Tampilkan postingan dengan label Stand up Comedy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Stand up Comedy. Tampilkan semua postingan

Jumat, 15 November 2013

Stand Up Comedy ala Kang Edi #2



APA PUN pekerjaan kita, sepanjang itu hal baik, tidak ada alasan untuk gengsi, Bos. Pernah saya mendengar orang berkata; banyak sekali pengangguran yang saling berlomba untuk mendapatkan pekerjaan, sementara, ironisnya, banyak pula orang yang sudah bekerja tetapi di kantor ia suka sekali dengan sengaja 'menganggurkan diri'.

Sorry, Bos. Bukannya saya sok menggurui, tidak. Lagian, tidak ada potongan saya menjadi seperti itu. Toh pekerjaan saya tidak elit-elit amat. Cuma karyawan rendahan, yang setiap bulan, ketika baru memasuki tanggal ke empat, jumlah gaji di dompet tinggal seperempat. Tapi saya enjoy-enjoy saja. Yang penting pekerjaan saya halal. Ceihhh....

Padahal kalau dirunut, bukannya pamer nih, Ayah saya itu dulu pernah menjadi pejabat. Mulai lurah, camat, bupati sampai gubernur pernah ia lakoni. Tetapi saya ya tetep begini saja. Nggak pernah sok. Bukan zamannya lagi pamer siapa orang tua kita, tetapi kita harus bisa menepuk dada; inilah aku. Harus gitu, Bos.

Ohya, Ayah saya itu bukan hanya pernah menjadi gubernur saja, bahkan Beliau juga sempat menjadi Kompeni-Belanda. Ayah saya berkhianat kepada negerinya sendiri? Oh, tidak. Itu hanya semacam tuntutan skenario saja. Bagaimana tidak, wong Ayah saya pemain sinetron....

Ngomong-ngomong tentang sinetron, kalau diperhatikan, para artis sinetron yang sering muncul di layar televisi itu, yang cantik-cantik itu, bukan hanya karena cantiknya, tetapi lebih karena beruntung saja. Kalau cuma modal cantik, banyak cewek cantik (yang bahkan lebih cantik dari para pemain sinetron) yang bekerja sebagai pelayan di mall-mall, misalnya. Kulitnya putih mulus, tetapi herannya, suka pakai stocking yang aneh-aneh.

Bayangkan coba; betis sudah diperputih pakai lotion dan lulur segala, eh, malah ditutup pakai stocking warna hitam. Heran. Kalau hanya ditutup pakai warna gelap begitu, ngapain susah-susah merawat kaki supaya mulus dengan biaya mahal? Ha?

Suatu kali saya ajak Nenek saya belanja ke mall. Namanya orang kampung, masuk mall bawaannya heran melulu. Lihat ini heran, lihat itu heran. Yang juga tidak kalah mengherankan Nenek, adalah ketika saya ajak ia menemui pacar saya yang bekerja di mall itu dan kebetulan sedang mengenakan stocking warna hitam.
Nenek menarik saya untuk mendekat dan beliau berbisik; “Cewekmu itu lho, kulitnya putih kok kakinya hitam,” kata nenek ke telinga saya.

Namanya juga Nenek, bicara berbisik toh kedengaran pula oleh kuping pacar saya. Dan mendengar itu pacar saya malah tertawa, “Ini stocking , Nek...” katanya. “Eh, ngomong-ngomong, usia Nenek berapa kok pipinya sudah pada keriput begitu?” tanya pacar saya dengan agak kurang ajar.

Tentu saja saya khawatir Nenek akan tersinggung dengan pertanyaan itu. Tetapi syukurlah Nenek malah tersenyum dan dengan PD menjawab, “Ini bukan kulit, Nak. Ini stocking...” *****


Senin, 14 Oktober 2013

Stand Up Comedy ala Kang Edi #1



WALAU tadi pembawa acara telah menyebut nama saya, tentu tidak ada salahnya saya mengenalkan diri. Oke, nama saya Edi Winarno. Betul, Anda tidak keliru. Saya masih ada hubungan dengan Pak Bondan yang mak-nyus itu. Hubungan saudara? Bukan. Hubungan bisnis? Juga bukan. Lalu hubungan apa dong?

Begini, kami sama-sama anggota PWI. Tentu Anda telah tahu, Pak Bondan Winarno adalah salah satu wartawan senior di negeri ini. Walau sekarang beliau lebih dikenal sebagai pembawa acara kuliner di televisi, beliau adalah penulis bidang managemen yang handal. Ibarat kata; asam di gunung garam di laut, dalam belanga bertemu juga. Nah, Pak Bondan yang berlatar belakang kuli tinta (sebutan yang sekarang kurang pas), dalam PWI bertemu dengan saya yang berlatar kuli bangunan. Ya, kami sama-sama anggota Persatuan Winarno Indonesia.

Untuk apa saya malu menyebut diri sebagai kuli bangunan kalau sebenarnya memang demikian. Hidup ini harus jujur, Bos. Dan jujur itu bisa dibagi dalam beberapa jenis. Ada jujur kacang hijau, jujur sumsum dan lain-lain. Hidup dalam profesi apa pun harus punya prinsip. Harus punya motto.
Motto hidup saya adalah: berani karena benar, takut karena tidak berani.

Ngomong-ngomong tentang keberanian, dulu saya kurang memilikinya. Makanya, walau dari dulu wajah saya sudah ganteng, untuk urusan cinta saya awalnya minder. Akibat dari semua itu, parah, Bos. Saya jadi telaten; telat jadi manten.

Pernah sih, hampir menikah. Jalan ke arah situ sudah mulus banget. Bagaimana tidak mulus; ibu bapaknya sudah setuju, kakek-neneknya juga sudah oke, paman, bibi sampai semua tetangga mendukung. Tahu nggak kenapa kala itu saya batal menikah? Ini sadis, Bos. Masa gara-gara satu orang yang nggak setuju semua jadi batal? Tapi tahu nggak siapa yang tidak setuju itu? Apesnya, yang nggak setuju itu cewek yang akan saya nikahi....

Sebagai lelaki saya harus pantang menyerah. Cinta ditolak, cari lagi sasaran tembak. Ini keharusan yang perlu dilaksanakan. Bukan apa-apa, ini perkara umur, Bos. Sudah usia kepala tiga belum dapat pasangan, bisa keburu karatan....

Dasar wajah saya keren, nggak lama dari penolakan yang tadi itu, saya dapat lagi tawaran dari seorang Mak Comblang. Yang ini semua ditanggung halal, kata si Mak Comblang. Maksudnya, keputusan ada pada orang tua. Tetapi saya mesti bersabar.

“Sabar bagaimana?” tanya saya.

“Kata Ayah-Ibunya, kamu baru boleh menikahi putrinya kalau ia sudah lulus kuliah,” begitu jawab Mak Comblang. “Bagaimana, kamu sanggup?”

“Oke, no problem,” mantap saya menjawab. 

Dalam pikiran saya, sambil menunggu itu, paling tidak saya masih punya waktu untuk mempersiapkan diri lagi. Benar kan, Bos? Menikah itu harus diperhitungkan secara matang. Tidak asal jebret  saja.

“Tapi ngomong-ngomong, sekarang dia sudah kelas berapa?” tanya saya kepada Mak Comblang.

“Baru TK Nol Besar.” *****