Sabtu, 23 Juli 2016

PKL, PR Abadi Kota

BEBERAPA tahun yang lalu, di sepanjang jalan Jagir sisi sungai itu berjajar rapat sekali rumah semi permanen dengan aneka usaha. Mulai bengkel mobil, bengkel motor, warung makan, pandai besi, sampai tempat praktik dokter. Ohya, ada mushollanya juga. Padahal, secara hukum, mereka menempati tanah negara. Dalam arti kata, menempatinya secara ilegal, walau katanya sih tinggal dan membuka usaha disitu bukan gratis semata. Bahkan sudah bergonta-ganti 'pemilik' dengan nilai jual-beli yang tak terbilang murah. Itu pertama. Kedua, dengan PLN berkenan memberikan layanan listrik di area situ, membuat semua menjadi baik-baik saja dan seperti tidak melakukan pelanggaran apa-apa.

Dulu saya pernah ke salah satu rumah disitu untuk suatu keperluan dan ketika saya menengok ke belakang rumah, oh bahaya sekali; langsung menghadap bibir sungai. Kalau lagi apes dan terpeleset, untuk mencarinya bisa jadi perlu bantuan tim SAR.

PKL adalah sekelompok orang dengan keuletan berusaha yang gigih sekali. Dimana ada peluang, disana mereka akan berdagang. Sampai kurang peduli bahwa lahan yang mereka tempati adalah area terlarang. Di bibir sungai, di atas saluran, di depan pasar dan sebangsanya. Sebentar saja tak ditindak, jumlah mereka akan beranak-pinak. Sampai mampu mematikan usaha lain sejenis yang punya tempat permanen dan resmi. Bayangkan, PKL tak sungkan menjual sepatu di depan toko sepatu. Dengan kegigihan berkadar 24 karat, untuk menggusurnya pun tidak setiap pemimpin daerah mampu menuntaskannya.

Anda sudah pernah jalan-jalan ke Singapura? Atau ke Paris? Kalau sudah, berarti Anda telah bisa menyaksikan betapa bersihnya jalanan di sana. Kalau belum pernah, ah kita sama. Karena belum pernah ke luar negeri, tentu akan tak afdol kalau saya nggedabrus bercerita tentang tempat-tempat dimaksud. Baiklah, saya akan bercerita tentang di kota ini saja, Surabaya.

Lagu Bis Kota yang dinyanyikan Franky adalah potret Surabaya tahun bahuela. Yang masih panas. Sekarang, taman ada dimana-mana. Di sepanjang jalan di seantero kota, selalu ada rindang yang diciptakan. Pohon-pohon dan bunga-bunga juga air mancur di berbagai sudut kota, diniatkan agar kota ini menjadi tak panas-panas amat.

Seorang kawan dari kota sebelah sempat iri dengan pembangunan di kota ini. Pembuatan saluran/box culvert yang sepanjang tahun tak pernah berhenti demi bisa mengusir banjir, dan pembanguan infrastruktur penunjang lainnya. Walau kalau diamati, masih saja terjadi malfungsi ketika sarana itu jadi. Trotoar, misalnya. Area pejalan kaki yang dipasang keramik dengan motif apik yang di bangun di atas box culvert di kanan-kiri jalan, malah acap menjadi 'jalan lain' bagi penunggang motor yang tak sabar bermacet-macet ria.

Inilah salah satu problem abadi setiap kota di masa kini; seberapa pun jalan dilebarkan, selalu akan segera dipenuh-sesaki oleh kendaraan. Dan semua akan menjadi semakin ruwet tidak karuan bila sama-sama kurang mengedepankan kesadaran. Ya masyarakatnya, ya pemerintahnya, ya semuanya.

Pagi tadi saya berangkat kerja dan mendapati dua lokasi PKL telah diratakan dengan tanah dan, tentu saja, akan difungsikan disitu sesuai peruntukannya. Satu di jalan Dinoyo, satunya lagi di depan Gelora Pancasila jalan Indragiri. Kemana para PKL itu setelah ini mencari nafkah, tentu perlu (mungkin telah) dipikirkan oleh pihak penggusur. Itu secara moralnya memang demikian, walau mereka adalah pihak yang salah. Tetapi, para pedagang kaki lima bukanlah makhluk rapuh yang gampang punah. Tunggulah: disini merena digusur, sekian waktu berikutnya, di tempat lain, mereka akan tumbuh lagi. Ingat, sesuai namanya, mereka adalah pedagang kaki lima, bukan sekadar kaki tiga!*****