SETIAP daerah, untuk perkara kuliner, selalu
punya kekhasan. Lamongan dengan sotonya dan Madura dengan sate sekaligus juga sotonya,
adalah sebagian kecil dari contoh itu. Bagaimana dengan Solo? Sudah barang
tentu dengan baksonya.
Saya pernah
menemui seorang penjual nasi goreng yang di gerobaknya ditulis Nasi Goreng
Lamongan, namun setelah saya tanya, sejatinya ia berasal dari Ponorogo. “Yang
Lamongan itu istri saya,” terangnya.
Pengalaman di
atas, agak mirip dengan yang saya alami ketika membeli Siomay Bandung di jalan
Jemursari, Surabaya. Yang ketika saya bertanya memakai bahasa Indonesia dengan
logat yang saya Sunda-sundakan, si ‘Akang’ penjual Siomay bilang, “Saya asli
Bojonegoro kok, Pak.”
Menurut saya,
hal itu lebih dikarenakan urusan ‘trade mark’ semata sebagaimana saya singgung
pada pembuka tulisan ini. Maka, bisa jadi, sekalipun di etalasenya tertulis
Nasi Pecel Madiun, Mbakyu si penjualnya bukan tidak mungkin berasal dari Nganjuk
atau Magetan. Karena, kalau ditulis Nasi Pecel Magetan atau Nasi Pecel Nganjuk,
belum-belum calon pembeli sudah kurang respek.
Maka,
janganlah heran kalau di gerobaknya ditulis Bakso Solo, padahal aslinya bukan.
Namun, Pak Supardi, penjual Bakso Solo yang mangkal di Bundaran perumahan
Gresik Kota Baru (GKB) adalah pengecualiannya. “Saya Solonya Wonogiri, Om,”
katanya. (catatan: Pak Pardi memang selalu memangggil saya dengan Om).
Sebagaimana
laiknya PKL, gerobak Pak Pardi memang sangat sederhana. Tak ada tulisan lain
selain kata Bakso Solo itu. Selebihnya
hanya dua macam dagangannya; bakso sebagai menu utama dan es degan (kelapa muda) sebagai
pelengkapnya. Sebuah pasangan yang serasi; setelah kepedesan makan bakso,
segarnya es degan adalah penawarnya.
“Ngomong-omong,
sudah berapa lama berjualan di sini, Pak?” sambil menikmati baksonya saya
bertanya.
“Sudah lama,
Om,” cekatan saya lihat tangannya meracik bawang goreng, rajangan seledri dan
bakso beserta kuahnya ke dalam mangkok kepada pelanggannya yang datang. “kalau
dihitung dari awal, ada sudah kalau dua puluh tahun.”
Lelaki
berusia sekira 45-an tahun itu menuturkan, awalnya ia jualan ikut paman. Tetapi
semenjak tujuh tahun lalu, ia berdagang sendiri. Secara rasa, menurut lidah
saya, tidak ada yang terlalu berbeda dengan bakso di tempat lain yang pernah
saya beli. Kecuali jumlah bakso dalam setiap porsinya. Saya hitung, pentolnya
dalam satu mangkok ada 15 butir. Tetapi ukurannya yang memang kecil-kecil. Ini,
bagi saya, lebih praktis daripada seporsi bakso yang hanya berisi satu butir
pentol seukuran bola tenis. Karena, dengan ukuran mini begitu, pelanggan tidak
perlu repot-reput mencacah si bakso sebelum menyuapkan ke dalam mulut.
Dari Surabaya,
bundaran GKB itu sudah separuh perjalanan ke rumah saya di LA sana. Maka, sembari
transit istirahat, sering sekali saya mampir ke gerobak bakso Pak Supardi ini. Kalau
bukan berangkatnya, ya pulangnya seperti sore tadi. Lelaki yang kos sendiri di Randuagung,
Gresik, ini mengaku jarang sekali pulang kampung menengok istri dan tiga
anaknya; sulung kembar cewek-cowok, sama-sama sudah kelas 1 SMK sekarang, sementara
si bungsu masih di TK.
“Paling-paling
tiga bulan sekali saya pulang,” akunya. “Tetapi kalau uang belanja ya semingu
sekali, Om. Transfer saban Senin.”
Sementara saya
menikmati baksonya, kalau lagi tidak ada yang beli, saya lihat Pak Pardi
menyempatkan diri menyulut Marlboro-nya.
Mendung yang
menggantung di langit Gresik sore tadi, membuat saya agak segera menghabiskan
semangkok bakso lengkap dengan segelas es kelapa mudanya. Dari situ, menuju
rumah saya di Surabaya masih sekitar satu jam lagi. Sekali pun bawa mantel, saya
lebih suka tidak kehujanan di jalan.
Saya siap
melanjutkan perjalanan; pantat sudah dingin lagi, perut sudah terisi lagi. Secara
ukuran, semangkok bakso dan segelas es degan
tadi cukup sesuai dengan kapasitas lambung saya. Secara harga sangat terjangkau
pula. Dengan seporsi bakso seharga tujuh ribu, sekalian dengan es kelapa
mudanya menjadi pas pada angka sepuluh ribu.
Jadi, kalau Sampeyan
penggemar bakso, kalau pas melintas di sekitar perumahan Gresik Gota Baru, tak
ada salahnya menjajal Bakso Solonya Pak Supardi ini. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar