tinggi kadarnya, adalah betapa saya begitu menyayangi sepatu
berbahan seperti beludru warna hitam itu. Saking sayangnya, saya tak ingin ia
kotor, apalagi sampai rusak dipakai bermain. Alasan ketiga, dengan sebagian
besar teman sekolah paling banter bersandal jepit, menjadikan kaum bersepatu
sebagai minoritas. Kalaulah kami kemudian ikutan melepas sepatu walau punya,
kami anggap itu semata sebagai tindakan solidaritas.
Kalau anak
saya atau anak Sampeyan sekarang ini
minta sepatu dengan ukuran disesuaikan dengan ukuran kaki, kalau setahun
kemudian ukuran kaki membesar, walaupun sepatu itu (karena mahal dan mutunya bagus) belum rusak,
niscaya si anak akan minta sepatu baru lagi. Dalam hal ini, saya akui, orang
tua saya telah berpikir matang sebelum membelikan sepatu. Sehingga walau
pun sepatu itu sangat jarang sekali saya pakai, orang tua saya tak terlalu khawatir
tiba-tiba sepatu itu tak muat di kaki saya yang secara ukuran akan bertambah
besar. Apa pasal?
Ya,
karena dalam membelikan sepatu, orang tua saya memilih yang ukurannya melebihi
ukuran kaki saya kala itu. Sehingga dalam memakainya, bagian ujung depan kaki yang masih
longgar, Ibu memasukkan gombal (kain
bekas) sebagai sumpal. Tidak hanya sepatu, dalam membelikan baju pun saya
sering diperlakukan begitu. Kalau saya kenakan, ia menjadi baju kebesaran dalam
arti yang sesungguhnya.
Kenapa orang
tua saya berlaku demikian, penjelasannya adalah; keterbatasan bisa melahirkan
'visi/wawasan jauh ke depan', sekalipun kalau diterapkan pada anak-anak saya sekarang,
sekadar membayangkannya saja sulitnya sudah sedemikian.
Atau isenglah
sedikit; belikan anak kita yang sudah
kelas lima SD sepatu yang kebesaran, sumpal bagian depan dengan kain
bekas, mintalah ia kenakan untuk ke sekolah, lalu perhatikan apa yang terjadi.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar