Sabtu, 24 Agustus 2013

Gema Lagu Lama

BAGI orang yang seumuran dengan saya, atau malah lebih tinggi lagi kadar asam uratnya bilangan usianya, sesekali tentu masih ingin mendengarkan lagu-l;agu lawas yang kondang saat masih muda dulu. Di beberapa situs macam 4shared atau YouTube, kalau mau, kita bisa menikmati tembang-tembang kenangan itu. Tetapi, yang lebih simple dari itu tentu kita bisa mendengarkannya lewat radio.

Banyak stasiun radio yang punya acara semacam itu dengan berbagai nama di Surabaya ini. Yang teratas, menurut saya, adalah program Memorabilia milik Suara Surabaya FM. Kenapa saya bilang teratas? Ya karena pembawa acaranya, Iman Dwi Hartanto, terbilang sangat menguasai acara yang dibawakannya. Ia tahu sejarah lagu itu, siapa-siapa saja yang pernah menyanyikannya, sudah diaransemen ulang berapa kali dan sebagainya. Pendek kata, memang harus begitu itu seorang yang mengemban tugas sebagai penyiar lagu. Baik lagu baru atau lawas. Harus tahu 'asbabun nuzul' sebuah lagu.

Sekalipun lebih sering memutar lagu-lagu lama dari manca negara, sekali waktu Mas Iman (begitu ia akrab disapa) juga mengudarakan lagu-lagu Indonesia. Bahkan pernah suatu waktu membuat satu segmen khusus memutar lagunya Ebiet G. Ade, misalnya. Atau Koes Ploes, atau Titiek Puspa.

Selain Suara Surabaya, untuk pencinta tembang kenangan tentu sudah akrab dengan acara musik lama yang menyediakan durasi waktu lumayan panjang; MediaFM. Kalau SSFM mengudarakan Memorabilia saat malam, MediaFM lewat Mbak Ajeng sebagai pemandunya, menyuguhkan tembang kenangan itu dari pagi sampai siang.

Sebagaimana MediaFM, acara Sweet Memories-nya StratoFM juga diudarakan saat pagi. Hal yang juga dilakukan oleh MTBFM dengan Tembang Tempo Bahuela (catatan: untuk radio MTB FM ini, acara-acaranya memang menggunakan kepanjangan dari MTB. Misalnya; Musik Teman Beraktifitas, atau Monggo Tresno Budoyo.)

Walau beda kelas dan segmen pendengar dengan SSFM, yang mengudarakan acara serupa saat malam adalah radio El Victor. Radio yang memancar dari studio di jalan Jemursari Surabaya ini, untuk pendengar acara El Sanda (El Victor Santai Bersama Anda, begitu nama acara tembang lawas-nya) ada sebutan tersendiri untuk para pendengarnya; Nona Manis untuk yang perempuan dan Pria Romantis untuk yang laki-laki.

Sekalipun terdengar sedikit lebay, bagi saya penyebutan itu tidak terlalu mengganggu. Yang lumayan membuat saya sering geregetan, justru si penyiar, Zaki (maaf, nama ini baru saya ketahui semalam) sering sekali kurang menguasai materi lagu dan sejarahnya. Benar memang, saat lagu itu sedang top-topnya, bisa jadi ia masih balita atau malah belum lahir. Tetapi, tentang resensi lagu, sebetapa pun lamanya ia, dengan membaca tentu masih bisa dicaritahu ini-itunya.

Kalau kurang suka materi siaran sebuah radio, cara tergampang adalah dengan bepindah gelombang. Geser ke kiri ada info lalulintas, geser ke kanan dapat berita politik. Dengan jumlah stasiun radio yang sampai tak sempat menghitung, salah satu di antaranya bisa jadi sedang menyiarkan sesuatu yang disuka. Kalau bukan dangdut, ada jazz, atau campursari dan sebagainya. Dan kalau masih juga memburu lagu lama, siapa tahu sebuah radio yang mengudara di gelombang FM sekian koma sekian, (103,5 WijayaFM, umpamanya), sedang memutar sebuah lagu lawas milik almarhum Gombloh; ...di radio aku dengar lagu kesayanganmu..... .... *****

Sabtu, 10 Agustus 2013

Berlebaran di Malam Takbiran

KERJA di pabrik mana?” haji Rosyid, atau yang di kampung akrab disapa Abah Sate, yang asal Madura itu bertanya lagi saat saya bilang lebaran ini saya harus masuk kerja.

“Seperti di pabrik Kedawung ya, mesinnya kan tidak boleh sampai mati. Jadi harus ada yang masuk sekalipun hari raya,” Cak Kozin, yang kebagian tugas sebagai petugas keamanan kampung selama ditinggal mudik penghuninya, menimpali.

Begitulah. Tetapi saya tidak lantas menyebutkan apa sebenarnya pekerjaan saya. Kalaulah saya diuber oleh pertanyaan yang lebih menjurus, saya juga telah menyiapkan jawabannya; saya bekerja di perusahaan jasa. Jasa apa? Nah, jasa apa yang tugasnya antara lain membetulkan kunci, menambal plafon yang berlubang karena kondensasi pipa AC dan sebagainya. Wis-lah. Sampeyan jangan ikutan detail-detail nanyanya.

Karena harus segera berangkat kerja, seturun shalat Ied saya langsung berkunjung ke tetangga. Tak terlalu banyak sih. Karena sebagian besar tetangga sedang mudik merayakan lebaran di kampung halaman. Jadi ketahuan sekarang, ternyata orang asli Surabaya di sekitar rumah saya ini tidak seberapa. Sebagai kampung yang berdekatan dengan kawasan industri, sebagian besar penghuninya adalah para pendatang. Dan sekarang, yang sebagian besar itu sedang pulang kampuang.

Setelah unjung-unjung ke tetangga, saya berangkat kerja. Jalanan, karena hari raya, tentu tak seperti biasanya. Jalan A. Yani yang biasanya tiada hari tanpa kepadatan, pagi itu cenderung lengang-ngang. Di dekat Royal Plaza yang biasanya ruwet sampai menjelang rel KA di dekat RSI, juga lancar jaya. Tetapi ada juga terbersit perasaan khawatir. Hal ini sebenarnya sebagai ketakutan akan mengalami kejadian seperti yang saya alami sekian lebaran yang lalu. Yakni ketika ban motor saya bocor. Tukang tambal ban yang biasanya antara satu dan lainnya berjarak tak seberapa jauh, saat lebaran mereka jarang yang buka praktik. Banyak di antara mereka yang ikutan mudik. Kalau sampai mengalami ban kempis, bisa-bisa menuntun kendaran mencari tukang tambal ban sampai napas kembang-kempis.

Saling mengunjungi seturun sholat ied, itu sudah biasa. Tetapi bagaimana kalau sudah berlebaran (dalam arti; saling kunjung-mengunjungi untuk bermaafan) di malam takbiran? Hal yang bagi saya termasuk asing ini pertama kali saya alami sekitar 14 tahun yang lalu. Saat dimana pertama kali saya berlebaran di kampung halaman istri.

“Tidak ikut aku,” kata saya saat itu. “Ini masih takbiran, belum lebaran, belum afdol untuk saling bermaaf-maafan,” saya beralasan.

“Ya, sudah. Kalau Sampeyan unjung-unjung-nya besok, berarti sendirian,” istri saya lalu berangkat unjung-unjung ke sanak-kerabat.

Benarlah adanya; paginya, seturun sholad ied, suasananya tidak seperti di kampung asal saya di Jember sana. Di kampung istri saya, di sebuah desa yang masuk wilayah kecamatan Karangbinangun, LA, itu tidak umum orang beranjangsana di waktu siang di hari raya. Karena bersilaturrahim saling maaf-memaafkan telah dituntaskan di malam takbiran, paginya –bagi saya-- suasana tidak seperti sedang lebaran. Terbilang sepi, nyaris semua orang duduk manis menonton televisi sambil ngemil makan jajan di rumah masing-masing.

Karena tidak ingin mengulangi unjung-unjung bermaafan seorang diri, kalau pas lagi berkesempatan berlebaran di kampung istri dan sedang tidak jatahnya incharge masuk kerja, saya ikutan bersilaturrahim di malam takbiran. Namun untuk orang-orang terdekat di rumah; mertua, kakek-nenek dan anak-anak serta istri, saya tetap lebih sreg melakukan acara maaf-maafan di pagi hari, beberapa saat setelah turun dari shalat ied.*****


Minggu, 04 Agustus 2013

Khofifah vs Pakde Karwo; Adu Bukti



“SELOLOSNYA Khofifah sebagai calon gubernur Jawa Timur, pertarungan di Pilgub Jatim makin seru nanti, Kang,” Mas Bendo meramal.

Itu tentu sebuah ramalan yang niscaya, dimana pun. Tetapi, kalau kemudian dengan masuknya Khofifah dalam bursa cagub, tentu ada pihak yang makin berdegup. Ini pun normal saja. Karena bukankah hakikat politik memang begitu itu.

“Yakni, sarana untuk merebut kekuasaan bagi yang belum menikmati. Sekaligus sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan bagi yang sedang menjabat,” papar Kang Karib.

“Baiklah, kalau begitu sekarang kita bicara peluang, Kang,” seperti biasa, Mas Bendo sering kurang sabar. “Menurut Sampeyan, yang paling mempunyai kans untuk menang nanti siapa?”

Kang Karib diam.

“Lho, piye to Sampeyan itu?!” Mas Bendo protes. “Sekarang zaman merdeka, Kang. Jangan takut bicara, jangan takut menganalisa.”

“Iya, nDo. Tapi kapasitasku itu apa?”

“Rakyat. Kapasitas kita sebagai rakyat, Kang. Dan itu posisi tertinggi dalam demokrasi.” Setitik busa merekah di sudut mulut Mas Bendo, saking semangatnya ia bicara.

“Baiklah kalau begitu, nDo. Sebagai sesama rakyat, menurutmu siapa nanti yang paling berpeluang menang?” Kang Karib menerapkan jurus wolak-walik grembyang.

Maka, inilah analisa ngawur Mas Bendo; “Begini, Kang, maaf ya, saya harus kesampingkan Eggy-Sihat. Bagi saya, mereka itu tak lebih dari penggembira,” Mas Bendo mengeluarkan ajian pengamat mabuk. 

“Kalau Bambang-Said?”

“Sekalipun PDIP mampu memenangi Pilgub Jateng dengan mengusung Ganjar Pranowo, di Jatim keadaan akan bisa berkata lain. Efek Jokowi yang menang telak di DKI, tak selamanya mampu mendongkrak kemenangan calon yang diusung si banteng bermoncong putih. Rieke-Teten di Jabar, buktinya. Atau tak menangnya Effendi Simbolon di Sumut.”

“Sebentar, nDo,” sela Kang Karib. “Kalau begitu, menurut analisa nggedabrusmu, di pilgub Jatim 29 Agustus nanti, yang terjadi adalah pertarungan rematch Sukarwo vs Khofifah?”

“Persis,” mantap Mas Bendo menjawab.

“Lalu yang menang siapa?”

Sebelum menjawab itu, Mas Bendo mengajak Kang Karib mengenali ‘senjata’ apa yang akan dipakai baik oleh Pakde Karwo maupun Khofifah dalam pertarungan el clasico itu nanti. Yaitu; bukti.

“Bukti apa maksudmu, nDo?”

“Bukti bahwa disinyalir ada tindakan yang kurang ksatria dalam pilgub 2009 yang melelahkan karena diulang-ulang. Dengan menggandeng mantan Kapolda yang kala pilgub 2009 itu masih menjabat sebagai Kapolda Jatim, tentu Khofifah sedikit banyak akan menguak praktik kecurangan yang terjadi. Dan kecurangan itu, disengaja atau tidak, dituduhkan pula kepada pasangan Karsa ketika nyaris saja Khofifah gagal maju dalam pilgub 2013 ini. Sebuah tuduhan yang –tentu saja – dibantah kubu Karsa.”

“Dengan mengumbar wadi (rahasia), akankah itu selalu berdampak positif?” tanya kang Karib. “Maksudku, apakah itu tidak malah menjadi bumerang bagi pihak Khofifah?”

“Itulah, Kang,” Mas Bendo menyahut. “Kalaulah kubu Khofifah punya bukti-bukti, baik lama atau baru, tetapi bukti dari pihak Pakde Karwo sebagai incumbent  termasuk tak kalah ampuh.”

“Pakde punya bukti apa tentang Khofifah?”

“Bukan tentang Khofifah, tetapi tentang rentang lima tahun terakhir saat memimpin Jatim. Banyaknya investor yang masuk Jatim, pertumbuhan ekonomi yang melebihi capaian nasional, tentu adalah bukti yang sulit disangkal.”

“Jadi kamu masih ‘pegang’ Pakde yang menang nanti?”

“Tak seharusnya saya berkata sevulgar itu, Kang. Tak etis,” kelit Mas Bendo. “Tetapi, sebagai incumbent, sekali lagi, bukti yang menjadi kartu as Pakde lebih konkret dari sekadar bukti tentang yang dituduhkan sang rival yang belum ada wujud dari yang dikampanyekan karena memang belum memegang jabatan.”

"Tetapi, nDo," kalem Kang Karib menimpali, "alangkah eloknya kalau segala keberhasilan mengemban amanat sebuah jabatan, bila jabatan itu asal muasalnya diperoleh dengan cara yang elok pula."

"Jadi Sampeyan ikutan mencurigai Pakde?"

"Bukan, tetapi secara normatif kan memang harus begitu." *****