Tampilkan postingan dengan label Kuliner Kaki Lima. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kuliner Kaki Lima. Tampilkan semua postingan

Minggu, 23 September 2018

Alon-alon Waton Klepon

TERLETAK di sudut jalan Ngurah Rai Tabanan, Bali, ada satu tempat yang menjual penganan khas Gempol; klepon. Yang membedakan, bila di sepanjang jalan sekitar bundaran Gempol papan nama setiap kedai klepon selalu Wahyu, di Tabanan itu si penjual menuliskan 'Klepon Sidoarjo' sebagai namanya.

"Sidoarjonya mana, Mas?" tanya saya kepada lelaki kekar berambut gondrong yang merekrut dua pekerja asli Bali dalam usaha perkleponannya.

"Saya asli Krembung," jawabnya sambil tangannya cekatan membuat bulatan dari adonan tepung ketan yang selalu diwarna hijau itu. Tak lupa, sebelum dimasukkan ke dalam air mendidih, dimasukkan cairan gula merah ke dalam kleponnya. Cairan gula merah itu yang memuncratkan rasa manis di lidah saat klepon diceplus.

Ketika saya cerita tentang Klepon Sidoarjo yang dibuat lelaki asal Krembung itu kepada salah satu penjual klepon di Gempol, "Iya, Pak Wahyu, pelopor penjual klepon disini, juga asal Krembung," papar lelaki bersarung dan berkopyah putih itu.

Selain klepon, biasanya pedagang di Gempol  juga menjual krupuk upil. (Foto: ewe)
Nah, kebetulan ini. Mumpung Abah penjual klepon di Gempol ini menyebut nama Wahyu, saya iseng bertanya kenapa semua penjual klepon disini memakai nama Wahyu di spanduk di depan kiosnya. Walau saat dibeli, tertera nama lain pada kotak bungkus kleponnya. Mahkota, misalnya. Namun nama Wahyu sudah menjadi nama generik untuk klepon. Di Gempol, klepon adalah Wahyu. Titik.

"Dulu yang pertama jualan klepon disini ya Pak Wahyu itu", Abah menerangkan. "Kami belum bisa bikin. Nah, dari Pak Wahyu pula kami belajar bikin klepon."

"Tapi," saya bertanya lagi,"Kenapa semua pedagang klepon disini kok sampai sekarang memakai nama Wahyu?"

"Karena kalau pakai nama lain, orang kurang tertarik untuk membeli," jawab Abah. "Lagipula, Pak Wahyu gak apa-apa kok namanya kita pakai. Malah beliau juga masih jualan klepon hingga sekarang."

"Lalu apakah penjual klepon disini pada membayar kepada Pak Wahyu karena menggunakan nama beliau?"

"Tidak".

Nah, kalau dilihat menggunakan logika bisnis kekinian, tentu Pak Wahyu dapat royalti dari punggunaan namanya sebagai merk. Dan beliau bisa ongkang-ongkang momong cucu tanpa perlu jualan klepon lagi. Cukup jual nama saja.

Ingin saya bertemu Pak Wahyu yang baik hati itu untuk ngobrol ringan tentang klepon, semoga suatu hari nanti keturutan. Pelan-pelan saja. Alon-alon, waton klepon.****


Selasa, 27 Juni 2017

Bipang; Cemilan Kenangan

SUATU malam, tetangga depan rumah pamit undur diri sejenak dari arena jagongan, “Sebentar, saya ambilkan camilan agar makin gayeng”, ujarnya.

Ia datang lagi dengan sewadah umbi yang lama sekali tidak saya nikmati. Bentuknya berimpang, nyaris seperti lengkuas. Tetapi, hmmm... hidung ini telah mengenalinya. Suguhan berjenis pala pendhem  ini mengingatkan saya saat kecil di desa dulu. Ketika kami tadarus mendaras kitab suci di bulan Ramadhan, ada tetangga yang rumahnya berjarak tujuh rumah dari langgar kecil tempat kami mengaji, membawa sebakul ganyong  rebus yang aromanya menggoda.

Penganan berjenis umbi ini kaya akan serat dan karbohidrat. Makanya, selain enak dinikmati sebagai cemilan, ia berperan pula mengenyangkan.

Di kota agak sulit menemukannya, walau di desa ia gampang ditemukan dan menjadi penyelamat di saat paceklik.

Baiklah, izinkan saya meloncat ke lain arah. Masih tentang penganan di masa kecil saya. Tentang buah tangan yang sering Bapak bawa sehabis pepergian. Semacam 'oleh-oleh kebangsaan' karena jenisnya cuma itu-itu melulu. Kalau bukan roti kasur, ya jipang. Kalau lagi beruntung, mungkin bapak lagi ada uang lebih, kami dibelikan kedua-duanya.

Kami menyebut roti kasur karena bentuknya seperti kasur, soal rasa; ia tawar belaka. Maka menikmatinya terasa istimewa kalau Emak membikinkan kami air panas dan gula yang diseduh pada gelas dan kami memakan roti tawar itu dengan dicelupkan dulu ke situ. Rasanya tiada duanya.

Bipang cap Jangkar, eh ternyata penganan ini khas Pasuruan.
(Foto: ediwe)
Sekarang tentang jipang.
Eits, ternyata sebutan kami itu keliru. Karena yang benar adalah bipang. Berasal dari bahasa Tiongkok; bi  berarti beras dan pang  artinya wangi. Makna harfiahnya beras wangi. Ya, penganan ini bahan pokoknya adalah beras yang dipanaskan lalu dicampur gula dan di-pres sedemikian rupa.

Semoga Anda sepakat, bahwa kerinduan itu kadang tiba-tiba muncul bukan melulu untuk sang mantan (yang apesnya, itu hanya bertepuk sebelah tangan), namun  bisa pula tertuju kepada penganan. Maka, ketika suatu sore saya mendapati seorang bapak tua menjajakan aneka camilan 'tempo doeloe' di jantung kota Surabaya ini dengan bipang sebagai salah satunya, saya membelinya.

Seperti ganyong yang anak sekarang kurang menyukainya, si bipang ini pun bernasib tak jauh beda. Buktinya, anak-anak saya kurang berselera berebut buah tangan itu saat saya tiba di rumah (berbeda ketika masa kecil saya dulu yang menganggapnya sebagai oleh-oleh istimewa). Karenanya, kemudian bipang itu hanya saya makan sendiri saja dengan kunyahan yang sebisa mungkin mengantarkan saya akan kenangan masa kecil dulu. *****

Minggu, 01 Desember 2013

Bakso Solo GKB



SETIAP daerah, untuk perkara kuliner, selalu punya kekhasan. Lamongan dengan sotonya dan Madura dengan sate sekaligus juga sotonya, adalah sebagian kecil dari contoh itu. Bagaimana dengan Solo? Sudah barang tentu dengan baksonya.

Saya pernah menemui seorang penjual nasi goreng yang di gerobaknya ditulis Nasi Goreng Lamongan, namun setelah saya tanya, sejatinya ia berasal dari Ponorogo. “Yang Lamongan itu istri saya,” terangnya.

Pengalaman di atas, agak mirip dengan yang saya alami ketika membeli Siomay Bandung di jalan Jemursari, Surabaya. Yang ketika saya bertanya memakai bahasa Indonesia dengan logat yang saya Sunda-sundakan, si ‘Akang’ penjual Siomay bilang, “Saya asli Bojonegoro kok, Pak.”

Menurut saya, hal itu lebih dikarenakan urusan ‘trade mark’ semata sebagaimana saya singgung pada pembuka tulisan ini. Maka, bisa jadi, sekalipun di etalasenya tertulis Nasi Pecel Madiun, Mbakyu si penjualnya bukan tidak mungkin berasal dari Nganjuk atau Magetan. Karena, kalau ditulis Nasi Pecel Magetan atau Nasi Pecel Nganjuk, belum-belum calon pembeli sudah kurang respek.

Maka, janganlah heran kalau di gerobaknya ditulis Bakso Solo, padahal aslinya bukan. Namun, Pak Supardi, penjual Bakso Solo yang mangkal di Bundaran perumahan Gresik Kota Baru (GKB) adalah pengecualiannya. “Saya Solonya Wonogiri, Om,” katanya. (catatan: Pak Pardi memang selalu memangggil saya dengan Om). 

Sebagaimana laiknya PKL, gerobak Pak Pardi memang sangat sederhana. Tak ada tulisan lain selain kata Bakso Solo  itu. Selebihnya hanya dua macam dagangannya; bakso sebagai menu utama dan es degan (kelapa muda) sebagai pelengkapnya. Sebuah pasangan yang serasi; setelah kepedesan makan bakso, segarnya es degan adalah penawarnya. 

“Ngomong-omong, sudah berapa lama berjualan di sini, Pak?” sambil menikmati baksonya saya bertanya.

“Sudah lama, Om,” cekatan saya lihat tangannya meracik bawang goreng, rajangan seledri dan bakso beserta kuahnya ke dalam mangkok kepada pelanggannya yang datang. “kalau dihitung dari awal, ada sudah kalau dua puluh tahun.”

Lelaki berusia sekira 45-an tahun itu menuturkan, awalnya ia jualan ikut paman. Tetapi semenjak tujuh tahun lalu, ia berdagang sendiri. Secara rasa, menurut lidah saya, tidak ada yang terlalu berbeda dengan bakso di tempat lain yang pernah saya beli. Kecuali jumlah bakso dalam setiap porsinya. Saya hitung, pentolnya dalam satu mangkok ada 15 butir. Tetapi ukurannya yang memang kecil-kecil. Ini, bagi saya, lebih praktis daripada seporsi bakso yang hanya berisi satu butir pentol seukuran bola tenis. Karena, dengan ukuran mini begitu, pelanggan tidak perlu repot-reput mencacah si bakso sebelum menyuapkan ke dalam mulut.

Dari Surabaya, bundaran GKB itu sudah separuh perjalanan ke rumah saya di LA sana. Maka, sembari transit istirahat, sering sekali saya mampir ke gerobak bakso Pak Supardi ini. Kalau bukan berangkatnya, ya pulangnya seperti sore tadi. Lelaki yang kos sendiri di Randuagung, Gresik, ini mengaku jarang sekali pulang kampung menengok istri dan tiga anaknya; sulung kembar cewek-cowok, sama-sama sudah kelas 1 SMK sekarang, sementara si bungsu masih di TK.

“Paling-paling tiga bulan sekali saya pulang,” akunya. “Tetapi kalau uang belanja ya semingu sekali, Om. Transfer saban Senin.” 

Sementara saya menikmati baksonya, kalau lagi tidak ada yang beli, saya lihat Pak Pardi menyempatkan diri menyulut Marlboro-nya.

Mendung yang menggantung di langit Gresik sore tadi, membuat saya agak segera menghabiskan semangkok bakso lengkap dengan segelas es kelapa mudanya. Dari situ, menuju rumah saya di Surabaya masih sekitar satu jam lagi. Sekali pun bawa mantel, saya lebih suka tidak kehujanan di jalan. 

Saya siap melanjutkan perjalanan; pantat sudah dingin lagi, perut sudah terisi lagi. Secara ukuran, semangkok bakso dan segelas es degan tadi cukup sesuai dengan kapasitas lambung saya. Secara harga sangat terjangkau pula. Dengan seporsi bakso seharga tujuh ribu, sekalian dengan es kelapa mudanya menjadi pas pada angka sepuluh ribu.

Jadi, kalau Sampeyan penggemar bakso, kalau pas melintas di sekitar perumahan Gresik Gota Baru, tak ada salahnya menjajal Bakso Solonya Pak Supardi ini. *****

Sabtu, 16 November 2013

Nasi Bebek Wonokromo

Nasi bebek.
Foto: blog.gerombolancinta.com
SALAH satu menu yang saya suka adalah nasi bebek. Di Surabaya ini, banyak sekali kedai/warung yang menjualnya. Mulai kelas kali lima sampai yang lebih tinggi dari itu.

Ada istilah yang mengatakan, pembeli membawa pembeli. Artinya, ketika sebuah kedai ramai oleh pengunjung, hal itu menarik orang lain untuk pula mengunjunginya. Tentu saja karena penasaran. Entah itu karena lezatnya menu yang dijual, atau sebab lain. Harganya murah, misalnya.

Ilmu itu saya gunakan pula saat 'kelaparan' di tempat yang saya tak biasa. Umpamanya ketika di kota lain. Tentu kalau saya lagi bepergian sendiri, saya lebih leluasa menerapkan teori ini. Saat transit di terminal Bayuangga, Probolinngo, dalam perjalanan pulang kampung, seringkali saya makan bukan di depot-depot yang berjajar di dalam arena terminal. Tetapi saya lebih memilih keluar. Mencari-cari; dimana ada warung yang ramai, ke situlah saya menuju.

Sebagai warung kaki lima, tentu akan kurang 'sreg' makan di situ kalau tak terbiasa. Tata letak menu yang sedemikian rupa, plus higienitas yang patut dipertanyakan. Tetapi, syukurlah, saya baik-baik saja menyantap makanan di warung-warung kelas teri itu. Lebih dari itu, untuk sepiring munjung nasi pecel lauk ayam goreng plus tempe dan rempeyek remuk lengkap dengan segelas es teh, uang sepuluh ribu rupiah masih susuk.

Karena penasaran akan ramainya, pernah saya mampir ke sebuah warung yang menu utamanaya adalah nasi bebek. Setelah menu dihidangkan dan saya santap, ah, ternyata rasanya kurang mengena bagi lidah saya yang berkelas kaki lima ini. Sebagai nasi bebek, bagi saya penampilannya terlalu 'cantik'. Lagian, dengan semacam kuah warna kekuningan, ia mengingatkan saya akan kuah sayur lodeh. Lebih kurang nikmat lagi ketika saya harus membayar agak mahal untuk itu.

Untuk nasi bebek, lidah saya ini cocoknya di warung kaki lima di daerah Wonokromo, tidak jauh dari lampu merah sisi timur. Sambil makan, saya bisa menikmati suasana macetnya jalanan. Tukang martabak yang asyik membanting-banting adonan sampai tipis dan lebar. Tidak jauh dari situ ada tukang tambal ban yang kesepian, tiada 'pasien'. Atau kalau pas ada kereta api lewat, telinga ini menangkapnya sebagai irama yang menggema.

Warung nasi bebek ini sudah saya kenal sejak masih di seberang jalan dulu, tidak jauh dari pos polisi. Tetapi sekarang di area itu sudah tidak boleh ada PKL mangkal. Di lokasi sekarang, dengan menu yang sudah dikenal pelanggannya, yang datang tetaplah ramai. Lagian, secara lokasi, di tempat yang baru ini pun tak kalah strategisnya. Karena, ia berada di ujung selatan 'pasar maling'. Sebuah tempat dengan aktifitas jual-beli yang kalau makin malam makin ramai. Kenapa disebut 'pasar maling'? Ya, karena di tempat itu bisa didapat ponsel kosongan, baju, jaket, sepatu dan barang-barang second lainnya dengan harga bantingan. Dengan harga semurah itu, dicurigai barang itu adalah dari hasil nyolong. Itulah sebabnya ia dibilang sebagai pasar maling.

Nasi bebek di Wonokromo ini secara tampilan lebih 'serem', dengan sambal lebih nendang. Dibubuhi taburan srundeng yang khas, ia nikmat sekali disantap di tempat. Tetapi bagi yang ingat anak-istri di rumah, bisa pula dibungkus untuk dibawa pulang. Dengan memakai kertas minyak ala kaki lima, sebungkus nasi bebek Wonokromo ini dibandrol seharga sebelas ribu rupiah. Bagi saya, itu harga bersahabat untuk seporsi menu kuliner kali lima yang mantap. *****