Senin, 26 Maret 2012

K a s m i r a h


-->
-->
Dimuat Radar Surabaya, Minggu 15 April 2012.
PEREMPUAN itu tampak bersih untuk ukuran orang yang dianggap tidak waras. Ia selalu mandi dua kali sehari. Pagi tadi, ketika orang-orang berangkat hendak belanja ke pasar, masih melihatnya mencuci baju di sungai, setelah ia mandi rupanya. Dan siang ini, seperti siang-siang yang lalu, ia pergi ke pasar ini. Sepekan sekali orang sini melihatnya. Setiap Senin. Karena kalau Jum'at ia ke Menampu, Kamis ke Mojosari, Rabu ke Reboan, Minggu ke Kasiyan Wetan. Kecuali Selasa. Selasa ia tidak ke pasar Grenden. Ia di rumah saja.

Pasar Senin ini termasuk ramai. Pak Untung si penjual jamu tampak masih kalah muda dibanding istrinya yang masih tampak bahenol. Dan, seperti orang-orang yang berkunjung ke pasar, Pak Otor si penjual kopiah yang tampak alim pun sempat punya pikiran kotor bila melihat kemontokan Bu Untung


Di dekat Pak Untung itulah, di bagian luar pasar yang berupa tanah lapang dengan beberapa pohon waru ditanam sebagai peneduh, Kasmirah menggelar dagangannnya. Paling tidak itu perkiaan orang. Karena perempuan itu seperti sedang menarik tali dari ujung sini dikaitkan ke pohon waru sana. Selalu begitu. Tanpa suara, tanpa berkata-kata. Padahal, semua orang yakin, si Kasmirah ini tidaklah tuna wicara. Ia bergerak seperti sedang menggelar tikar untuk tempat ia menata jualannya. Juga, seakan menyampir-nyampirkan helai-helai kain. Gerakannya itu seperti pantomim saja. Melipat-lipat, menggapai-nggapai orang yang lewat dilakukannya sambil tetap tak bersuara.

Siapa sebenarnya Kasmirah, tidak ada orang yang tahu pasti. Tetapi ada satu cerita yang diyakini kebenarannya oleh nyaris semua orang. Menurut keyakinan itu, begini ceritanya; ia adalah cucu dari Mbah Suro, seorang pedagang kain keliling dari pasar ke pasar. Kasmirah itu diasuh oleh Mbah Suro sejak bayi. Sebab kedua orang tuanya meninggal karena pagebluk.
Kasmirah punya kecantikan yang paling menonjol. Setiap Mbah Suro berdagang kain ke setiap pasar, dagangannya selalu yang paling laris diantara para perdagang kain yang lain. Para jejaka kampung tentu lebih senang membeli sarung atau kain celana pada Mbah Suro karena ia selalu mengajak serta Kasmirah untuk jualan.

Dari sekian pemuda, Mbah Suro tahu, ada satu yang mendapat perhatian khusus dari cucunya. Sesekali Mbah Suro memerhatikan bola mata Kasmirah setiap pemuda itu datang. Bola mata cucunya yang indah itu semakin indah. Ada sinar asmara yang berpendar.

Pemuda itu Bimo namanya. Anak Pak Carik. Dan, bukan karena ia anak Pak Carik kalau kemudian Mbah Suro tidak keberatan Kasmirah makin hari makin dekat saja. Tetapi, Mbah Suro tahu, Bimo bukanlah pemuda yang bedigasan. Seperti pemuda-pemuda lain yang suka bersuit-suit ketika di pasar. Bimo tidak begitu. Bimo lebih sopan dan pendiam. Juga terlihat serius.

Keseriusan itu dibuktikan ketika suatu malam ia datang bersama orang tuanya ke rumah Mbah Suro. Melamar Kasmirah. Ya, hari pernikahan kemudian telah juga disepakati. Jatuh persis kurang sebulan dari hari itu..

Berapa harga kain ini?” suara yang serak-serak berat itu Mbah Suro sudah tahu sekalipun tanpa melihat orangnya. Itu suara Pak Misnakah, juragan dokar yang setiap ke pasar selalu naik kuda tinggi besar berbulu cokelat mengkilap.

Melihat mukanya yang kasar bekas cacar, ditambah kumis yang melintang sekepalan tangan, Kasmirah melirik dalam diam. Sungguh berbeda dengan tatapan mata Pak Misnakah yang tajam.

Hei, Suro, dengar tidak omonganku tadi?” suara itu membuat Kasmirah merinding. Keributan apalagi yang akan dibuat oleh sang juragan dokar ini?

Sepekan yang lalu Pak Misnakah juga berlaku begitu. Tanpa turun dari pelana kudanya ia menuding sepotong kain yang digelar Mbah Suro. “Kutukar sepotong kain ini dengan dokar lengkap dengan kudanya kalau kamu turut menyertakan Kasmirah dengan kain ini.”

Mbah Suro muntap. Berdiri dari silanya dan hendak membuat perhitungan atas kekurangajaran Pak Misnakah. Tetapi sebilah tongkat rotan panjang berujung runcing yang ditodongkan ke dadanya membuatnya berhenti sampai disitu. Sebuah perhentian yang diketawai Pak Misnakah.”Mau apa kamu he bapak tua? Santailah sejenak. Apakah ada yang salah dengan ucapanku tadi? Hm? Baiklah kalau kamu belum bisa memberi jawaban, lain waktu aku akan datang lagi menanti jawaban pasti”, kata Pak Misnakah lalu melirik Kasmirah yang tampak ketakutan. “Hei cah ayu, kenapa kamu takut begitu? Dengan menjadi istri keempatku, engkau tidak perlu ikutan jualan kain ke pasar berpanas-panas begini”, ujarnya dengan senyum yang menjijikkan di mata Kasmirah.

Hei Pak Misnakah, sopanlah sedikit kalau bicara.”

Kasmirah tahu, itu suara Bimo.

Tahu apa kamu tentang sopan santun?”, balas Pak Misnakah. “Oh, kamu rupanya. Bilang pada ayahmu, batalkan saja lamaranmu.”

Tentu saja Bimo tersinggung. Dan ia ingin membuat perhitungan dengan juragan dokar itu. Tetapi, “Sudah, Bimo. Malu dilihat orang.” Kasmirah menarik tangan Bimo.

Dengar, anak muda. Ini belum selesai. Kasmirah akan jadi milikku, atau akan tidak dimiliki siapapun. Juga tidak oleh dirimu!”, ancam Pak Misnakah lalu pergi dengan meninggalkan debu oleh derap kaki kudanya.

Pak Carik dan Mbah Suro tetap pada kesepakatan. Menikahkan mereka pada bulan Besar. Tanggal duapuluh lima, hari Kamis Pahing. Kalau sebelumnya selalu dihantui perasaan was-was akan ancaman Pak Misnakah, ternyata sampai pada hari H, semua biasa-biasa saja. Undangan telah disebar. Acara yang lumayan besar pun pun digelar. Tidak tanggung-tanggung, mbah Suro nanggap pagelaran wayang kulit dengan dalang paling kondang dari Ambulu.

Sebagai orang yang tidak pernah punya hajatan, dan rajin datang ke hajatan orang, tamu yang datang tak terhitung jumlahnya. Sebagai pedagang, banyak sekali kenalannya.

Hari masih belum begitu malam. Masih maghrib menjelang Isya'. Gamelan dimainkan menyambut para tamu., sekalipun pagelaran wayang belum dimulai. Lihatlah, di sisi timur halaman rumah Mbah Suro yang luas ini, kedua mempelai tampak anggun duduk di pelaminan dengan dekorasi warna kuning keemasan. Melihat kedua mempelai yang tiada pernah menanggalkan sungging senyum dari bibirnya, Mbah Suro dan Pak Carik sebagai orang tua tentu turut pula merasa bahagia.

Tamu-tamu yang datang pun begitu. Semua mengagumi pasangan mempelai yang ganteng dan cantik itu. Malam terus berjalan, tamu terus berjejalan. Terus datang. Juga Pak Misnakah. Lelaki itu mengenakan pakaian kebesarannya; serba hitam. Sorot matanya penuh makna, penuh rahasia. Ketika Mbah Suro mengulurkan tangan untuk mengajaknya berjabatan, Pak Misnakah mendesis sambil matanya terus memandang mempelai di atas pelaminan, ”Kasihan Kasmirah...”, gumamnya.

Aneh, bulu kuduk Mbah Suro merinding mendengarnya. Kenapa pak Misnakah bilang kasihan kepada Kasmirah? Padahal semua tamu tahu, Kasmirah tampak bahagia di hari bahagianya ini. Ia tiada henti tersenyum. Ya, sering kali kedua mempelai saling pandang, saling senyum. Juga sekarang, detik ini. Kasmirah memandang lekat-lekat wajah Bimo. Dengan tatapan matanya. Tanpa kedip. Menatap dalam-dalam. Dan Bimo mendapati mata istrinya itu bersinar aneh.

Sementara, di sudut sana, pak Misnakah tersenyum. Senyum yang asing.

Gamelan terus ditabuh. Tamu-tamu terus berdatangan. Tetapi Mbah Suro dan Pak Carik merasakan ada hawa aneh yang berhembus di bawah tenda tempat hajatan. Mata indah Kasmirah berubah merah. Lalu dengan jeritan panjang yang menyayat hati ia berlari turun dari pelaminan. Sorot mata itu begitu ketakutan. Ya, ia terlihat sangat ketakutan melihat wajah Bimo.

Mbah Suro panik melihat cucunya begitu. Ia meminta para nayaga,, berhenti menabuh gamelan. Lalu kaki tuanya ia ajak mengejar Kasmirah yang berlari menuju rumpun bambu di belakang rumahnya. Masih dengan pakaian pengantin Kasmirah mendesis-desis ketakutan. Ia mengeleng-geleng histeris tak karuan.

Nduk, ingat, nduk. Nyebut, nyebutlah, nduk...” Mbah Suro berusaha menenangkan cucunya.

Tetapi Kasmirah terus menggeleng. Tangannya melepas sanggul ber-ronce bunga melati dan pernak-pernik hiasan pengantin yang menempel di bajunya. Sorot matanya makin aneh. Makin kosong. Dan ketika Bimo turut mendekati istrinya itu, makin histerislah Kasmirah. Ia meronta sekaligus merintih ketakutan. Bimo di mata Kasmirah adalah makhluk menyeramkan. Hitam tinggi besar berambut gimbal dan bertaring runcing.



HARI-HARI setelahnya, Mbah Suro mendapati cucunya itu tetap tak mau bercerita tentang yang dialaminya di malam resepsi pernikahannya. Ia diam seribu bahasa. Tatapan matanya yang kosong makin kosong. Untuk makan pun Mbah Suro harus dengan telaten menyuapinya. Untuk sekadar mengunyah yang sudah disuapkan pun ia tampak enggan. Kakek mana yang tidak nelangsa mendapati cucu satu-satunya menjadi begini.

Seminggu dua minggu, sebulan dua bulan belum juga ada perubahan. Kasmirah makin membuat Mbah Suro gelisah. Tiada sempat pula ia pergi berdagang kain. Ia tak tega meninggalkan cucunya dirumah sendiri. Ia hardik anak-anak kecil yang 'bernyanyi' ; 'Kasmirah gila, Kasmirah gila...' setiap lewat depan rumah tuanya..

Malu? Tentu. Dan suatu pagi ketika Mbah Suro mendengar derap kaki kuda melambat di depan rumah, ia dapati pak Misnakah dengan kuda berbulu cokelatnya. “Hei, Mbah Suro. Kok tidak pernah saya temui lagi ke pasar, ada apa?” tanya itu disertai tatap mata yang bermakna lain.

Mbah Suro diam. Pak Misnakah memperhatikan rumah Mbah Suro yang tampak sepi, ”Cucu dan menantumu mana, kok sepi?”

Belum sempat Mbah Suro meludahi Pak Misnakah, terdengar Kasmirah menjerit-jerit ketakutan di kamarnya. Tubuh tua kakek itu menghambur ke dalam rumah. Pak Misnakah mengajak kudanya berlari lagi dengan senyum kemenangan.

Tak kurang usaha Mbah Suro demi kesembuahan cucunya. Tigabelas kali Bimo juga mengantarkannya menemui orang-orang pintar. Tiada hasil. Padahal untuk biaya, mbah Suro telah kehabisan uang. Berbulan-bulan ini ia tiada lagi pendapatan. Bulan berikutnya Bimo sudah tak muncul lagi. Lengkap sudah. Cucu kehilangan ingatan, hilang pula asa untuk tetap mengharap Bimo tabah akan keadaan ini. Bulan berikutnya lagi, benarlah adanya. Bimo menghilang. Malu rupanya ia punya istri dengan keadaan begini.

Seperti gila rasanya Mbah Suro menanggung beban ini. Tetapi tidak. Ia lelaki tua yang kuat iman. Tetapi lihatlah, ia kalah tubuh. Makin hari makin ringkih. Makin sakit-sakitan. Dan ketika kemudian kakek tua itu meninggal, Kasmirah tetaplah perempuan yang kehilangan ingatannya. Makin tiada takut pula anak-anak kecil mengejek 'Kasmirah gila, Kasmirah gila' setiap lewat di depan rumah tua itu.

Empat puluh hari setelah meninggalnya Mbah Suro, terlihat Kasmirah keluar rumah. Berjalan dalam diam. Menuju pasar. Padahal, sampeyan tahu, orang tidak waras yang masuk ke pasar akan tidak bisa disembuhkan.

Begitulah, sejak itu Kasmirah selalu mengikuti jadwal hari pasaran. Seperti sedang berdagang kain. Tanpa suara. Gerakannya teratur, seperti menari. Seperti menggelar kain, seperti mencantolkannya ke tali yang direntang dari sisi sini ke sisi sana.

*****
PEREMPUAN itu tampak bersih untuk ukuran orang yang dianggap tidak waras. Ia selalu mandi dua kali sehari. Pagi tadi, ketika orang-orang berangkat hendak belanja ke pasar, masih melihatnya mencuci baju di sungai, setelah ia mandi rupanya. Perempuan itu dikenal bernama Kasmirah. Dan Kasmirah itu; aku.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar