Tampilkan postingan dengan label Tambal Ban. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tambal Ban. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 November 2011

Ban Dalam


SABTU siang kemarin (12 Nov. 2011), ban depan motor saya bocor. Kecurigaan saya, ia tertusuk bendrat (kawat) pengikat kolom. Maklum, didepan rumah saya itu kemarin dipakai tempat pabrikasi rangka besi untuk kolom cor. Jadi, sekali lagi, potongan kecil kawat kecil itulah tersangkanya!

Tak perlu repot. Karena dibelakang rumah saya ada tukang tambal ban. Pak Man, namanya. 'Purnawirawan' preman kampung. Saya hanya perlu memutar dari gang Perjuangan ke gang 7 Raya. Dekat saja. Tetapi ketika saya mendekat, saya lihat pak Man sudah pakai batik,”Mau kondangan,” katanya.

Ketimur sedikit juga ada tukang tambal ban sebenarnya, tetapi dengan adanya tenda, kursi dan sound system didepan rumahnya, saya yakin, ia sedang tidak buka praktek hari itu.

Ini dia. Saya harus melambung ke jalan raya. Balik kanan lewat barat kali, via gang IX, setelah kuburan kembar, saya ingat, ada tukang tambal ban disitu. Ya, agak jauh. Menuntun si Supra sampai berpeluh. Doa saya terkabul; ia sedang tidak 'buwuh'. (Maklum, bulan baik begini banyak sekali undangan untuk mengahadiri walimatul 'ursy, atau walimatul khitan).

Saya dapat antre nomor dua. Karena si GL Max hadir sekitar dua menit dibelakang saya. Urutan pertama, dan sedang ditangani, adalah Jupiter Z warna hijau daun yang ditunggangi seorang pemuda berkaos hitam.

Saya lihat tukang tambal ban geleng-geleng kepala. Tambalannya pada titik yang bocor belum sempurna. Ia menyemburkan gelembung air saat direndam. Terpaksa dikupas lagi.

Sebenarnya tambalan itu berada persis didekat tambalan lama. Saat tambalan itu dikupas, terlihatlah 'penyakitnya'. Sobek sekitar duasetengah centi. Bagi saya, dengan panjang sobek segitu, diposisi ban belakang, tentu pilihannya adalah ganti ban baru. Lebih-lebih, saya lihat dibeberapa titik telah ada tambalan lama. Dengan jumlah tambalan sebanyak itu, tentu ganti ban dalam lebih aman. Tetapi, lain ladang lain belalang.

Saya lihat si empunya motor malah tiduran dibangku panjang. Membiarkan sang tukang tambal mengerahkan semua ajian untuk membuntu sobekan itu.

Dulu, didekat RSI Wonokromo saya pernah mendapati dua orang yang lunglai terkulai gara-gara ban bocor. Dan diagnosa tukang tambal, ban dalamnya harus diganti. Sobeknya sudah dalam taraf parah, dan tak terselamatkan. Tetapi, apesnya, dua orang penunggangnya sedang tak punya uang!

Sekarang, saya sangka, anak muda yang tiduran didekat saya ini juga dalam kondisi sama. Tidak ada uang untuk beli ban dalam yang harganya berfariasi; dari yang 20 ribu (Primax), 24 ribu (IRC) atau yang Genuin part 25 ribu. Tetapi, semurah apapun harganya, kalau sedang tidak ada uang, mau bagaimana.

Setelah ditambal lagi, dengan dua titik berdekatan, dicelup ke bak kecil, dan... tukang tambal bersyukur. Sukses!

“Berapa?” tanya pemuda ber-Jupiter Z itu.

“Enam ribu,” jawab tukang tambal ban.

Pemuda itu merogoh saku kiri depan celana jeans-nya. Begitu keluar, tangannya sudah menggenggam segepok uang lima puluh ribuan. Dengan uang ditangannya itu, tentu ia bisa membeli sebecak ban dalam. Tetapi, mengapa tidak ia ganti?*****

Rabu, 02 November 2011

Tambal Ban


HARI lepas Isya' ketika saya dan istri sampai di jalan sepi yang diapit area pertambakan itu. Sepi. Hanya ada satu dua kendaran yang lewat. Lepas dari pasar Blawi sampai pertigaan Sambo Pinggir di kecamatan Karangbinangun, Lamongan, memang hanya tambak. Sejauh mata memandang yang terhampar hanyalah tambak berhektar-hektar.. Ada sih beberapa warung, tetapi bukanya hanya siang hari.

Tepat di area sepi itu, sesuatu terjadi pada ban motor saya. Bocor. Ini dia. Mau balik kanan grak ke Blawi untuk nyari tukang tambal ban, sudah jauh, Untuk keperluan yang sama ke Sambo Pinggir didepan sana, juga tak kalah jauhnya. Sebenarnya, kalau siang, saya ingat betul, ada tukang tambal ban disekitar sini. Tetapi, malam-malam begini bengkel itu sudah tutup.

“Bocor, pak?” seseorang yang sedang menunggui diesel penyedot air di sebuah tambak bertanya.

“Iya, pak,” jawab saya.

“Didepan situ ada bengkel, pak.” kata lelaki itu menunjuk sebuah bengkel yang tutup.

Saya jengkel. Karena, apa gunanya menunjuk sebuah bengkel yang sudah tutup.

“Sholeh tadi saya lihat ada, kok.” lelaki itu kembali berkata.

“Sholeh siapa, pak?”

“Sholeh itu yang mbengkel disitu. Tapi katanya malam ini ia mau nonton dangdutan di kampung sebelah. Coba saja, mungkin ia masih mau nambal”

Saya melihat, ada beberapa pemuda dengan motornya didepan bengkel. Setelah mengucap terima kasih ke bapak petambak itu, saya tuntun motor saya mendekati bengkel. Dari dekat, saya lihat beberapa pemuda itu sudah macak mbois. Berdandan keren siap untuk mejeng di pentas dangdutan.

Dalam keadaan begitu, saya ragu. Maukah pemuda itu menambal ban motor saya yang bocor. Ternyata,

“Silakan, pak. Agak dikesinikan saja motornya,” kata pemuda yang saya yakin bernama Sholeh.

Ia lalu membuka pintu bengkelnya. Mengeluarkan peralatannya. Dan, tetap dengan pakaian yang bagus itu, ia cekatan menangani ban saya.

Beberapa menit berselang, selesailah penambalan ban motor saya.

“3000,” jawabnya ketika saya tanya berapa saya harus bayar.

Angka itu adalah tarif normal. Dan, saya menilai, sungguh tidak keliru orang tuanya memberikan pemuda itu nama Sholeh.

Padahal, sungguh, dalam keadaan begitu, dikenakan tarif lebih dari itu pun akan saya bayar. ****

Tukang Tambal Ban


SETELAH belanja di sebuah minimarket di Karanggeneng, begitu motor saya tuntun dari parkiran, oh ban belakangnya gembos. Tetapi untunglah, tak seberapa jauh dari situ ada tukang tambal ban. Melihat cara ia membuka ban motor saya, saya tak ragu ia sudah sangat profesional. Dan satu predikat lagi; juga kreatif.

Lihat saja, setelah ban dalam saya dikeluarkan, ia juga mengeluarkan alat yang seumur hidup baru kali itu saya temui. Kalau biasanya tukang tambal ban selalu memakai gergaji besi untuk 'mengerik' lapisan disekitar yang bocor sebelum ditambal, tukang tambal ia beda. Ia menggunakan alat, yang saya yakin hasil modifikasi sendiri. Bentuknya; sebuah pedal dan rantai serta gir. Dua gir, depan dan belakang, dihubungkan seuntai rantai. Jadilah ia sebagai gerinda manual. Karena di gir yang kecil, dimodifikasi sedemikian rupa dengan fungsi sebagai ganti gergaji besi ala tukang tambal ban tradisional.

Hasilnya? Hanya dalam beberapa kali putaran pedal, gerinda manual itu telah mengikis sekitar area ban dalam motor saya yang tertusuk paku. Proses selanjutnya sama persis. Beberapa menit kemudian, selesai sudah.

Saya bawa pulang. Tak jauh. Hanya sekitar enam atau tujuh kilometer menuju desa saya. Dan, ban bocor lagi. Juga ban belakang lagi. Mau tak mau saya bawa ke tukang tambal ban lagi. Tukang tambal ini seperti lazimnya, tanpa gerinda manual. Ia, saya lirik di kotak alatnya, masih menggunakan gergaji besi.

Begitu ban dalam dikeluarkan, oh rupanya yang bocor tidak jauh dari bocor yang tadi. Tetapi bukan kena paku atau barang lancip lainnya. Tetapi, “Ini terlalu tipis kena 'ngeriknya',” kata tukang tambal ban.

Rupanya, alat gerinda manual itu si tukang tambal ban di Karanggeneng tadi terlalu rakus mengikis yang seharusnya tidak disentuhnya. Artinya, dengan gergaji besi masih lebih baik.



Seorang tukang tambal ban di Rungkut malah berani memberi garansi akan tambalannya. Bila hasil tambalannya bocor lagi, ia mempersilakan untuk dibawa kesitu lagi. Ditambal lagi. Gratis.

Bisa jadi itu hanya trik marketing saja. Agar terlihat defferisiansi-nya dengan yang lain. Karena, mana mungkin membawa kesitu bila bocornya lagi sudah di Mojokerto, misalnya.


Di Greges, beberapa ratus meter setelah terminal Osowilangun dari arah Gresik, suatu malam yang gerimis ban motor saya bocor. Setelah menuntun beberapa jauh dalam rinai itu, saya dapati tukang tambal yang rupanya lagi panen. Dua tukang tambal ban itu sibuk sekali, saya lihat. Sebelum saya sudah ada dua 'pasien'. Satu, sebuah Supra, sudah dalam proses pemasangan ban, satu lagi menunggu giliran. Tetapi bannya sudah dilepas.

“Bocor, mas?” saya bertanya.

“Iya, ini copnya sobek,” jawab lelaki yang menunggang Mega Pro ini sambil menunjukkan ban dalam motornya kepada saya.

Pasien pertama selesai. Setelah membayar sejumlah ongkos, ia melajukan Supranya menembus guyuran gerimis.

Si Mega Pro segera ditangani. Sementara 'dokter' yang satunya mulai mengoperasi ban saya. Hasil diagnosanya?

“Wah, bannya robek disebalah cop pentilnya, pak,” ia memberi tahu saya.

Gila.
Saya pikir ini pasti ada yang tidak beres. Mana mungkin Grand saya berkasus sama dengan si Mega Pro. Pasti ini malapraktek. Tapi mau bagaimana lagi. Saya dalam kondisi lemah. Maksudnya, roda saya sudah dilepas. Mana mungkin saya bawa pergi dan mencari tukang tambal yang lebih bernurani.

Akhirnya, saya harus ganti ban baru yang memang ia menyediakan. Harganya, sungguh lebih mahal dari biasanya. Tetapi lagi-lagi saya bisa apa. Dengan rasa mangkel yang mengguyur sederas gerimis malam itu, saya harus menerima keadaan.

Tetapi dalam hati saya bersumpah. Saya tak akan membawa ke tempat itu bila ban saya bocor disekitar situ lagi.*****