PERGELANGAN yang manakah yang
sedang sampeyan lingkari dengan jam tangan? Di kiri atau kanan
tentu sama pantasnya. Dan sama-sama ada alasannya. Kelaziman, mungkin
begitu bila sampeyan menggelangkannya di tangan kiri. Dan
untuk yang melingkarkan dipergelangan tangan kanan, bisa saja ia
membuat alasan yang dikeren-kerenkan, ”Saya menghargai waktu,
makanya alat penunjuk waktu ini saya taruh di tangan kanan.”
Semua bisa diterima akal, sekalipun
tentang waktu itu semua bisa pula diakali. Makanya sampai ada istilah
jam karet. Atau, kalau ditanya atasan ketika suatu kali terlambat
sampai di tempat kerja, alasannya, “Maaf, bos. Jam dinding dirumah
saya mati, sudah gitu jalanan macet lagi...”
Itulah mengapa, mungkin, lalu
diciptakan jam tangan. Yang bisa dipakai kemana-mana. Perkara jam
tangan ini, lalu tidak hanya sebagai penunjuk waktu, itu soal lain.
Ia, untuk merek-merek tertentu, bisa pula sebagai semacam perhiasan.
Sebagai penunjuk derajat si pemakai.
Dan saya termasuk orang yang tidak
pernah mengenakan jam tangan. Baik di pergelangan tangan kiri atau
tangan kanan. Tidak ada alasan tertentu, sebenarnya, kenapa saya
berlaku begitu. Tidak ingin saja. Tidak pula ber-nadzar akan
mengenakan bila sudah mampu membeli merek tertentu, misalnya. Tidak.
Saya merasa baik-baik saja sekalipun tidak mengenakannya. Untuk
urusan waktu, saya bisa melihatnya di layar hand phone jadul
saya yang masih hitam-putih ini. Yang memang lebih dominan hanya sebagai
penunjuk waktu ketimbang tampil sebagai alat komunikasi.
Pernah sih dulu ketika masih bujang dikasih jam
tangan oleh bapak kost. Mungkin beliau merasa kasihan melihat
pergelangan tangan saya selalu tampil polos. Tentu tak baik menolak
pemberian. Jangan dilihat nilainya, tulusnya itu lho yang
penting. Saya tentu saja berterima kasih seterima kasih-terima
kasihnya. Tetapi, saya simpan pemberian itu dengan sebaik-baiknya.
Dan, sejak itu sampai sekarang saya tidak pernah sekalipun
mengenakannya.
Perjalanan harian saya dari rumah ke
tempat kerja yang cuma tak lebih dari lima belas kilometer, dulu
biasa saya tempuh sekitar tiga puluh menit dengan bermotor.
Belakangan, karena semakin padatnya kendaraan (dengan roda dua sukses
tampil sebagai raja), waktu tempuh saya menjadi hampir satu jam. Itu
pun sudah sesekali melanggar ketentuan kecepatan di dalam kota yang
dibatasi 40 kilometer per jam. Kenapa? Dimana-mana macet sekarang.
Apalagi kalau habis hujan. Apalagi menjelang perlintasan kereta api.
Baiklah, ini rute saya; dari Rungkut
saya lewat dalam, via Tenggilis yang tembus ke Raya Jemursari, lalu
ambil kanan masuk Raya Margorejo Indah. Menjelang rel kereta api,
ketika sirine meraung atau suara lembut perempuan yang mengingatkan
agar selalu waspada setiap akan melewati pintu perlintasan kereta api
(karena sudah banyak yang maninggal sia-sia, dilokasi lain masih
banyak perlintasan yang tidak dijaga dan tidak berpintu, dst, dst), ia
pertanda pula akan adanya kepadatan lalu lintas. Sambil menjalankan
motor dengan sangat lambat begitu, atau malah lebih sering berhenti,
untuk melihat jam saya menengok kekiri atau kanan. Mencari-cari
pergelangan tangan orang di samping saya. Kalau lagi apes, karena
tidak menemukan jam tangan, barulah saya merogoh saku, melihat
ponsel.
Bila baru sampai di dekat Maspion
Square situ sudah dua puluh menit menuju jam delapan, alamat
terlambat sampai di tempat kerja. Padahal, saya termasuk penakut
dalam berkendara. Saya, sebisa mungkin, menghindarkan diri untuk
melajukan motor dengan zig-zag. Zig kekiri-zag kekanan, salip kiri,
salip kanan. Padahal di depan masih ada beberapa titik yang kendaraan
selalu uyel-uyelan. Di depan Royal Plaza sebelum RSI, di dekat Bonbin,
atau tidak mustahil pula di Mayjen Sungkono. Padahal waktu terus
berjalan, padahal saya tidak mengenakan jam tangan. Padahal sambil
berkendara begitu, jangankan ber-SMS, lihat jam di layar ponsel saja
sudah sama risikonya. Nyawa taruhannya
Padahal berikutnya adalah, dulu di
jalan Diponegoro, didepan Hotel Oval sekarang, pernah ada jam besar.
Yang bisa saya lirik setiap waktu. Setiap saya melintas disitu.
Sekarang tidak ada lagi. Yang tersisa hanya pondasinya. Untunglah
tidak jauh dari situ, terdapat pos sekuriti sebuah bank. Yang jam
dindingnya bisa terlihat dari jalanan. Maka, kepadanyalah selalu saya
lihat waktu setiap lewat.
Lepas jalan Ciliwung, masuk
Adityawarman, diseberang kantor KPU Surabaya, jamnya juga bernasib
sama. Tinggal pondasinya saja. Terus lurus naik ke Mayjen Sungkono,
di JPO (Jembatan Penyeberangan Orang) setelah Ciputra World,
sempat ada pemodern-an jamnya. Dari yang dulu model jarum, menjadi
model digital. Tetapi, sudah beberapa lama si digital itu pun
meninggal. Lampu penunjuk waktu yang dulu merah menyala, kini hanya
terlihat sebagai barisan titik-titik hitam tanpa kedip.
Tentu saja saya tidak bisa mengetahui
sudah jam berapa ketika sampai disitu, kalau saja sebelumnya saya
tidak melirik (lagi-lagi) pos sekuriti, yang kali ini milik sebuah
showroom mobil mewah disebelum Ciputra World.
Begitulah nasib jam-jam di kota
Surabaya. Ada sih yang secara fisik masih terlihat bagus. Di
JPO depan dua Rumah Sakit yang berhadap-hadapan di jalan Diponegoro,
misalnya. Yang disekujur tubuhnya tertempel iklan sebuah produk rokok. Jam besar itu jarum-jarumnya masih ada. Tetapi, setiap
lewat sana, jarum-jarumnya terlihat selalu salah langkah dalam
menunjuk angka. Senasib dengan alat penunjuk tingkat pencemaran udara
di dekat bundaran Satelit. Yang seberapa parah apa pun kemacetan terjadi
disitu, alat bernama Pollutant Standard Index itu layarnya selalu saja memampang kata 'Sedang'. Tidak tahu, apakah tingkat polusi disekitar alat itu berdiri memang baru dalam tahap 'sedang' atau alat itu 'sedang' tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Saya tentu juga tidak tahu siapa yang harus
membetulkan jam-jam itu. Mengganti baterainya atau apa. Yang
saya tahu, ada istilah waktu adalah uang. Dalam artian, untuk merawat
jam sebagai alat penunjuk waktu itu pun diperlukan uang. Tetapi, kalaulah dikehendaki, saya rela pajak yang saya bayarkan itu juga digunakan untuk biaya perbaikannya. Agar ketika saya berkendara dijalanan kota, masih bisa melirik alat penunjuk waktu itu bila perlu.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar