Rabu, 11 Juli 2018

Kursi D-8

HARI itu jam 08.15 WITA (Waktu Indonesia Tabanan) saya datang ke kantor PO Gunung Harta di jalan Ngurah Rai. Di halaman kantor ada beberapa penumpang yang rupanya siap berangkat pagi itu. Juga tujuan Surabaya. Ya, hari-hari itu sejumlah bus dan mobil travel atau carteran sedang panen penumpang karena bandara Ngurah Rai sedang ditutup akibat debu erupsi Gunung Agung yang menggganggu operasional penerbangan. Para penumpang yang akan ke Jakarta atau tujuan lain, banyak yang harus ke Juanda dulu.

Setelah antre, sampailah saya di depan petugas PO Gunung Harta. “Maaf, Bapak ke tujuan mana dan untuk keberangkatan kapan?”, tanya petugas setelah lebih dulu mengamalkan SOP 3 S (senyum, sapa, salam).

“Surabaya, untuk keberangkatan hari ini”, jawab saya sambil mengedar pandang ke ruang kantor yang tak berapa luas dengan kondisi relatif kurang bersih.

Petugas tersebut langsung cek layar komputer dan sejenak kemudian bilang, “Maaf, Pak. Untuk keberangkatan hari ini ke Surabaya sudah penuh. Tapi kalau mau, silakan Bapak tinggalkan nomor ponsel yang bisa kami hubungi. Barangkali nanti ada penumpang yang cancel”.

Tidak ada alasan untuk tidak menuruti saran petugas tersebut. Dan saya balik kanan ke kantor di jalan Pulau Menjangan setelah lebih dulu mampir sejenak di sudut jalan Ngurah Rai untuk beli klepon Sidoarjo yang penjualnya orang Krembung.

Benar saja, belum jam sepuluh pagi saya sudah dapat telepon dari Gunung Harta yang mengabarkan ada satu kursi kosong tujuan Surabaya untuk keberangkatan jam lima sore. “Tapi kursinya nomor 8-D lho, Pak.” kata suara di ujung telepon.

“Gak apa-apa, asal saya bisa berangkat ke Surabaya hari ini,” jawab saya.

Jam empat sore saya sudah tiba di kantor Gunung Harta. Ada proses check in dan boarding pass juga ternyata. Lumayan banyak calon penumpang yang juga sudah datang. Termasuk lima siswa dan satu guru pendamping dari SMK Nganjuk (saya lupa SMK berapa) yang baru mengikuti sebuah jambore siswa di Bedugul. Sama-sama tujuan Surabaya, ternyata saya beda bis dengan mereka.

Dari obrolan ringan dengan penumpang yang sudah pernah naik Gunung Harta, dia bilang kalau berangkat jam lima sore dari Tabanan, nanti tiba di Bungurasih sekitar jam 3 pagi. Sekian jam lewat darat tentu bukan lawan sepadan bila bandingkan dengan bila terbang Ngurah Rai-Juanda yang cuma empat puluh lima menit. Mau dibandingkan gimana coba, lha wong bandaranya sedang tutup kok.

Setelah masuk bis dengan bodi dominan warna hijau itu baru tahu saya, ternyata kursi nomor 8-D tepat di dekat toilet. Apakah penumpang yang membatalkan keberangkatannya tadi itu karena posisi yang aduhai ini ataukah sebab lain, tentu saya tak tahu.

Tak terlalu meleset jauh, jam lima sore lebih sekian menit bis mulai putar balik dari depan kantor Gunung Harta, lalu belok kanan di perempatan Patung Soekarno jalan By Pass Tabanan, terus meluncur ke arah Negara, terus lewat pantai Soka, terus... terus saya tertidur.

Sebelum tidur tentu saya masih sempat melihat sepasang turis asal Korea yang sepertinya lagi honey moon ke Pulau Dewata, juga lelaki jangkung asal Perancis yang terlihat kurang nyaman duduk di kursi bis yang jarak antara dengkulnya dan kursi depan memang tidak didesain untuk postur sejangkung dia. Si Perancis itu duduk tepat di depan saya. “Saya mau ke Jakarta,” katanya saat saya tanya. Saya memang tak terlalu fasih berbahasa Inggris, apalagi Perancis. Dan si Perancis itu ternyata malah terbilang lancar jaya berbahasa Indonesia. “Saya sudah setahun di Indonesia,” katanya. Oh, pantesan.

Keangkeran kursi nomor 8-D baru saya rasakan sekian jam kemudian. Ketika beberapa kali si Perancis di depan saya itu, yang kakinya terpaksa memakan bagian tengah antarkursi untuk selonjor sedemikian rupa, mesti memberi jalan orang-orang yang hendak buang air. Pendingin yang terlalu adem atau mereka terlalu banyak minum, semakin malam, semakin sering saja penumpang yang buang air. Efeknya, bau pesing makin dekat ke hidung saya, termasuk hidung si Perancis yang mancung dan berlubang besar, yang tentu penciumannya lebih peka. Hehe...

Kenapa toilet makin malam makin pesing baru tahu sendiri saat saya harus juga buang air. Sodara pemirsah, ternyata pipis di toilet saat bis berjalan itu horor juga. Walau 'selang' saya pegang, ternyata goncangan tetap membuat semburan air kocar-kacir. Tidak pas masuk ke toilet, malah mancur kesana-kemari dan bahkan nyiprati celana sendiri. Air untuk menyiram si pesing itu ada tersedia sih, tetapi entah malas atau karena kocar-kacir itu sehingga walau toilet disiram tetap saja pesing. Beberapa kali si Perancis itu menyempotkan pewangi untuk mengusirnya.

Tujuh jam dalam keadaan begitu, sungguh nyaris bikin saya pingsan. Ini mungkin kenapa kursi nomor 8-D itu dihindari penumpang sebelum saya yang membatalkan perjalanannya. Ternyata oh ternyata.

Jam 02.45 dini hari saya tiba di Medaeng. Tak menunggu sampai terminal Bungurasih yang masih sekian ratus meter di depan, bersama beberapa penumpang saya loncat turun, dan sejurus kemudian telah masuk ke dalam taksi Blue Bird yang memang antre menunggu penumpang di situ. Lega rasanya. Karena lima belas menit kemudian saya telah tiba di rumah.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar