Senin, 21 September 2015

Tracker Satelit: Pemburu Sinyal dan Rezeki

11.47 WIB: Persiapan pemasangan.
Karena di lokasi telah ada tiang eks Indovision,
maka tak perlu pasang tiang lagi.
IMRON (27 tahun) tidak punya pengalaman sama sekali di bidang listrik atau elektronika. Bertahun-tahun bekerja sebagai buruh pabrik, ketika ada lowongan kerja sebagai installer/teknisi parabola sebuah pay tv, ia mencoba keberuntungan.

Ya, nekat saja,” ungkapnya tentang modal yang ia andalkan.



Nah, saat yang dinantikan datang. Ia dipanggil untuk tes interview. “Saat ditanya tentang pengalaman di bidang parabola, jujur saya katakan tidak punya. 'Saya katakan, tentu semua orang berawal dari tidak bisa. Dan belajar adalah cara untuk bisa', begitu prinsip saya. Eh, tidak lama kemudian saya dipanggil lagi. Diterima,” katanya sambil tersenyum.



Satellite Finder, jimat andalan Mas Imron.
Diawali dengan harus mengikuti program diklat selama dua minggu (seminggu teori dan seminggu praktek), Imron melahap materi dengan antusias. Hasilnya; belum genap sepuluh hari ia ia sudah menantang mengajukan diri memasang di rumah pelanggan. “Sebagai orang baru, sesuai prosedur, awalnya saya masih harus didampingi. Setelahnya, ya sudah berani sendiri. Lagian, kalau niat, belajar tracking satelit pay tv itu sehari juga bisa,” paparnya.



Lima bulan sudah ia kini bekerja sebagai teknisi parabola sebuah pay tv milik grup media besar di Indonesia. Sebagai teknisi kantor cabang Surabaya, cakupan arena kerja lumayan luas; meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Lamongan.
Mas Imron sedang pasang LNB.



Ayah satu anak ini menambahkan, hal yang membuatnya kerasan bekerja di bidang ini adalah pengupahan yang bersistem poin. Semakin besar poin yang didapat pada tiap bulan, gaji yang dierima terbilang lumayan. “Ya, di atas UMK-lah,” akunya. “Malah kalau kita pas menangani pelanggan yang 'manis', untuk biaya rokok, makan dan bensin kita ambil dari uang tip dan gak sampai mengurangi nilai gaji. Gaji bisa utuh untuk keluarga.”



12.07 WIB: signal terkunci maksimal, kencangkan baut.
Tinggal cek ke ruang tamu pelanggan.
Foto-foto: ewe
Dengan membawa dua-tiga set antena parabola jenis offset dalam sekali berangkat tugas, ditambah satu tas peralatan berisi kunci, mesin bor, LNB, kabel coaxial dan tentu saja satellite finder, lelaki asal Rembang Jawa Tengah ini terlihat agak terlalu membebani motornya. Ditambah dalam bekerja harus tahan panas (karena antena dipasang di ketinggian dan harus tiada terhalang benda apa pun agar sinyal satelit tertangkap sempurna), plus perjalanan jauh berjarak berpuluh-puluh kilometer ke luar kota demi pelanggan yang sedang mengalami gangguan pada sinyal televisinya, adalah 'makanan sehari-hari'. “Kalau pelanggan puas dan kasih sekadar uang rokok, ya alhamdulillah, tak dikasih pun tak apa-apa. Namanya juga memang sudah tuntutan kerja,” ungkap Imron.

Seperti pencari nafkah sejati yang lain di bidang apa pun, Imron membuang jauh-jauh kosakata mengeluh dari kamus hidupnya. Karena keluh kesah hanya akan membuat sebuah semangat menjadi rapuh dan gampang patah. *****




Jumat, 18 September 2015

Kebahagiaan ala Dokter Gelandangan

"KEBAHAGIAAN itu bukan melulu diukur dari berapa harta kekayaan kita.
Tetapi berapa orang yang telah kita tolong hari ini."

dr Michael Leksodimulyo (melepas jabatan dan gaji tinggi di sebuah
rumah sakit swasta dan memilih fokus kerja sosial bidang
kesehatan menangani para

gelandangan di sudut-sudut kumuh atau
kaum papa yang tinggal di kolong-kolong jembatan
kota Surabaya. Hal itulah yang

membuat ayah tiga anak ini mendapat gelar unik; Dokter Spesialis
Gelandangan)

Rabu, 16 September 2015

CNN Indonesia Mengudara FTA di Surabaya

AGAK terlambat saya tahu kalau CNN Indonesia telah mengudara secara FTA (free to air) alias gratis di Surabaya. Kalau kabar dari Jakarta sih sudah beberapa waktu yang lalu, walau awalnya, dengan masuknya konten CNNID pada MUX TransCorp membuat KompasTV terdepak. Nah apakah sekarang si Kompas sudah balik pada MUX TransCorp di wilayah Zona 4 (Jakarta-Banten), saya belum tahu.

“Bagaimana, apa KompasTV pada siaran digital di Surabaya hilang dengan masuknya CNN?” tanya saya pada seorang teman.

SQ tembus 100%. Lumayanlah. Semoga On Air terus dan bukan sekadar PHP.
(Altem: STB PF-209, antena Titis TS-1000, kabel Belden)
Foto: ewe
Dan jawaban pasti telah saya dapatkan saat scan ulang pada set top box saya yang sudah sekian lama menganggur (karena saya lebih sering menembak sinyal dari langit, pakai jamur), yakni: KompasTV tetap ada walau CNNID telah mengudara. Nah, dengan demikian, saat saya membuat tulisan ini, MUX di Surabaya yang mengudara ada tiga:

  1. 506 Mhz/Ch. 25: MetroTV dan BBSTV
  2. 522 Mhz/Ch. 27: TransTV, Trans|7, CNN Indonesia, KompasTV.
  3. 586 Mhz/Ch. 35: TVRI Nasional, TVRI HD, TVRI 3, TVRI 4, TVRI Jatim, TVRI Pro2.
CNN sebagai stasiun televisi berita siapa yang tidak mengenalnya. Sekarang, dengan hadirnya ia di kanal digital, harusnya membuat beberapa kemungkinan. Pertama, MUX lain yang juga ada content beritanya (490 Mhz/Ch. 23 : tvOne dan antv) harusnya segera bangkit dari istrirahat panjangnya. Begitu juga dengan MUX milik Emtek dan MNC. Kedua, penjualan set top box atau televisi baru yang sudah include tunner DVB-T2 akan kembali bergairah.

Namun orang kini sudah jeli dan agak susah di-PHP, sehingga kemunculan CNN Indonesia yang bisa dinikmati tanpa berlangganan pay tv dan cukup pakai antena biasa pun masih perlu dilihat lebih lanjut. Untuk sementara atau hanya semacam siaran uji coba lalu mak cling, hilang lagi. Iya to. Bukankah, kabarnya, payung hukum tentang siaran televisi digital belum klir benar. Jangan sampai demi bisa melihat CNN (yang dalam promonya dibilang sebagai 'televisi berita kelas dunia berbahasa Indonesia') lalu dibela-belain beli STB, eh sebulan lagi MUX TransCorp kembali mati suri.

CNN Indonesia ibarat magnet, banyak sekali penyiar berita yang hijrah ke sana.
Kemauan sendiri apa 'dibajak' ya?
Foto: ewe
Hidup adalah pilihan, dan tidak melihat CNN pun tidak apa-apa. Jujur, saya belum terlalu intim dengan CNN. Kalaulah saya nonton, paling-paling sekadar ingin tahu siapa saja sih yang boyongan kesitu. Eh, ternyata buanyak sekali. Mulai Shanta Curanggana, Desi Anwar, Alfito Deanova, Indra Maulana, Putri Ayuningtyas, Frida Lidwina, Prabu Revolusi, Eva Yunizar dll. Melihat ini, seorang teman melontar komentar, “CNN Indonesia adalah hidangan dengan citarasa MetroTVOne.” *****

Selasa, 15 September 2015

Surat(an) Pendek Buat Reza

Kenangan dalam file ponsel.
Foto: Sri Wahyunik/Surya
REZ, maaf kalau aku datang belakangan dan tak sempat ikut mengantarmu. Bisa saja ini akan kau anggap sebagai alasan. Tidak masalah. Karena bukankah tentang apapun antar siapapun bisa saja terjadi salah paham. Tetapi begini, ketika Lik Is meneleponku sore itu aku sedang akan pulang kerja dan tiba-tiba seluruh tubuh serasa tidak bertulang mendengar kabar kamu telah berpulang.

Namun bukankah engkau tahu, walau terlambat, aku mengunjungi ke tempat istirahatmu seorang diri. Ya, sekarang sedang musim kemarau. Dan pagi setengah siang itu, lihatlah, matahari sudah sedemikian teriknya. Lagi pula, di tempatmu kini, tiada tertanam bunga kamboja atau pohon trembesi. Membuat gundukan tanah di atasmu tak lagi basah, dan taburan bunga-bunga itu, juga rangkaian janur kembang mayang yang dibuat secara tergesa itu, segera menuju kering.

Masa kecil; berkejaran bersama Mbak Ayu
ketika berlibur ke KBS.
Foto: Dok. Pribadi
Kalau tak ingat petuah bahwa air mata hanya akan memberatkan langkahmu, tentu akan kubiarkan ia mengalir deras di pipi. Toh, aku tak perlu malu karena sedang sendiri dan hanya engkau dan Tuhan saja yang tahu. Di hening dalam terik itu, aku mencoba membuat simpulan. Bahwa ketika duka dirasakan terlalu dalam, sekian persen kecerdasan orang akan berkurang. Itulah sebabnya, dalam keadaan begini, aku merasa harus belajar lebih keras untuk mendalami pelajaran ilmu ikhlas.
Foto: FB Reza.

Rez, hari-hari setelah kepergianmu itu, Mbah Kung dan Mbah Putri tiada lelah mengaji untukmu. Kemarin, di dapur, sungai kembali mengalir dari mata tua Mbah Putri; dan segala ingatan tentangmu adalah sumbernya.

Baiklah, lupakan segala kesedihan, kita ingat saja hal-hal (kecil) yang menyenangkan.

Sebagaimana orang pikun, maaf kalau aku lupa tanggal kelahiranmu. Tetapi, yang masih kuingat, 21 tahun yang lalu engkau lahir sebagai bayi yang sehat dan menggemaskan. Beberapa hari setelah kelahiranmu, menjelang sepasaran (saat si jabang bayi pupak puser dan segera diumumkan namanya dalam kenduri sederhana dengan mengundang para tetangga) ternyata ayah dan ibumu belum punya nama untukmu. Jadilah aku, ayahmu dan Om Yon secara urunan menamaimu sebagai Reza Gilang Bastian. Darimana ide nama itu berasal?

Foto: FB Reza
Oh, tentu zaman itu aku tidak membuka Google dulu dengan kata kunci 'nama bagus untuk si kecil'. Zaman itu jaman bahuela dan urusan nama tidak segampang yang dilakoni orang sekarang. Yang pakai bahasa Persia-lah, Yunani-lah, yang meniru nama artis sinetron atau yang lainnya. Kami menamuimu begitu saja karena sepertinya nyaman didengar dan (celakanya) kalau ditanya artinya, kami akan angkat tangan sebagai tanda tidak bisa. :)

Rez, banyak hal tentangmu yang tak mungkin begitu saja kami lupakan. Damailah di tempat barumu. Doa kami selalu untukmu. *****

Selasa, 08 September 2015

Faktor Konektor

Utak-atik LNB.
Foto: sisitelevisi  (ewe)
"NANTI jam sebelas ada orang Transvision datang, tolong ditemani ya," lelaki India yang gila bola itu berkata.

Tetapi jam sebelas berlalu sementara yang ditunggu belum datang, dan baru muncul batang hidungnya jam tiga sore. Padahal sesuai
schedule kerja, saya mesti pulang jam empat, sedangkan urusan mencari sinyal siaran televisi satelit adalah hal yang kadang melenceng dari prediksi.

Tanpa buang waktu saya langsung mengantar teknisi Transvision itu ke
top roof, lantai tertinggi gedung ini, tempat sekian banyak antena (parabola) diletakkan.

"Yang itu," saya menunjuk dish mesh merek
Paramount buatan PT Gapura Agung ukuran 16 feet.

Sebagai teknisi yang biasanya hanya menangani
dish offset ukuran kecil, saya maklum ketika beberapa saat ia membiarkan mulutnya hanya menganga. Kabel yang menjuntai kurang tertata seperli lidah ular yang keluar dari dua LNB polarisasi H dan V terpisah, melihat keningnya berkerut saya anggap adalah hal wajar.

"Yang itu," saya mengulang kata, kali ini sambil menunjuk LNB, "yang sebelah timur itu untuk Asiasat7. Maklum, orang India," saya berkata sambil menduga ia tahu tentang konten siaran di satelit Asiasat7 memang acara India-nya buanyak sekali.

"Baru kali ini saya menangani
dish sebesar ini," katanya dengan mimik laiknya anak kelas dua SD dihadapkan pada soal ujian anak kelas enam.

Agar ia tidak bengong saja begitu, saya tunjukkan saja celah agar ia bisa berdiri tepat di tengah
dish lalu menggoyang LNB yang untuk Telkom tempat transponder Transvision C band bercokol. Pendek cerita, setelah menggoyang LNB dan melihat pada satellite finder SQ sudah menyentuh angka 81%, turunlah kami ke lantai 22, tempat si tuan India itu tinggal.

Sial, sinyal yang di atas terbaca 81%, pada layar kaca si India tetap loncat-loncat dari 56%-0%. Kami naik lagi, utak-atik lagi, dan sial lagi.

Kalau semboyan petugas PMK adalah Pantang Pulang Sebelum Padam, bagi
tracker sejati prinsipnya adalah Pantang Pulang Sebelum Cling. Demi tak menyalahi ikrar itu, kami naik lagi, oprek LNB lagi. Syukurlah, tak sia-sia naik turun dish; pada layar satellite finder merek Skybox sinyal kedetek nambah menjadi 95%!

Beres?
Belum. Karena saat kami cek pakai televisi, SQ malah zonk, kosong, 0%. Aduh
biyunggg...

"Cek konektornya," saya usulkan, dan daripada tanggung, diganti saja sekalian. Bukan hanya yang di pantat reciever, tetapi sekaligus juga yang di atas, yang menancap pada multi switch.

"Ini jurus terakhir," kata si teknisi, "kalau masih gelap, saya angkat tangan lalu langsung pamit angkat kaki. Biar besok ditangani teman lain yang lebih senior," terdengar setengah putus asa nada bicaranya.
Konektor, kecil-kecil bisa bikin eror. (Foto: ewe)

Agak deg-degan saat kami menuju ruang tamu si India (mantan pelanggan OrangeTV yang migrasi ke Transvision demi mengejar tayangan liga sepak bola.kelas dunia), takut jangan-jangan zonk lagi. Tetapi, "Yes!," sorak kami dalam hati begitu mendapati SQ anteng pada angka 95%!
Naik-turun berkali-kali, utak-atik LNB sana-sini, eh ternyata faktor utama yang bikin eror cuma konektor. *****


Minggu, 06 September 2015

Penyetan Bersantan

KETIKA anak-anak di rumah menganggap daging ayam adalah menu favorit dan di tempat kerja pihak catering seperti punya slogan tiada hari tanpa olahan daging ayam, menjadikan lama-lama lidah saya ini  merasa mblenger juga. Maka, kemarin ketika istri saya bertanya 'masak apa enaknya besok ya?', saya yang biasanya menyahut 'Jangan tanya aku, tanyakan saja pada anak-anak', punya ide segar sebagai jawaban: "Bikin penyetan bersantan."

Alhamdulillah, istri saya setuju tetapi tetap akan memasak menu ayam sebagai 'pemain' cadangan. Ya, siapa tahu lidah anak-anak kurang bisa menerima --menu yang dulu di desa Ibu sering membikinnya--, sehingga masih ada ayam sebagai alternatifnya.

Yang agak repot adalah, ternyata oh ternyata, istri saya hanya lamat-lamat ingat racikan bumbunya. Tetapi setelah mengumpulkan segala daya ingat, disiapkanlah bahan dan bumbu-bumbu sebagai berikut:

-Terong yang telah dikukus: sesuai kebutuhan (terong dibakar juga bisa)
-Tempe yang telah dikukus: sesuai kebutuhan (tempe dibakar juga bisa)
-Bawang merah : dua siung
-Bawang Putih: dua siung
-Kencur: sepotong
-Daun jeruk: 2 lembar
-Kemiri: sebutir
-Kelapa : setengah butir (sudah diparut)
-Garam: secukupnya
-Gula: secukupnya
-Cabe: sesuai keinginan.

Nah, setelah semua bumbu lengkap, uleg sampai halus pada cobek. Setelah halus, tuangkan santan kanil (santan yang kental). Penyet dengan menekan-nekan ulegan pada terong + tempe kukus (bakar) dalam cobek. Dan, taraaa.... : penyetan bersantan siap dihidangkan.

Catatan: karena semua bumbu termasuk santan adalah 'mentah' (untuk memeras parutan kelapa, gunakan air matang hangat), hidangan ini harus habis sekaligus. Jadi, sangat harus disesuaikan dengan kebutuhan. *****




Selasa, 01 September 2015

Kutit yang nDesit

MAKIN hari, kalau diperhatikan, makin banyak saja orang wayuh,
berpoligami. Dan, sejauh ini, belum pernah keluar fatwa dari produsen
fatwa tentang hukumnya. Padahal ini, menurut Kang Karib, sungguh amat
gawat. Urgent sekali.

"Urgan, urgent," Mas Bendo ujug-ujug methungul, muncul. "Sebahaya dan
segenting apa sih, Kang?"

"Kalau masih ada yang menganggap bahwa hubungan itu selalu harus ada
kesetiaan," petuah Kang Karib, "niscaya, perselingkuhan, dengan apa pun
itu, adalah kejahatan terhadap cinta."

"Wik, seserius itu to, Kang?"

Lalu Kang Karib membeber argumen: dengan orang (bisa istri, bisa
suami) lebih punya waktu terhadap gadget-nya masing-masing, berapa
coba, waktu yang terbuang, yang kalaulah orang tak lebih mesra dengan
smartphone-nya, akan bisa lebih bermesraan dengan anak-istri (suami)
masing-masing.

"Zaman sudah berubah, Kang," tangkis Mas Bendo. "dan tak mungkinlah orang mau bergaya hidup seperti zaman dulu. Atau Sampeyan sedang mengingkari kelaziman?"

"Aku sedang gundah saja, nDo."

"Oleh?"

"Ya oleh lebih senangnya orang bersilaturahim dengan gadget-nya daripada dengan sesama manusia."

"Lho, bukankah yang sedang 'ditemui' orang-orang lewat gadget-nya itu adalah juga manusia?"

"Bisa semutukah pertemuan itu bila dibandingkan perjumpaan face to  face yang sesungguhnya?"

"Secara waktu tidak nutut, Kang" sanggah Mas Bendo. "Lha kalau lewat teknologi kan bila langsung sekala, dengan berapa pun tujuannya. Sampeyan saja yang ndesit, yang tetap setia dengan handphone jadul. Yang cuma bisa SMS dan telepon. Sekali-kali cobalah pakai ponsel pintar. Pasti nanti Sampeyan akan ketagihan."

"Nah, itu dia: ketagihan," mata Kang Karib berbinar. "Satu hal yang sebisa mungkin kuhindari. Atas dasar ketagihan, yang sebenarnya tak penting pun akan dianggap penting. Sehingga bila semenit saja tak membuka layar smartphone, khawatirnya seperti kiamat segera datang. Bangun tidur yang pertama dilihat gadget-nya, seperti sebelum tidur pun gadget adalah yang terakhir dicumbuinya. Dan akan nampak bagiamana ya bila suasana di dalam rumah; anak, ayah, ibu (bahkan pembantu) lebih asyik masyuk dengan gadget-nya di sepanjang waktu. Ber-wkwk dengan entah siapa di seberang sana, sambil mengirim senyum emoticon atau smeeley, namun saling dingin dan tidak bersuara dengan orang nyata di depan dan sebelahnya. Yang demikian itu, bukankah tak berlebihan bila dibilang mereka telah wayuh; yang Ibu melakulan poliandri, yang Ayah poligami mengawini gadget sebagai suami atau istri kedua."

Sebenarnya Kang Karib itu sudah hidup di zaman sekarang, di kota lagi. Kok otaknya masih ndesit ya?

"Jangan remehkan orang ndesit, nDo" celetuk Kang Karib lagi. "Orang tua-tua di desa, yang sebagian masih menganggapnya sebagai ketinggalan itu, yang pasrah saja hidupnya monoton, begitu-begitu saja itu, apa kamu pikir mereka tak bahagia. Justru, bisa jadi mereka itu, yang hidup sederhana itu, kebahagiaannya juga adalah hal-hal sederhana. Dibanding kamu yang selalu nggrangsang kepada apa pun yang bersifat duniawi, sehingga kebahagiaanmu juga muluk sekali."

"Hidup kan juga pilihan, Kang" tangkis Mas Bendo.

"Betul," timpal Kang Karib. "Dan aku ingin berbahagia secara sederhana saja, nDo." (bersambung)