Minggu, 25 September 2016

Nama Kekinian Buah Hati

SEKELUAR dari tempat yang disekat dengan sehelai korden -ruang periksa yang ada dipan kecil tempat saya disuntik barusan, sambil mengusap-usap bokong saya ambil tempat di depan meja dokter. (Ohya iya, entah karena pelit atau apa, si dokter yang suka naik Vespa itu berpraktik sorangan wae, tanpa asisten. Jadilah ia yang memeriksa, ia yang menyuntik (ya iyalah, kan dia dokter), juga yang kasih obat dan merangkap sebagai kasir.) Karena tubuh saya masih demam dan kena angiin sedikit saja badan sudah serasa bermalam di puncak gunung, saya meminta dibuatkan surat keterangan dokter.

"Nama?", tanya dokter.

"Edi Winarno."

"Wartawan ya?"

"Bukan, Dok. Karyawan biasa."

"Tapi anggota PWI, kan? Persatuan Winarno Indonesia..."

Sontoloyo tenan. Suka bercanda juga si dokter ini.

Iya, kalau tidak salah, percakapan itu sudah pernah saya posting di blog ini. Tetapi ini tentang hal lain. Tentang orang harus bangga (paling tidak harus sreg) dengan namanya sendiri. Tetapi dewasa ini, terutama buah hati keluarga muda, sepertinya makin tidak kelihatan kesukuannya, atau bahkan keiindonesiaannya. Iya, seperti halnya nama Joko atau Hartono, sudah pasti dengan membaca nama belakang saya orang tidak akan mengira saya ini orang Batak. Lha sekarang, nama para balita kekinian yang dengan genit dinamai mama-papanya (yang punya 'anggota tubuh lain' bernama gadget, yang kemanapun serasa tak lengkap tanpa benda itu) dengan berderet nama yang berbahasa Persialah, Rusialah atau bahasa alien yang tentu saja bakalan sulit dieeja lidah kakek-neneknya.

Apa itu hal salah?
Oh, no. Tidak, saya tak punya secuil kuasa pun untuk menyalahkan siapapun yang menamai buah hatinya dengan bahasa apapun. Lha, memangnya saya ini apa dan siapa? Tetapi begini, mungkin lho ya (tolong dikoreksi kalau saya keliru); orang menamai anaknya dengan istilah atau bahasa yang rumit (walau konon kalau diterjemahkan ke bahasa kita artinya bagus) adalah agar ekskulsif. Padahal, di zaman gugel ini, apa sih yang tidak segera diketahui orang lain untuk kemudian ditirunya. Juga nama balita yang dengan susah payah Anda pakai itu. Maka, adalah hal lumrah manakala sekarang bayi-bayi mungil itu menyandang nama yang sama, paling tidak satu atau dua kata. Yang Salsabila-lah, yang Aurendra-lah, Azzahra-lah atau yang lainnya. Dan, tentu saja, Anda tak bisa menuntut orang tua bayi lain yang memakai nama yang juga Anda pakai untuk buah hati Anda. Kecuali, Anda mematenkan nama baby Anda.

Makanya saya biasa-biasa saja ada orang lain punya nama Edi (walau ejaan hurufnya bisa Edy, Eddy atau  Edhie, toh bunyi ketika dibaca sama). Yang sekarang perlu agak diluruskan adalah tentang Kiswinar. Silakan Anda berpendapat sendiri tentangnya. Mau pro dia atau pro Pak Mario silakan saja. Cuma yang saya pikir, kenapa ya kok penggalan namanya tanggung amat. Tidak ditambah NO sekalian. Biar menjadi Kiswinarno. Atau ditulis menjadi Kiss Winarno. Hmm..., keren kan? Supaya, seperti candaan Pak Dokter kepada saya itu, ia dijadikan anggota 'PWI'. Walau kami, sesama 'marga' Winarno ini, tak perlu melakukan tes DNA demi meyakinkan khalayak bahwa kami sama sekali tak ada pertalian darah.*****

NB: maaf lho ya; antara judul dan isi kurang sejalan. Disengaja kok


Selasa, 06 September 2016