SELAIN grup tentang persatelitan, salah satu grup yang saya ikuti di jejaring sosial adalah sebuah grup yang mengkhususkan diri mengungkap hal-ihwal yang terjadi di era 80-90an. Lagu-lagunya, filmnya, artisnya, mainannya, julukan masa kecil sampai jajanan yang dibeli saat sekolah di jaman behuela itu. Sering, sebuah cerita tentang mainan yang digemari seorang anak di pelosok Blitar, misalnya, kala itu ngetren pula di ujung Banyuwangi. Tetapi, jangan membayangkan mainan jaman itu seperti yang digemari anak sekarang yang lebih banyak buatan pabrik.
Mainan jaman dulu, ibarat kata, dari apapun jadi. Kulit jeruk bisa dibuat mobil-mobilan, daun nangka bisa dirangkai menjadi penutup kepala sebagai mahkota raja, atau biji buah asam yang dilekatkan pada keramik dibawa kemana-mana lalu diadu kekuatan lekatnya. Oh, jangan dikira pakai lem untuk proses pelekatan, tetapi hanya (maaf) pakai air liur, atau cairan bekicot atau putih telur. Setelah biji asam (tentu yang dipilih yang sudah tua) digosok pada ubin semen hampir separuh, dan disaat masih panas akibat gesekan, dilekatkan pada sebilah keramik bekas atau kaca yang sudah ditetesi air liur. Ih, nggilani ya?
Pendeknya, anak-anak jaman dulu bisa dengan mudahnya mendapatkan kesenangan bersama. Bukan seperti anak-anak sekarang yang menjadi manja dan kurang bersosialisasi justru oleh 'mainan'. Gadget, tentu ada sisi baiknya. Tetapi kalau dilihat, karenanya, anak-anak menjadi lebih senang sendiri, asyik dengan dirinya sendiri. Pada saat dimana gadget sudah menjadi (seakan) kebutuhan, bukan melulu bagi anak-anak, banyak orang tua yang justru lebih banyak menghabiskan waktu bersama 'anak kandung teknologi' ini ketimbang anak kandung sendiri.
Mainan jaman dulu banyak yang dilakukan secara bersama sehingga karenanya secara otomatis mengajari anak untuk lebih memiliki sifat kebersamaan. Main kelereng, dakon adalah dua misal diantara banyak mainan anak yang kini di desa pun sudah makin jarang anak-anak memainkan, sebagaimana mungkin sudah tidak ada lagi anak yang membuat mahkota dari rangkaian daun nangka. Plastik adalah bahan yang mendoninasi bahan mainan (dan saat tulisan ini saya buat, malah beras pun ada yang berbahan plastik).
Masa kecil saya habiskan di Bagorejo dan Mlokorejo. Desa yang tak terlampau pelosok karena terdapat disitu jalan raya Jember-Surabaya via Kencong. Walau saat itu tentu tak seramai sekarang, paling tidak, mobil dan bis bisa kami temui saban hari. Yang juga saya ingat, saban malam Jumat sekira jam dua dini hari, selalu terdengar lenguh suara sapi yang berbaris dituntun orang suruhan blantik (pedagang sapi) untuk menuju pasar Menampu. Entah mengapa para penjual sapi jaman itu senang mengajak dagangannya gerak jalan berpuluh kilometer menuju pasar dan bukan mengangkut sapi-sapi itu menggunakan truk seperti saat ini.
Saat sore hari sehabis mandi sebelum berangkat mengaji, kami duduk di tepi jalan raya mencari kesenangan. Kami membagi teman menjadi dua kelompok. Ya, kami menjadi lawan main dalam menghitung mobil. Untuk menentukan kelompok mana memilih arah mana, kami melakukan suit dulu. Nah, jadilah.
Bayangkan, saking tak sebanyak sekarang, bahkan mobil pun bisa dijadikan 'mainan'. Bukan hanya banyak-banyakkan mobil dari arah timur (Ambulu/Jember), atau dari arah barat (Surabaya/Lumajang), kadang kami bersepakat menjadikan rodanya sebagai bahan permainan. Semakin banyak jumlah roda mobil/truk yang terhitung sampai menjelang maghrib, menanglah yang memiliki jumlah itu. Jadi, kalau ada truk gandeng dari arah 'milik kita' terlihat dari timur, misalnya, sudah sangat giranglah hati karena rodanya banyak. Lebih-lebih kalau truk gandeng itu mengangkut ban mobil, wah, menang KO-lah kita.*****
sungguh mulia dan iseng pekerjaan yang menyenangkan itu, menghitung ban mobil juga, haha
BalasHapusDibanding rekor menghitung spion atau bintik pada layar ponsel, prestasi saya dalam menghitung ban mobil yang lewat itu tentu belum seberapa, Ra. :)
Hapus