SEPERTINYA,
adalah suatu yang kurang mengenakkan bila dalam satu kelas, ada guru dan murid
yang namanya sama. Lebih menyiksa lagi, kalau si murid itu termasuk dalam
kategori usil.
Saat SMP, saya punya teman sekelas yang
namanya sama dengan guru pelajaran ekonomi kami. Sebut saja namanya Randy. Si
Randy murid, sudah usil, suka kentut pula. Dan siapa pun tahu, kentut yang
sunyi malah aromanya ruarr biasa.
Saat seisi kelas konsentrasi penuh
mendengar penjelasan Pak Randy tentang diskonto, debet, kredit dan sebangsanya,
dari deretan bangku tengah sisi belakang tiba-tiba ada kegaduhan. Di tengah-tengah
kegaduhan itulah si Randy duduk. Dengan sekeliling pada menutup hidung,
jelaslah sudah, tudingan sumber bencana adalah gas buang si Randy.
“Ada apa di belakang ribut-ribut?” Pak
Randy lantang bertanya.
Teman-teman di sekeliling Randy yang
sebagian besar perempuan, langsung menunjuk si biang kerok. “Pak, Randy
kentut,” seperti koor suara itu kompaknya.
Sebuah penjelasan yang sangat jelas. Toh,
si Randy juga tidak membantah. Tetapi penjelasan itu disertai tawa yang
tertahan manakala cara pengucapannya lamat-lamat terdengar seperti menuduh Pak
Randy yang kentut.
“Apa?!” seakan kurang jelas, Pak
Randy ingin mendengar ulang jawaban kompak tadi.
Sambil cekikikan kami lebih kompak menjawab, “Pak
Randy kentuutt.....”
Sumber keributan di kelas bagi Pak
Randy harus diberi hukuman, dan hukuman yang khas dari beliau adalah
dicubit. Tetapi cubitan itu bukan sembarang cubitan. Pak Randy suka mencubit
(maaf) puting kami para siswa lelaki dan menariknya ke atas sampai kami ikutan
berdiri sambil meringis kesakitan.
Setelah menghukum Randy, dan
memperingatkan agar ia tidak bikin gaduh lagi, Pak Randy melanjutkan pelajaran.
Belum lama berselang, dari arah semula ada lagi kegaduhan. Lagi-lagi,
sekeliling Randy tutup hidung. Ah, kurang ajar betul anak itu! Begitulah akibatnya
kalau mau berangkat sekolah makan kedelai muda rebus.
Tetapi dengan sikap ksatria si Randy
langsung berdiri dan mengangkat dua tangan, “Sumpah. Bukan saya yang kentut! Hiruplah
dengan seksama, aroma ini bukan berasal dari kedelai rebus.”
Kegaduhan mengecil menjadi kasak-kusuk.
Si Randy memerhatikan teman-teman di sekeliling duduknya. Dan mendapati si
bunga kelas, Grace (juga bukan nama sebenarnya) wajahnya ranum memerah menahan
malu. Kepadanyalah kecurigaan si Randy tertuju.
“Mengakulah, Grace. Tak perlu malu,
karena buang angin yang tak dikehendaki adalah hal yang juga manusiawi...,” sok
bijak Randy berkata.
Dengan Grace yang tak membantah, sumber
kegaduhan kedua siang itu jelaslah sudah. Tetapi bukan Randy namanya kalau
tak bisa menambah sebuah kegaduhan menjadi makin meriah.
Demi menyadari hukuman ala Pak Randy
adalah cubitan di titik yang itu-itu juga, “Harus adil dong, pak. Saya tadi dicubit, Grace harus dicubit juga dong, Pak,” ucapan Randy itu langsung
direspon meriah oleh teman sekelas.
“Cubit, cubit, cubit....”
Di antara kekompakan tuntutan kami itu,
Pak Randy mengemasi buku-bukunya, memasukkan ke dalam tas, dan, “Pelajaran siang ini cukup sampai disini. Selamat
siang,” guru ekonomi yang malang itu menutup pelajaran dan keluar meninggalkan
kelas disusul kegembiraan kami yang semuanya terbilang keterlaluan. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar