Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 April 2020

Pageblug

"DI RUMAH SAJA?!", tanya itu lalu disusul derai tawa. Seperti biasa kalau Kang Kardi tertawa. Lepas. Tak peduli giginya bogang. "Kita ini orang kecil, nDang. Kalau di rumah saja, lalu anak-istri dikasih makan apa?".

Begitulah, tiga hari lalu. Saat ketemu Kang Kardi. Di dekat pertigaan, di depan sebuah minimarket, tempat mangkal Kang Kardi jualan, sekira jam sembilan malam. Saat Rindang keluar, nyari makan anget-anget. Istrinya kangen bakso Bogang, begitu 'merk dagang' yang ditulis Kang Kardi pada rombong baksonya. Biasanya, sebagai sesama pedagang, Rindang dan Kang Kardi tak pernah saling beli. Bertukar saja. Antara nasi goreng dan bakso.

Tiga hari sudah Rindang tidak berjualan. Di rumah saja. Seperti anjuran pemerintah. Seperti yang dilakoni orang-orang. Agar tidak dimakan pageblug. Makanya, ia menurut saja saat istrinya memintanya untuk sementara tidak berjualan dulu.

"Aku takut sampeyan nanti kenapa-kenapa", begitu alasan istrinya.

"Iya juga sih", Rindang menimpali. "Tapi, tanggal satu nanti, waktunya kita membayar kontrakan. Lalu bagaimana?"

Rabu, 13 Februari 2019

Gerimis


SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan menggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.

Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.

“Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya.


Kamis, 19 November 2015

Suami Baru Istriku

BAGAIMANA cara istrimu memanggilmu? Njangkar dengan hanya menyebut namamu saja, atau Mas, atau Pa, atau Yah seperti caranya mengajari anak-anakmu dulu, tetapi terbawa sampai sekarang? Celakanya, selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Rara belum juga kami dikaruniai momongan. Celaka lanjutannya, selain Rara memanggil njangkar sejak dulu kepadaku, jabatannya kini naik tinggi dengan kesibukan yang juga menggunung. Bukankah ketika gaji istrimu lebih tinggi darimu itu adalah juga sebuah kesialan yang nyata?

Rempeyek benar juga. Celotehnya suatu ketika, “Pilih istri itu jangan muluk-muluklah. Yang penting perempuan, yang penting punya lubang.”

Bengkel akan terasa sepi kalau Rempeyek sedang sakit gigi. Celetukannya ada saja. Juga tentang lubang itu. Ia bilang, lubang adalah isyarat ia bisa dimasuki, dinafjahi. “Kalau punya istri tapi buntu; apeslah suaminya. Mau dinafkahi bagaimana wong ia sudah bisa cari nafkah sendiri, malah bisa mendapat yang lebih besar dari gaji kita. Olala...”

Namanya Tifa, tetapi di sekujur wajahnya ada bintik-bintik sebesar kedelai yang membuatnya dipanggil Rempeyek. Dan ia tidak mempersoalkannya. Bahkan istrinya, yang menurutnya kecantikannya hanya dua tingkat di bawah kecantikan bidadari KW 3 itu, pun memanggilnya dengan 'Mas Peyek' sebagai panggilan sehari-hari.

Minggu, 18 Oktober 2015

Cerita Elita

UMURKU dua puluh tahun ketika mulai tinggal di apartemen ini, tepatnya tujuh hari sebelum peresmiannya, delapan belas tahun yang lalu. Tentu, gedung apartemen yang dibangun di atas tanah yang sebagian di antaranya adalah bekas kuburan ini belum seperti sekarang, yang semua fasilitas lebih lengkap. Waktu itu, seingatku, jalan raya di depan itu, yang ada patung buayanya itu, juga masih sepi. Motor belum seperti digelontorkan dari pabriknya seperti sekarang, sehingga angkot masih menjadi andalan orang-orang yang kurang berduit. Yang juga kuiingat, tengah malam sebelum esoknya Pak Walikota meresmikannya, ada empat-lima orang menggali tanah di sisi depan-kanan bangunan untuk menanam kepala kerbau hitam.

Penghuni lama yang betah tinggal sampai sekarang masih bisa kuhitung dengan jelas. Pertama, tentu Bapak Tua yang saban hari sejak dulu suka berbaju hitam yang tinggal di lantai empat belas. Walau aku yakin ia tidak tuna wicara, belum pernah sekali pun aku mendengar ia bicara. Beberapa kali kami ketemu di dalam lift, (biasanya malam-malam, ketika aku dari cari angin di depan lobby; duduk menyendiri di bibir kolam kecil dengan pohan kamboja di kanan-kirinya, dan bunyi gemericik air di kolam itu sungguh bikin hati tenteram) dia menombol angka empat belas dan aku melakukan hal sama untuk tujuanku; lantai tiga puluh empat.

Seperti kami yang jarang tahu apa pekerjaan tiap-tiap penghuni, begitu juga aku tak tahu apa profesi Bapak Tua itu yang ketika sesekali aku melintas di depan pintu apartemennya, selalu bisa dengan jelas kuhirup wangi bunga kamboja, aroma yang juga amat aku suka.

Begitulah, apartemen ini, yang kalau dibandingkan dengan gedung serupa di sekujur kota yang lahir belakangan, tetap belum kalah. Ya desainnya yang elegan dan cenderung klasik, atau bentangan taman nan luas dengan aneka tanaman hias terawat sempurna, juga lobby berinterior artistik dengan piano tua di sudutnya yang malam-malam sering aku diam-diam memainkannya . Tetapi seperti juga pernah engkau dengar, ada kalimat yang mengatakan 'orang bisa membeli tempat tinggal dengan kasur empuk dan semua ruang berpenyejuk, namun tiada orang sanggup membeli mimpi'. Semakin orang mengingini privacy berlebih, seperti para penghuni gedung apartemen ini, niscaya mereka semua adalah pula pengidap paranoid berlebih.

Selasa, 18 Agustus 2015

Bumbung Kosong

 (Dimuat harian Radar Surabaya, edisi Minggu, 16 Agustus 2015)

GESEKAN antar daun bambu yang tertup angin sungguh membuat malam serasa mendesis. Embun turun terlalu dini, membasuh pipi dedaunan. Dingin menggigit setiap tulang, dan Rindang mengusir dingin itu dengan menyulut rokok. Istrinya menganyam tikar mendong di ruang tengah, berteman lampu oblik yang nyalanya meliuk-liuk. Anaknya, namanya Rimba, duabelas tahun, mengaji di surau Mbah Seki. Dan kalau malam Jumat Legi begini, biasanya ia pulang pagi, selepas subuh. Begitulah, sebajingan-bajingannya Rindang, ia ingin Rimba mengerti agama. Agar tidak sebejat ayahnya!

Rindang bajingan?
Oh itu dulu. Sekarang ia tobat. Sejak Pak Gelam, ketua kelompoknya, malam-malam dijemput orang-orang berjaket hitam lalu tak kembali hingga kini. Juga Watam, teman karibnya, yang setelah beberapa hari menghilang, jasadnya yang dimasukkan karung, ditemukan orang desa sebelah mengapung di sungai dekat kuburan.

Sabtu, 13 Juni 2015

Rindhang

ASALE nalika bada taun kepungkur dheweke nduweni nomer ponselku. "Saka Rini," kandhane mangsuli pitakonku.

Ya, minangka kanca SMP, aku isih ora lali Rini.
Rini kancane Kadarwati, Zahrotun lan Sali. Jeneng sing dak sebut pungkasan iku saiki kabare wis sukses nang Bali. Duwe salon sing rame pelanggane. Lan; Sali sing pancen wiwit biyen kemayu kuwi, saiki operasi dadi wadon lan krungu-krungu jenenge ganti dadi Shally.

"Aku Rindhang," kandhane liwat ponsel.

Dak peksa ngiling-iling, jan ora kelingan blas.

"Pancen aku ora nganti lulus," Rindhang nutukake, " sawuse ngantem Pak Juma'i, aku langsung metu. Ra sekolah ra pathek'en," guyune jan ucul-cul.

Ya tekan kuwi, nganti saiki, terus wae Rindhang hubungi aku. Yen ora nelepon, ya SMS. Ra pandhang wektu; kadhang tengah wengi. Tapi siji; dheweke ora dak wenehi alamat omahku.

"Wedi yen dak parani ya?"

Aku ora mangsuli.

Nanging, kerana penasaran, sawuse meh selawe taun ora ketemu, aku nyempatke janjian ketemu.

ooOoo

Rambute rada brintik, kulitane rada ireng. Wong lanang nang ngarepku iki nganggo jaket kulit, dedeg-piyadege atletis.

"Akhire...." Rindhang mapak aku nang lawang restoran. Dheweke ora mung nyalami, tapi ngrangkul aku kanthi raket. Nanging aku malah krasa aneh; sapa satemene Rindhang iki?

"Piye, wis iling?"

Sajujure aku lali, nanging mesthi ora patut yen aku kanthi blaka-suta kandha mangkono ing ngarepe. "Wah, tambah gagah saiki..."

"Awakmu ya awet enom," walese. "Dak kira biyen kowe tenanan karo Rini. Eh jebul malah ucul tekan dhusun kesasar ing kutha iki..."

"Lha awakmu kok ya nganti tekan kene iki ya kepriye critane?"

Rindhang malah ngguyu kaya mamerke untune sing putih, kosok-baline karo pakulitane.

Ing meja wis pepak isine. Rindhang nyumanggakne, kandhane, "Ayo, ora usah isin. Kabeh wis dak bayar kok. Anggep wae iki aku ngurmat kanca lawas sing seprapat abad ra ketemu.."

Sinambi ngono, Rindhang takon-takon keluargaku; anak bojoku. Dak jawab sa anane. Dak tutupi saperlune. Lha iya ta? Kanca ya kanca. Iku selawe taun kepungkur. Saiki aku ora weruh sapa sejatine dheweke.

"Aku ya ngene iki. Penggaweanku ya uyar-uyur ngene iki," kandhane.

"Mung uyar-uyur kok mobilmu apik", sangkalku. "Ra mungkinlah.."

"Sawuse metu sekolah kae," sawuse nyumet udut, Rindhang kandha, "aku mrana-mrene. Nang Kalimantan rong taun, nang Papua pitung taun. Nalika aku bali nyang ndesa, kowe wis ra ana. Jare kanca-kanca, kowe neruske sekolah nyang kutha."

Aku ngrungokake wae.

"Njur aku kerja melu Pak Gelam."

Pak Gelam? Wah, jaman nang ndesa biyen, sapa sing ora wedi marang wong lanang gedhe-dhuwur kanthi brengos njlaprang, lengene nganggo gelang oyot mbuh wit apa, menyang ngendi wae tansah nganggo klambi ireng lan udheng abang. Rindhang kerja melu Pak Gelam? Padhahal Pak Gelam iku raja begal.

Minggu, 30 November 2014

Slamet dan Saimin

KALAU engkau masih ingat, aku telah pernah menceritakan kepadamu tentang Slamet. Penghuni pasar di kampung kami, yang pada saat-saat tertentu ia akan melabur seluruh tubuhnya dengan parutan ketela pohon, sehingga setelah pati parutan ketela itu mengering, ia laksana Hanoman; putih seluruh kulit tubuhnya yang hanya pada bagian alat kelaminnya saja yang dibungkus cawat yang ia bikin dari sobekan kain sarung.

Slamet, menurut para orang tua, dulunya adalah santri sebuah pondok disini. Ia berasal dari Blitar. Tapi ya itu, masih menurut sumber yang tentu tak bisa dikonfirmasi kesahihannya, dari awal datang mondok ia memang 'kurang seratus'. Menurut orang-orang ia memang kurang 'penuh'. Dan ia kemudian keluar dari pondok lalu menjadi penghuni pasar karena, ketika putri sang kiai yang cantik jelita, yang diam-diam ia jatuh cintai setengah mati, dinikahkan dengan seorang lelaki anak kiai Bangsalsari.

Jumat, 10 Januari 2014

G e r i m i s



SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan meggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.

Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.

Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya.

Minggu, 19 Mei 2013

Anak Bidadari


SEPERTI saran seorang teman, sebisa mungkin aku menghindari untuk mengawali cerita ini dengan menyebut matahari atau langit. Tetapi karena ia, temanku itu, selalu bilang bahwa ibunya adalah seorang bidadari, mau tidak mau aku harus menyebut langit sebagai asal dari ibunya. Bidadari, seperti pernah kubaca pada buku-buku dongeng yang aku pinjam di perpustakaan saat SD dulu, bertempat tinggal di khayangan.

Salah satu kisah yang samar-samar aku ingat adalah ketika para bidadari turun ke bumi untuk mandi di sebuah sendang, ada seorang pemuda yang diam-diam mencuri selendang milik salah satu  bidadari. Dan, saat yang lain segera terbang pulang ke khayangan sehabis mandi, satu di antara bidadari itu, kalau tidak salah namanya Nawangwulan, tidak bisa terbang karena selendangnya hilang. Pencuri selendang itu, yang kemudian menjadi suami dari bidadari itu, Joko Tarub namanya. Tetapi, temanku itu bukan anak Joko Tarub.
Ayahnya bernama Gelam. Seorang tukang judi yang sekarang sudah mendiang.

Sama seperti engkau, mula-mula aku menganggap temanku itu, ohya namanya Rindang, adalah sedang mengigau ketika selalu menyebut kalau ibunya adalah bidadari. Itu adalah sebuah pernyataan yang menjengkelkan. Sama menjengkelkan ketika engkau mempunyai teman yang kemana pun ia berada selalu memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung; ngupil. Atau teman lain yang selalu (walau tidak sedang pilek) menarik napas sampai berbunyi ‘ngok’ di hidungnya, lalu memaksa --dengan suara yang tak kalah menjijikkan-- entah ingus entah dahak, untuk segera meloncat dari tenggorokannya. Dan, cuh!, ia meludahkannya secara cuek tidak jauh dari tempatnya berada.

“Ibuku bidadari, ayahku tukang judi,” itu yang ia ucap kala pertama kali aku bertanya tentang orangtuanya.

Senin, 23 Juli 2012

P u l u n g

DENGAN hidung remuk dan gigi depan yang tanggal tiga, jangankan sedang meremehkan, sedang tertawa tulus pun ia akan nampak meremehkan. Belum lagi suara yang keluar dari mulutnya. Itu, kalau kau belum paham benar, akan terdengar sebagai siulan saja. Tetapi ketenarannya tiada tanding, tiada banding. Tanyakan orang sini, mulai dari ujung barat sana, jauh sampai ke selatan terminal nun di sana itu, setiap tangan akan menunjuk tepat bila engkau bertanya dimana Pulung tinggal.

Dulu, ia tidak seremuk itu wajahnya. Bayinya sungguh tidak mirip dengan bapak atau ibunya. Malah ia mirip sekali dengan Pak Subali. Pendek, sekaligus hitam. Tak ada yang tahu kenapa. Tiada pula yang mempersoalkannya. Justru, sejak saat itulah orang sekampung menyebutkan sebagai pulung. Sebuah nama yang lalu disematkan pula secara resmi oleh kedua orang tuanya.

Malam itu, Pulung masih dalam kandungan ketika besoknya pemilihan kepala desa dilangsungkan. Kau tahu, acara pemilihan kepala desa begitu, kehebohannya jauh mengalahkan riuh-rendahnya pemilihan presiden sekalipun. Rumah ibu Pulung yang berbatas tembok dengan balai desa, terasa panas entah oleh apa. Belum lagi suara-suara yang berseliweran di atas genting. “Kamu jangan keluar rumah. Kasihan bayi kita,” ayahnya mengelus perut yang di dalamnya Pulung sedang tertidur tenang.

Kamis, 07 Juni 2012

Bunga Ultah untuk Ibu

TENTANG ayah yang meninggalkan ibu sejak aku masih kecil karena terjerat cinta wanita lain, itu pun aku dengar dari orang lain. Tetapi, ketika dengan sebuah keberanian yang sekian lama kukumpulkan untuk menyuguhkan pertanyaan itu langsung kepada ibu, yang kudapati tetaplah ibu yang hanya menggeleng. Ia, sungguh tak ingin membagikan kisah sedih itu kepada siapapun, termasuk kepadaku, anak satu-satunya. Ia, sepertinya, tak ingin mengajariku membenci seseorang atau sesuatu yang mungkin ia benci. Ia ingin menikmatinya sendiri. Sampai kini.

Sejak kecil hidup berdua saja dengan ibu, menjadikan aku tahu lebih banyak tentang ibu dibanding siapa pun. Tentang malam-malam sampai aku tak tahan diserang kantuk, misalnya, kulihat ibu tetap menjahit. Satu-satunya sumber biaya hidup kami, ya dari mesin jahit itu. Dari mesin jahit tua berwarna hitam itu ibu membiayai sekolahku, dan dari mesin jahit itu pula, aku kira, ibu menjahit luka hatinya.

Senin, 21 Mei 2012

Sisi Lain

*) catatan: cerpen ini dimuat harian Radar Surabaya edisi Minggu, 20 Mei 2012.

(1)

 “SEMOGA  ini bukan menjadi lebaran terakhir. Semoga semua sehat, aku sehat, anak-anakmu juga sehat...,” itu pesan ibu ketika aku, suami dan kedua anakku pamit pulang selepas mengunjunginya lebaran tahun kemarin. Selalu begitu. Saban lebaran.
     Kuhitung, telah dua belas lebaran. Sejak aku tinggal tidak bersama ibu. Sejak mengikuti mas Dewo. Dua belas tahun. Dan terasa baru kemarin saja. Padahal Ika sudah besar. Seusia perkawinanku . Dan Dwika, dua tahun selisihnya dengan Ika. Mereka, anak-anakku itu, harta yang ternilai. Tentu itu, bagi siapapun ibu.
Apalagi aku bagi ibu. Karena aku hanya anak satu-satunya.
     Mas Dewo, lelaki itu yang mampu memisahkan aku dengan ibu. Duabelas tahun lalu. Setamatku dari SMA. Dan aku tahu, ibu amat terpaksa melepasku. Karena tanpa aku, ibu hanya akan berdua saja dirumah besar itu. Berdua dengan bapak. Dirumah joglo peninggalan eyangku.
     Malam itu, dua belas tahun lalu, bapak nyaris saja menamparku. Menampar anak semata wayangnya ini. Untung ada ibu. Yang rela menyerahkan dirinya untuk ditampar bapak, daripada diriku. Dan bapak malah duduk. Menangis. Lelaki itu menangis, ya menangis. Sesuatu yang belum pernah aku lihat sebelumnya.
     “Kamu tahu, nduk. Bapakmu terluka. Amat terluka hatinya,” kata ibu.
     Aku menangis. Bahkan ini sebagai lanjutan dari tangisku sebelum bapak menangis tadi. Tangis yang entah maknanya apa. Tapi, sambil menangis itu, sebenarnya aku sedang menunggu. Menunggu tindakan bapak selanjutnya. Meneruskan ingin menamparku, dan itu tidak akan kuhindari kalau terjadi. Atau malah menyuruhku seperti yang dikehendaki mas Dewo; aborsi.

Kamis, 17 Mei 2012

Kekasih Asih

SATU per satu ribuan buruh pabrik itu keluar dari mulut pintu gerbang yang dijaga tiga satpam. Kalau engkau sore itu ikut berdiri didekat situ, pastilah hidungmu mendapati aroma yang sama di antara mereka. Atau aroma itu sudah sedemikian akrab dengan inderamu.  Atau bahkan engkau saat ini sedang menikmati hasil lintingan tangan-tangan mereka. Ya, mereka itu, para buruh pabrik rokok itu, yang  kalaulah kukatakan dalam sahari setiap pasang tangan itu menghasilkan tiga ribu batang rokok, engkau pasti tidak begitu saja memercayainya. Sudahlah, dalam hidup ini kadang ada hal-hal yang dianggap gila. Segila pendapatmu yang meyakini kalau engkau sedang sakit batuk, untuk sembuh engkau harus menghisap rokok merek tertentu. Gila. Sungguh gila. Bagaimana bisa seperti itu. Tetapi kegilaan tentu lebih dari itu. Karena itu baru satu. Bayangkan, dengan ekpansi yang nyaris menyentuh setiap kawasan, engkau akan dapat dengan mudah mendapati pabrik rokok itu membuka tempat produksi di --bahkan mungkin-- kotamu. Dengarlah, selain di Rungkut ini, ia ada di Yogya, Cirebon, Malang, belakangan ia sedang membangun di Probolinggo.

Bisnis rokok adalah memang bisnis gila. Segila engkau yang tahu bahwa benda itu tidak menyehatkan tetapi engkau bahkan kadang lebih memilihnya daripada sepiring nasi. Ia memberi pendapatan yang lumayan gila untuk negara, tetapi juga harus tahu, uang itu didapat dari pembeli, rakyat-rakyat miskin negeri ini. Tetapi, mana peduli.  Dan Asih pun setali tiga uang. Sebagai perempuan single parent ia tentu butuh uang. Untuk biaya sekolah anaknya, juga untuk menghidupi ibu yang ia titipi anaknya itu di desa sana. Dan, dengan tiga ribu batang rokok yang ia linting sehari, dalam seminggu ia mengantongi upah enam ratus ribu. Upah yang tentu besar bila dibanding buruh pabrik-pabrik lain. Atau bahkan yang didapat para penjaga stand mall yang berdandan aduhai itu. Begitulah, semakin pekerjaan itu menyengsarakan orang banyak, engkau akan mendapat upah lebih banyak.

Senin, 30 April 2012

Teman Facebook

LILY memegang gelas kosong menuju depan ruang IT yang di sudut depan pintunya terletak dispenser. Sambil berjalan ke situ ia melirik lelaki yang kemayu itu. Kau tahu, dia sangat benci melihat perempuan yang kemayu. Lebih-lebih yang kemayu itu adalah lelaki. Ia, kalau melihat Ivan Gunawan atau siapa pun lelaki yang tampil layaknya perempuan atau malah cenderung lebih perempuan ketimbang perempuan yang sesungguhnya tampil di televisi, ingin melemparnya memakai remote control yang sedang dipegangnya. Tetapi, sungguh, Lily kadang gampang sekali berubah pikiran. Dan ia hanya kemudian mematikan televisinya. Masuk kamar, menyalakan komputer. Online. Main twitter atau Facebook-an. Itu kebiasaan baru, karena dulu, dulu sekali, ia lebih akrab dengan kertas, sebenarnya. Membuat catatan tentang apa saja. Di buku hariannya. Kini tidak lagi. Tetapi kebenciannya kepada seorang yang kemayu, memang sejak dulu ia pelihara.

Kembali dari mengambil air minum di depan ruang IT, mendapati lelaki kemayu itu, Yossy namanya, memperhatikan kuku-kukunya. Dengan lagak yang enggan sekali Lily menatapnya. Tetapi, sebagai teman sekantor, satu ruang tepatnya, tak mungkinlah ia meludah di depannya. Ia hanya tersenyum. Senyum yang dipaksa. Lalu lelaki kemayu itu pun terseyum. Sambil menarik pintu laci meja kerjanya. Di situ, sepintas Lily melihat isinya. Persis laci seorang penata rias. Ada bedak dan sebangsanya.

Pernah ia dengar tentang susuk. Sebagai pengasih. Agar orang memeperhatikan lebih. Tentu kau pernah juga mendengarnya. Untuk apa?

Jumat, 13 April 2012

Panggilan dari Bulan


WULANDARI  tidak yakin malam ini akan lebih baik dari kemarin. Ketika tak seorangpun tertarik untuk mengajaknya tidur. Sambil berdiri, sesekali pindah tempat, kakinya mengatakan yang ada dalam hatinya. Kaki itu, sesekali mempermainkan botol miras kosong yang tergeletak di tanah, di pinggir jalan tempatnya mangkal. Di makam China, tempat lain biasa ia menunggu tamu, pun begitu. Ia hanya seperti nisan yang tak menarik untuk disentuh. Ia, dalam hatinya, menyetarakan dirinya sedang sebagai daun yang sudah kering. Yang lebih dari layu.

Langit bersih sedang memamerkan bulan. Dan Wulandari menjadi ingat dongeng yang dulu pernah disampaikan neneknya. Lihatlah, bila bulan sedang purnama begitu, ada jelas terlihat seorang perempuan bersama kucingnya di sana. Duduk bersimpuh. Seperti sedang menunggu. Tetap saja. Yang ditunggu tak kunjung datang. Datang, tetapi lebih tertarik pada orang baru yang jauh lebih muda dari Wulandari. Perempuan-prempuan baru itu, pindahan dari tempat-tempat yang ditutup paksa itu, seperti laron yang terbang dipinggir-pinggir jalan seusai hujan. Dan Wulandari sadar, ia lebih tua dari mereka. Sampai embun datang, sampai mulutnya tak minat merokok lagi, karena keringat dingin itu pertanda ia masuk angin, tak satupun lelaki mendekatinya.

“Sri, aku pulang dulu.”

“Lho, kenapa, mbakyu?” temannya itu terlihat masih mampu bersaing dengan oarang-orang baru. Entah sampai berapa minggu saja.

Wulandari mengelap keringat dingin di keningnya. Mual perutnya. Tak dapat dibohongi sudah. Tubuhnya tidak sekuat dulu. Semalaman berbaju agak terbuka tidak apa-apa. Sekarang, gampang sekali angin masuk ketubuhnya. Seharusnya, diusianya yang sudah berkepala empat ini, ia naik pangkat. Menjadi ‘mami’, misalnya. Atau pulang ke kampung menjadi penjahit. Atau, paling tidak membuka ‘warung pangku’ di pingir-pinggir kota pinggiran.

Kemarin itu, setibanya ia di rumah kostnya, muntah-muntah ia. Masuk angin yang akut. Seluruh tubuh dibasahi minyak kayu putih, tidak juga pulih. Baru baikan ketika paginya Sri dengan suka rela membuat garis-garis merah menggunakan uang logam dan minyak tawon di punggung dan lehernya.

“Kalau belum sehat benar, mbok ya jangan keluar,” sambil mengerok punggung Sri berujar.

“Terus aku mau makan apa?”

Sampeyan itu sudah tak anggap mbakyuku sendiri,” Sri mengusapkan minyak tawon lalu menyusulnya dengan menggarukkan uang logam itu pada bagian bawah garis yang sudah memerah. “Kalau hanya soal makan, tak tanggung, mbakyu. Kalau sabar, pasti ada saja rejeki untuk kita. Semalam, sepulang sampeyan itu, aku dapat tamu. Dua kali. Lak lumayan to?’

“Tapi kamu kan punya tanggungan. Katanya anakmu mau rekreasi ke Bali usai lulusan.”

Wis to, mbakyu. Sampeyan gak usah ikut mikir. Itu sudah tak siapkan,” Sri menutup botol minyak tawon dan menaruh uang logam di dekat pesawat televisi. “Sudah, istirahat dulu. Nanti sehabis sarapan jangan lupa minum obat. Aku mau tidur.”

Sri menuju kamar sebelah. Dan Wulandari mengenakan lagi daster warna merahnya. Ia berdiri, kemudian menggelengkan kepalanya sedemikian rupa, kekiri, juga kekanan. Suara ‘krutuk’ di lehernya membuatnya merasa lebih baikan. Ia keluar kamar. Rumah kostnya ini memang langsung berhadapan dengan jalan, sekalipun hanya selebar ukuran becak atau gerobak tukang sampah. Dan, kadang, jauh didalam hatinya, lama sudah ia merasa sebagai sampah. Sendiri. Tidak seperti Sri. Yang punya anak, sekali pun tiada bersuami. Sedangkan Wulandari? Tak tahu ia harus ngenger* pada siapa di hari tua nanti.

**oOo**

SELAIN tentang perempuan dan kucing di bulan sana, nenek pernah bercerita tentang hari lahirnya. Ia lahir tepat ketika bulan purnama begini. Makanya ia kemudian dinamakan Wulandari. Ibunya, lamat-lamat masih ia ingat wajahnya, cantik sekali. Sayang sekali Wulandari hanya merasakan belaiannya sebatas usia sebelas. Karena keburu maut menjemput. Namanya Lintang. Ayahnya? Tentang ini nenek tak pernah cerita. “Ayahmu adalah malam...” kata nenek, selalu.

Malam sedang bersahabat. Cerah sekali. Dan bulan sedang purnama.

Sesekali angin bergerak pelan. Menebarkan gairah. Juga menyusup ke baju Wulandari yang agak tertutup kali ini. Malu ia memakai yang agak terbuka, takut garis garis bekas kerokannya makin tidak memungkinkan ia ada yang mendekati. Tetapi aroma itu, bau minyak angin di tubuhnya itu, tentu bukan lawan yang sebanding dengan orang-orang baru dengan bau yang mengundang selera. Lelaki menjalankan motor pelan-pelan selalu menjahuinya. Asap kenalpot itu terasa makin menyesakkan dadanya. Dan ini kenyataan. Saat  yang selama ini ia perkirakan ternyata datang lebih awal. 

Satu lagi, perkiraannya juga keliru.Dan Sri yang benar; “Mbakyu, hidup itu tidak usah ngoyo. Kalau sedang tidak enak badan ya istirahat dulu. Nanti kalau masuk angin lagi, sudah tak bisa sembuh kalau hanya dikeroki...” nasihat Sri tadi sebelum berangkat.

Tetapi kebutuhan hidup tidak bisa menunggu. Itu yang membuat Wulandari nekat ikut berangkat. Ia sedang butuh uang. Bulan depan, hari Rabu Pahing, waktunya menggelar selamatan seribu hari meninggalnya nenek. Dan ia tak mungkin mengharapkan bantuan Sri.

Tetapi mual itu, keringat dingin itu, menandakan ia masuk angin lagi. “Mbakyu, kalau sampeyan masih mengangap aku ini adikmu, tak bilangi ya. Sampeyan pulang dulu. Jangan mikir kerja dulu. Nanti kalau sudah sehat, baru....”

Sesachet Tolak Angin telah ia cecap habis. Ia berharap hangat itu tidak sekadar terasa di tenggorokan, tetapi ke seluruh nadinya. 

Lepas tengah malam ini jalan menuju rumah kostnya telah sepi. Ia pulang berjalan kaki saja. Beberapa hari tiada pemasukan, ia merasa tidak perlu naik taksi. Toh jarak dari sini kerumah tak terlalu jauh.
Membuka pintu pagar besi yang sudah mulai keropos di sana-sini, suara engsel kering yang berderit itu, seperti menyilet malam yang kedinginan. Lampu remang di teras, cat pintu dan jendela yang kusam, juga bunga-bunga yang sedang tidur nyenyak. Wulandari membuka tas dan mengeluarkan anak kunci. Seekor kucing putih bersih tidur di atas keset, didepan pintu. Dengan daun pintu yang membuka keluar, Wulandari tak ingin membangunkan nyenyak tidur kucing itu. Tetapi, hei... lihatlah. Kucing itu terjaga dan bangun mendekati kaki Wulandari. Menggosok-nggosokkan kepalanya kesitu.

Wulandari menoleh kekiri-kekanan mencari cari ingatan. Dan ia temukan. Bahwa tidak ada tetangganya yang memelihara kucing putih begini. Lalu ini kucing siapa? Ataukah ini dibuang orang? Tidak, hanya orang gila yang membuang seekor kucing secantik ini.

Digendongnya kucing itu masuk ke rumah. Diajaknya kemudian ke dapur. Diberinya ia makan. Entahlah, senang sekali hati Wulandari mendapati kucing itu lahap menyantap makanan yang ia hidangkan. Saat itu, lupa sudah ia akan masuk anginnya. Ia tiada henti memandangi putih bulu-bulunya. Matanya yang teduh, yang seolah sedang menyimpan rahasia. Ataukah ia adalah bidadari yang mengembara** dan sedang menjelma menjadi seekor kucing. Tetapi untuk apa dan dalam misi apa?

Selesai makan, kucing itu berterima kasih lewat gerakan ekornya. Kemudian berjalan ke ruang depan. Wulandari mengikutinya. Tepat sebelum pintu, kucing itu berhenti dan menoleh kebelakang. Wulandari tersenyum. Ia tahu, kucing itu tidak bisa memutar anak kunci untuk membuka daun pintu. Tetapi, setelah pintu itu dibuka pun, kucing itu tetap memandang Wulandari lewat tatapan mata yang masih penuh rahasia.
Sambil dengan tersenyum Wulandari meraih dan menggendongnya. “Kenapa? Kau lupa jalan pulang? Atau kau ingin menginap di sini beberapa malam?”

Kucing putih itu mengendus-endus dadanya seperti para lelaki tamu-tamunya dulu. Tapi sebentar saja si putih itu berlaku begitu. Lalu minta rutun. Berjalan pelan ke depan rumah yang langsung adalah jalan selebar tubuh becak. Disitu  ia kembali menoleh ke arah Wulandari. Kemudian mendongak ke atas. Wulandari yang tetap mematung di teras kurang mengerti apa maunya. Tetapi mau tak mau ia mendekati lagi kucing itu. Menggendongnya lagi.”Katakanlah, apa maumu?”

Kucing itu menatap keatas seakan mengajak Wulandari turut memandangnya. Bulan. Ya, kucing putih itu ingin Wulandari menatap bulan. Yang sedang melingkar bundar. Saat-saat begitu, selalu saja Wulandari ingat neneknya. Ingat dongeng yang diceritakan di halaman depan sambil tiduran di dipan bambu, dipangkuan nenek. Tentang perempuan dan seekor kucing penunggu bulan. Perempuan yang selalu duduk bersimpuh.

Malam ini bulan sedang purnama dengan sempurna. Makanya, ia dapat melihat dan menerbangkan angannya dengan sepenuh jiwa. Tetapi, aneh. Wulandari mendapati perempuan penunggu bulan itu sedang gelisah, sedang menunggu. Dan, hei... Ia sedang sendiri sekarang. Kemana kucingnya?

Wulandari menatap kucing putih di gendongannya, “Katakan padaku, apakah perempuan penunggu bulan itu yang  memintamu datang kesini untuk menjemputku?” *****

Surabaya, 13 April 2012.

**Bidadari yang mengembara: judul cerpen AS. Laksana.
*ngenger: numpang hidup.





Kamis, 12 April 2012

Ida Ayu Komang

YANG montok itu namanya Ketut,” sambil mengunyah pisang goreng Aksan berkata.

Pagi yang biasa, sebenarnya. Seperti pagi-pagi yang kemarin. Tetapi sejak tiga hari yang lalu, setibanya beberapa perempuan Bali, suasana pagi menjadi agak tidak biasa. Tidak hanya disini, dijalan yang biasanya para pekarja proyek mangkal sejenak sebelum naik ke atas. Melalui satu-satunya lift yang boleh dipakai pekerja.

Maka, aneka aroma kuli batu itu mau tak mau masuk juga ke hidung. Tukang cat yang tahan banting untuk tidak ganti baju kerja dalam beberapa hari. Tetapi ada untungnya memang. Ketika rombongan mereka mendekat pintu lift, sebagian yang telah antre duluan pilih minggir saja lagi. Tidak kuat menahan aromanya.

Lokasi depan lift yang selalu gaduh, makin gaduh oleh para jegek Bali itu. Yang sengaja didatangkan oleh kontraktor untuk mengerjakan ornamen dinding ruang spa dan jacuzi di proyek hotel ini. Ini Surabaya, dan beda sekali dengan di Bali yang sudah hal lumrah mendapati wanita tangguh yang bekerja keras di proyek-proyek, sementara para suami memikul bambu panjang tempat beberapa ayam dalam beberapa kurungan mengantung dibawa ke tempat bersabung.

Sekitar delapan perempuan Bali ikut antre. Dalam kepulan asap rokok yang berhembus dari sekian banyak mulut laki-laki. Mulut yang kadang lebih usil lagi. Bersuit-suit. Tak tahan rupanya mulut-mulut itu untuk tidak melakukannya. Ketika sekian lama diproyek ini belum sekalipun antre lift dengan perempuan. Ada memang perempuan yang seminggu sekali naik ke lift ini. Tetapi mana berani menyuiti Bu Melinda, perempuan pemilik proyek ini. Namun perempuan Bali itu, dianggapnya bisa diajak berkawan. Tidak, lihatlah. Bukan begitu caranya mengajak kenalan sebagai kawan. Bukan dengan lempar kerikil sembunyi tangan. Kau tahu, perempuan manapun akan tidak senang dibegitukan. Ia akan lebih menghargaimu bila engkau turut menghargainya. Bukan malah kau gembirai kejengkelan perempuan-perempuan yang sedang menyingkirkan kerikul-kerikil itu dari rambutnya.

Rindang juga laki-laki. Juga kuli. Tetapi ia tidak senorak mereka..

Senin, 26 Maret 2012

K a s m i r a h


-->
-->
Dimuat Radar Surabaya, Minggu 15 April 2012.
PEREMPUAN itu tampak bersih untuk ukuran orang yang dianggap tidak waras. Ia selalu mandi dua kali sehari. Pagi tadi, ketika orang-orang berangkat hendak belanja ke pasar, masih melihatnya mencuci baju di sungai, setelah ia mandi rupanya. Dan siang ini, seperti siang-siang yang lalu, ia pergi ke pasar ini. Sepekan sekali orang sini melihatnya. Setiap Senin. Karena kalau Jum'at ia ke Menampu, Kamis ke Mojosari, Rabu ke Reboan, Minggu ke Kasiyan Wetan. Kecuali Selasa. Selasa ia tidak ke pasar Grenden. Ia di rumah saja.

Pasar Senin ini termasuk ramai. Pak Untung si penjual jamu tampak masih kalah muda dibanding istrinya yang masih tampak bahenol. Dan, seperti orang-orang yang berkunjung ke pasar, Pak Otor si penjual kopiah yang tampak alim pun sempat punya pikiran kotor bila melihat kemontokan Bu Untung


Di dekat Pak Untung itulah, di bagian luar pasar yang berupa tanah lapang dengan beberapa pohon waru ditanam sebagai peneduh, Kasmirah menggelar dagangannnya. Paling tidak itu perkiaan orang. Karena perempuan itu seperti sedang menarik tali dari ujung sini dikaitkan ke pohon waru sana. Selalu begitu. Tanpa suara, tanpa berkata-kata. Padahal, semua orang yakin, si Kasmirah ini tidaklah tuna wicara. Ia bergerak seperti sedang menggelar tikar untuk tempat ia menata jualannya. Juga, seakan menyampir-nyampirkan helai-helai kain. Gerakannya itu seperti pantomim saja. Melipat-lipat, menggapai-nggapai orang yang lewat dilakukannya sambil tetap tak bersuara.

Siapa sebenarnya Kasmirah, tidak ada orang yang tahu pasti. Tetapi ada satu cerita yang diyakini kebenarannya oleh nyaris semua orang. Menurut keyakinan itu, begini ceritanya; ia adalah cucu dari Mbah Suro, seorang pedagang kain keliling dari pasar ke pasar. Kasmirah itu diasuh oleh Mbah Suro sejak bayi. Sebab kedua orang tuanya meninggal karena pagebluk.

Selasa, 28 Februari 2012

Cinta Murni


HARI Minggu pagi yang gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, membuat Murni berkali-kali mondar-mandir keluar masuk rumah. Teras yang tak seberapa luas, dengan beberapa bunga berjajar dipot-pot mungil. Daun-daun bunga itu, kalau kau tahu, mendesis ia. Kedinginan. Karena ujung genting teras rumah yang dihalaman depan rimbun daun pohon manggga dan pohon kelapa gading kuning, meneteskan air yang sesekali nakal mencolek bahunya. Lampu gantung mungil yang telah ia padamkan tiga jam lalu, kadang bergoyang ditiup angin. Menggeleng. Sementara Murni belum juga mampu menggulung rasa yang hinggap di dada. Ia memang belum lupa akan kalimat ‘merpati tak pernah ingkar janji’. Tetapi ia memang hanya berharap bukan akan terhadap janji. Hei, bukankah seorang tukang koran mengantar koran pagi di pagi hari tak perlu mengucap janji? Karena itu sebuah keniscayaan. Tempo hari mbak Pipit, redaktur kenalannya di koran itu, mengabarinya lewat SMS kalau tulisannya dimuat hari ini. Bagi Murni, membaca tulisannya dimuat merupakan kenikmatan tersendiri. Dan Anton, nama tukang koran itu, tentu tak tahu. Namun, tahukah ia bila sesekali Murni menatapnya melebihi tatapan pelanggan kepada lopernya?

Setahun yang lalu, gerimis-gerimis begini seorang lelaki datang pagi-pagi kerumahnya. Lelaki itu membawa koran yang ditumpuk disela antara jok dan kemudi motornya. Lelaki yang tak biasa. Agak kurus, dengan rambut lurus. Mata yang dilapisi kacamata. Bermantel biru bergambar burung pinguin di punggungnya. Murni, waktu itu, berdiri diiteras seperti pagi sebelumnya ia menunggu pak Joko, tukang koran langganannya.

Saya Anton. Bapak sakit,” lelaki itu menyodorkan koran. Itu pertama kali Murni mengenal sang loper korannya.

Sejak itu, seringkali ia menggantikan bapaknya mengantar koran. Semakin lama- semakin sering saja. Sampai kemudian pak Joko menyerahkan semuanya kepada Anton. Lelaki berkacamata itu begitu dingin. Paling tidak, tak seramah bapaknya. Bahkan, jarang sekali Murni melihatnya tersenyum. Jangankan berbicara basa-basa tentang ini-itu. Tak pula pernah bercerita tentang kesehatan bapaknya. Pak Joko memang sudah terlalu tua menjadi pengantar koran. Tapi Murni tahu, tubuh tua itu takkan berhenti bila tidak benar-benar tidak kuat. Murni jadi ingat bapaknya. Sudah mendiang beliau. Tiga tahun sebelum ibunya. Bapak, lelaki pensiunan guru Agama itu, tak pernah mau berhenti. Selalu saja ada yang dikerjakannya. Pohon mangga dan gading kuning itu, yang rimbun daunnya tampak mengigil digoda gerimis pagi itu, adalah selalu mengingatkan sebaris kalimat ketika bapak menamannya dulu,” Mungkin aku tak akan sempat meikmati buahnya, tetapi aku ingin cucuku, anak-anakmu, kau ceritakan bahwa pohon ini kakeknya yang menanam...”
Ingatan itu masih sering merambat dalam hati Murni. Seperti binatang melata yang sekalipun tidak berbisa, membuat Murni merasakan sesuatu yang aneh bila dihinggapinya.

Maaf, agak kesiangan. Motor saya sedang ngambek, gampang mogok.”

Lima bulan lalu Anton berkata. Murni, tak tahu kenapa, seperti telah ketularan sikap Anton. Tentu kalau menghadapi Anton. Karena semua orang kampung sini tahu, Murni mewarisi sikap grapayak-semanak ibunya. Tetapi, pikir Murni, ia tak bisa menerapkan keramahan itu kepada Anton. Si lelaki berkacamata yang dingin itu. Sekadar mengucap terima kasih tanpa ekspresi yang lebih berarti adalah ritual rutin bila ia menerima koran dari Anton. Dan seperti ritual yang membosankan pula Anton langsung menuju motornya yang diletakkan dibawah pohon mangga, lalu melanjutkan mengantar koran ke pelanggan lainnya. Tetapi hari itu Murni melihat tubuh motor Anton berlumur lumpur. Ingat ia, dimulut gang sana ada pekerjaan perbaikan pipa PDAM yang bocor. Tanah bekas galiannya, dikanan-kiri seperti adonan bubur. Kemarin sore Murni sempat hampir terpeleset ketika bermotor disitu. Beberapa saat Anton masih dibawah pohon mangga. Setelah gagal beberapa kali menghidupkan motor pakai electric starter, ia pakai kick starter. Gagal juga. Motornya mogok lagi, rupanya. Padahal, Murni lihat, ada setumpuk koran yang masih harus dia antarkan.

Pakailah motor saya saja dulu. Kasihan pelanggan kalau harus menunggu,” menyesal juga Murni megucapkan kata-kata itu. Takut ditanggapi tidak semestinya oleh Anton.

Anton melihat jam tangannya. Lalu beralih melihat langit pagi yang mungkin saja sedang disalahkan; pagi-pagi mengucurkan gerimis. Lalu matanya beralih memelotoyi motornya, yang –lagi-lagi-- mendapat umpatan dalam hati, barangkali. Ya, itu semua dugaan Murni. Dugaan yang muncul melihat sikap Anton. Hei, dengar tidak? Ingin sekali Murni meneriaki lelaki itu dengan kalimat itu. Tetapi tidak jadi. Karena lelaki itu, dengan mata yang sukar diterjemahkan dengan kata-kata, menoleh kearah Murni.

Bu Guru nanti berangkat mengajar naik apa?”

Murti tertawa kecil. Bukan pada pertanyaan Anton barusan, tetapi cara dia memanggil. Bu Guru?

Seratus meter jarak rumah ini ke madrasah tentu saja saya hanya butuh payung digerimis begini. Bukan motor,” kata Murni.

Tapi saya akan agak siang menyeselaikan mengirim koran-koran ini.”

Beberapa hari ini angin memang sedikit tidak seperti biasanya. Ia berhembus lebih kencang. Di televisi sering dikabarkan sampai merobohkan rumah atau sekolah. Tetapi angin pagi itu, hanya semilir saja. Itupun aneh. Pagi-pagi ada angin? Atau angin itu hanya ingin mengibarkan ujung coklat muda jilbab Murni. Entahlah.

Ya sejak itu, sejak Anton meminjam motor matiknya, mereka tidak hanya bertegur sapa sekaku dulu. Setidaknya ada senyum yang menyertainya. Tetapi, seperti kepada setiap senyum laki-laki, Murni sudah kehilangan keberanian untuk berharap lebih. Lebih-lebih, si Anton itu secara usia masih dibawahnya. Ia, dengan usia nyaris tigapuluh tujuh, bukan lagi pantas berharap tentang sesuatu yang indah dibalik senyum Anton.

Senyum itu, menjadikan sebuah hubungan terasa lebih dekat. Tetapi, ketika ia sedikit dekat saja dengan seorang laki-laki, hatinya kembali teringat ancaman Seno. Anak juragan sapi yang dulu pernah menaksirnya. Anak orang terkaya dikampung. Ketika itu keluarga Murni belum pindah kesini. Tetapi dengan tabiat yang seurakan itu, tentu Murni tak kuasa menerimanya. Berkali-kali Seno mengucap cinta, berulang kali pula Murni meminta waktu untuk mempertimbangkannya. Ini sebagai siasat semata, tentu saja. Karena untuk langsung menolaknya, Murni merasa terlalu akan menyakitkan. Padahal hatinya tidak ingin menyakiti hati siapapun. Termasuk hati Seno. Itu memang masa lalu. Dan masa lalu itu membuat kadang-kadang Murni mengakui kesalahannya. Gara-gara, karena terus didesak untuk memberi kepastian, ia berterus terang tidak bisa menerima cintanya, membuat Seno berang. Dan tersinggung. Ketersinggungan itu diucapkannya lewat sebuah kalimat, “sampai kapanpun, kalau ada laki-laki yang akan jatuh cinta kepadamu, jangan sebut aku Seno.” Ingin menangis rasanya Murni mendengar kata-kata itu. Ketika itu bukan takut yang ia rasa. Tetapi, ia merasa telah menyakiti seseorang. Sesuatu yang tak ia inginkan, dengan alasan apapun. Tentang ancaman itu, Murni yakin, Seno bukan penentu nasib seseorang.

Untunglah, kemudian Bapak dipindah tugaskan mengajar ke lain tempat yang lumayan jauh. Mereka pun pindah rumah ke yang ditempatinya sekarang ini. Dengan begitu Murni bisa tidak selalu ketemu Seno. Dengan begitu pula ia berharap bisa sedikit demi sedikit mengubur masa lalu.

Tetapi ketika setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, lima belas tahun... tidak juga ada seorang lekaki yang dekat dengannya, ia jadi ragu akan keyakinannya. Keragauan itu tercermin dari desah yang tanpa diketahui oleh siapapun. Termasuk oleh bapaknya, atau kemudian ibunya. Sampai keduanya meninggal pun tak pernah ia bercerita tentang Seno. Namun sekuat-kuatnya kuda berlari, pada saat tertentu ia akan berhenti juga. Murni sedang menunggu saat berhenti itu. Saat ketika perkataan Seno yang diucapkan dulu menemui ketidakbenarannya. Saat itu, Murni yakin ada langkah baru yang akan ditempuhnya. Sekalipun itu mendaki. Seperti menaiki anak tangga. Tapi kapan? Padahal seperti menaiki anak tangga, usianya pun selalu merambat naik.

Itulah kenapa ia berusaha memandang Anton tidak lebih dari sebuah pertemanan. Kalaulah itu memang harus ke jenjang lebih dekat, Murni membatasinya pada tingkat persahabatan saja. Dengan begitu, ia merasa main aman. Bukan seperti menebak permainan dadu. Dan sebulan, dua bulan, lima bulan, Murni melihat Anton lebih menyenangkan, lebih memperhatikan. “Cerpen Anda yang dimuat  kemarin di tabloid, saya curigai sebagai kisah nyata,” katanya suatu ketika. Dan senyum Murni, walau tak semanis gula adalah semacam pengiyaan atas tanya itu. “Cerita cinta memang tak ada habisnya,” lanjut Anton dengan senyum penuh arti dalam balutan semanis madu dimata Murni. Ya, cerita cinta memang tidak apa habisnya. Murni meyakini itu sambil merajut keyakinan lama, bahwa ancaman Seno suatu hari tidak terbukti.



USIA yang terbilang sudah tidak lagi muda, hidup dirumah sendiri. Aktifitas sehari-hari dijalani Murni sebagai seorang pengajar disebuah madrasah. Darah ayahnya sebagai guru rupanya menitis dalam aliran hidupnya. Kalau malam tiba, --ketika murid lesnya sudah pulang--, Murni membunuh rasa sepi dengan menulis. Dengan menulis cerpen-cerpen itu, Murni merasa tidak sendiri. Tidak kesepian. Dan ketika tulisannya dimuat media, ia merasakan hal yang hanya terkalahkan oleh rasa bahagia seorang ibu yang baru melahirkan anaknya. Ya, melahirkan cerita cinta dalam kemasan kata indah, melahirkan pula kembarannya; kepuasan yang tiada tara. Dan pagi ini, ia sedang bersiap , membaca tulisannya sendiri. Tetapi kenapa Anton, laki-laki berkacamata itu belum juga muncul. Mana gerimis masih belum bosan membasahi pagi lagi. Dan tetes air yang jatuh berantai pada daun-daun mangga didepan rumahnya, kalau didengar lebih seksama, serupa mantera yang asing. Atau itu hanya suara gigil daun yang tak kuasa menghindari guyuran gerimis.


HARI Minggu pagi yang gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, jam dinding berdenting delapan kali ketika Murni menyalakan laptopnya didalam kamar dengan jendela yang menghadap ke halaman depan dari sisi samping. Dari situ Murni bisa melihat rintik gerimis, bisa melihat pagar depan rumah, karenanya --seperti yang sudah-sudah--, ia bisa melihat Anton datang mengantar koran. Baru saja ia akan membuka edisi online koran itu, sebuah deru mesin motor yang sudah sangat ia kenal makin mendekat. Dan benar saja, Anton muncul. Dilihatnya, tumpukan koran yang biasanya diletakkan disela jok dan setang kemudinya telah habis terantar kerumah pelanggan. Disitu, ditempat  yang biasanya ditempati tumpukan koran, ada terselip sebungkus kado berlapis tas plastik. Bukan takut terkena debu tentu saja, karena debu di pagi yang gerimis ini telah menjelma menjadi benda lain. Sudahlah, tak perlu membahas debu, tak perlu pula membahas gerimis. Lihatlah, Murni menyambut Anton dengan pandang aneh. Belum pernah Anton mengirim koran pagi sesiang ini.

Maaf, agak siang. Sengaja,” katanya sambil melepas mantel dibibir teras. Sengaja, katanya. Aku ingin segera membaca cerpenku yang dimuat pagi ini sementara ia bilang sengaja datang mengantar koran agak siang, ada apa coba? Tetapi Murni buru-buru ingat, bisa saja Anton selepas subuh tadi tidur lagi. Pasti ia masih capek seharian kemarin sibuk sebagai remaja masjid yang sedang menggelar acara Mauludan. Dan malam tadi, Murni lihat Anton juga tampil sebagai MC.

Boleh saya duduk,” tanya Anton sambil menyerahkan koran, sebuah suara yang membuat Murni sadar dari lamunannya.

Murni terkesiap,” Oh, tentu saja,” sambil memegang koran Murni menyilakan.

Duduk diteras, pagi-pagi berhias gerimis, oh ada apa ini.

Hari ini saya ulang tahun. Ini ada hadiah untuk Bu Guru.”

Panggil saya Murni. Ya, Murni saja. Saya bukan guru Anda, kan?” Murni ingin menghangatkan pagi yang dingin. “Anda yang ulang tahun saya yang dapat hadiah, bagaimana ini?”

Bukan barang mahal. Tetapi saya lihat mm... Bu guru, eh mbak Murni, suka warna coklat. Semoga cocok.”

Boleh saya buka sekarang?”

Tentu saja.”

Oh, sebuah jilbab terlipat rapi dalam kardus mungil. Murni jadi ingat ibunya. Ya, ibunya yang pertama kali berhasil membuatnya menutupi mahkotanya, dari kelas dua SMA sampai sekarang. Dan, “Bercerminlah, engkau terlihat lebih cantik dengan jilbab coklat itu,” kata ibu kala itu. Ya jilbab coklat yang dibelikan ibu itu masih Murni simpan sampai sekarang. Kali ini, pagi ini, ia mendapatkan jilbab dengan warna nyaris sama. Apakah ini kebetulan?

Tunggu dulu, biasanya yang ulang tahun yang dapat kado. Ini kok aneh.” kata Murni. “Saya jadi malu, seharusnya saya yang ngasih hadiah. Tetapi mana tahu kalau hari ini Anda ulang tahun.”

Baiklah kalau begitu,” kata Anton. “Sampeyan  boleh memberi saya hadiah, tetapi bentuknya saya yang menentukan. Bagaimana?”

Murni tertawa kecil mendengar lanjutan kelucuan ini.” Memangnya Anda mau hadiah dalam bentuk apa?”

Hati yang murni.”

Murni tak ada alasan tidak untuk diam. Bukan saat yang tepat untuk tertawa. Lagian, sorot mata Anton mencerminkan ia tidak sedang melucu.

Bisa diulangi sekali lagi?” pinta Murni.

Sebuah cinta.”

Murni diam. Gerimis yang menjelma menjadi hujan suaranya kalah riuh dibanding gejolak hati yang gaduh. Yang kasat mata, beberapa saat suasana hening. Dua insan sedang membiarkan hujan menari-nari menghias pagi sesuka hati. Murni mendekap erat jilbab hadiah dari Anton. Saat berikutnya  ia tutupkan kain itu kewajahnya. Hangat terasa matanya. Kemudian, Murni merasakan air mata itu tak sanggup ia bendung.

Kenapa menangis?” Anton menatap penuh harap. “Jangan salah duga, sebagai laki-laki saya telah siap mendapat jawaban terburuk hari ini. Katakanlah, sepahit apapun kenyataan, akan saya telan.”

Murni mengeleng. Sebuah gelengan sebagai pencegah Anton menelan kepahitan.*****

Minggu, 22 Januari 2012

Yu Wage

SIDAL, begitu nama dusun tempat Yu Wage tinggal. Terpencil. Dan untuk menghirup dunia luar, kalau musim hujan begini, orang dusun ini harus menyeberangi sungai yang bisa-bisa sedalam dada. Padahal kalau lagi kemarau, batu-batu dasar sungai itu seperti berebut menampakkan diri. Dangkal saja. Sampai-sampai daun kluwih yang jatuh dan hanyut ke sungai itu, masih menyempatkan diri mampir, memeluk batu-batu itu. Sejenak. Untuk kemudian meneruskan laku  menuju ujung sungai sana. Jauh. Sejauh burung-burung terbang dipagi hari, untuk kemudian kembali ketika angin telah mengingatkan mereka agar segera pulang di sore hari.

Galih, anak lelaki Yu Wage, untuk berangkat dan pulang sekolah selalu melewati sungai itu. Agak memutar ke sisi timur dusun, dimana disitu ada batu besar berjajar agak saling berdekatan. Disitulah bapak-bapak membangun semacam jembatan. Tetapi jangan bayangkan ia adalah jembatan besar dan bagus. Ia adalah satu-dua batang bambu yang ditata di pundak-pundak batu itu. Saling terhubung. Sampai disisi sana, di bibir dusun Silu. Ya, di dusun Silulah tempat sekolah Galih. Sebagai hanya penjual rujak, Yu Wage ingin Galih bernasib tidak sepedas rujak. Ia harus berhasil. Harus bisa sekolah tinggi di kota.

Selasa, 08 November 2011

Ketika Cinta Jatuh Cinta


JAM satu siang Cinta pulang dari sekolah. Ganti baju, mandi, makan lalu berangkat lagi. Sekalipun Ayah tahu, tetapi  ia menanyainya juga.

“Latihan lagi, Yah,” katanya.

Ayah tersenyum. Tentu ia belum pikun. Karena, naskah drama yang akan Cinta mainkan bulan depan itu memang hasil tulisan Ayah.

Cinta, Cinta...
Kalau ibunya masih ada, tentu ia juga akan bahagia. Cinta yang cantik, secantik ibunya. Tetapi Ayah sadar, walau kurang lengkap, hidupnya berdua bersama Cinta sampai sekarang cantik-cantik saja.

Ayah kembali masuk rumah ketika Cinta berangkat lagi. Ayah ingin meneruskan menulis. Tetapi beberapa saat didepan komputer, jari-jarinya tak juga menari diatas keyboard. Sekian menit  Ayah hanya diam. Diam? Oh tidak. Ayah sedang mengamati sebuah foto di meja kerjanya. Pandang mata Ayah menyorotkan kerinduan yang sangat.

Wanita dalam foto itu ibunya Cinta. Bunga namanya. Tetapi semakin memandangi, Ayah bukannya berbunga-bunga. Betul memang. Pada saat-saat tertentu Ayah sedih juga. Ayah, sekalipun lelaki, ia adalah manusia juga.

JAM empat sore Ayah gelisah. Mendung yang menggantung membuat Ayah makin resah. Cinta belum pulang. Padahal biasanya, jam segini sudah selesai latihan dramanya. Ketika gerimis mulai jatuh satu-satu, Ayah merogoh ponsel disaku.

Masih sambil berdiri diteras, Ayah menelepon Cinta. Ada nada tersambung, tapi tak juga diangkat. Sementara gerimis makin besar butirannya. Makin rapat pula jaraknya. Dalam keadaan begitu, Ayah mana yang tidak gelisah.

Sampai nada sambung terputus, Ayah masih belum terima. Ayah ulangi lagi menelepon Cinta. Ketika nada sambung kembali berdengung, Ayah lega. Diujung gang, Ayah melihat Cinta datang. Berlari kecil selincah gerimis. Berpayung merah muda. Tetapi, hei.., dia tidak sendiri. Dia sepayung berdua dengan seorang lelaki.

Ayah menunda geleng-geleng kepala melihat buah hatinya begitu. Sungguh, dalam beberapa detik Ayah terbang kemasa lalu. Mengenang Bunga. Yang selalu menjadi idola laki-laki. Cinta rupanya mewarisi nasib mendiang ibunya.

Cinta berjingkat menuju teras. Lelaki pengantar itu, Ayah melihat, sedang ragu-ragu. Antara ikut mampir atau terus pulang. Ayah melirik Cinta, mata gadis itu berbinar aneh. Tetapi Ayah tahu maknanya. Makanya Ayah lalu berkata, “Ajaklah mampir dulu. Hujan kan masih agak deras. Disini minum teh hangat dulu, sambil menunggu reda.”

Kembali Ayah melirik Cinta. Senyum buah hatinya itu girang bukan kepalang. Tetapi,

“Terima kasih, Om. Lain kali saja,” sopan sekali lelaki itu menolak. “Permisi, Om. Saya pulang dulu.”

Ayah mendengar Cinta menarik nafas dan menghembuskan dengan tenaga yang sama. Dan, sekali lagi, Ayah tahu apa artinya.

“Terima kasih ya, Vito,” kata Cinta.

Oh, lelaki sopan itu namanya Vito, batin Ayah.
Setelah Vito dan payung pink-nya tak terlihat di ujung gang, Ayah mendekap pundak Cinta. Ayah mengajak Cinta masuk rumah. Agar Cinta segera mengeringkan rambutnya yang sedikit basah kena tampias hujan.


SEKALIPUN senja dilumuri hujan, secangkir teh hangat  mampu sedikit mengurangi rasa dingin. Dan Cinta dengan penuh cinta membikinkan Ayah secangkir kehangatan itu. Setelah meletakkan teh hangat dimeja Ayah, Cinta membawa tehnya sendiri ke ruang tengah.

Ayah menghentikan menulisnya, dan menyusul Cinta keruang tengah.

“Novel Ayah sudah sampai mana?”

“Sudah selesai kemarin pagi. Ini sudah mulai mengedit,” jawab Ayah.

Cinta meletakkan cangkir teh hangat yang sedari tadi digengamnya, lalu menyusup ke dada Ayah. Ayah dan anak itu sedang saling menghangatkan. Dalam dekapan Ayah, Cinta merasa damai. Hal yang juga dirasa Ayah.

“Siapa nama temanmu tadi?”

Mendapat pertanyaan itu, perlahan Cinta bangkit dari dekapan Ayah.

“Kenapa, Yah?”

Oh, Ayah kaget. Kok ditanya malah nanya. Tetapi Ayah segera tersenyum. “Tidak apa-apa. Ayah cuma lupa namanya...”

“Vito, Yah.”

“Teman sekelas? Kok Ayah tidak pernah lihat sebelumnya.”

“Dia anak baru, Yah. Pindahan dari luar kota. Sekarang dia tinggal dirumah baru di belakang SPBU itu lo, Yah.”

Ayah tahu rumah baru itu. Rumah didepan rumah pak Gun guru bahasa yang juga tempat Cinta dan kawan-kawan latihan drama.

Selanjutnya,  dengan berbinar-binar Cinta bercerita tentang Vito. Kata Cinta, Vito itu pintar. Main drama juga jago. Main sepakbola dan basket juga bisa diandalkan.

Ayah mendengarkan dengan seksama cerita Cinta. Dari nada suara dan binar matanya, Ayah mengira Cinta sedang jatuh cinta.

“Kamu suka dia?”

Cinta tidak menjawab. Tetapi sorot mata itu Ayah tahu Cinta sedang mengiyakan.

“Kamu cinta dia?”

Kali ini Cinta tersenyum. Dan, sekali lagi, Ayah tahu apa arti senyum itu. Ayah mengacak lembut rambut Cinta. Lalu dengan sayang menjentik ujung hidung bidadarinya. “Untuk mencintai siapapun Ayah tak akan melarangmu, Cinta. Dan sepertinya, Vito itu anak yang baik.”

Mendengar itu Cinta kembali menyusup ke dada Ayah. Cinta merasa sangat beruntung memiliki Ayah yang baik sekali. Ayah yang sangat mengerti. Ayah, yang sungguh --dalam tiga tahun ini-- sebagai 'ibu' juga.

“Cinta, boleh Ayah meminta sesuatu darimu?”

Cinta mepaskan diri dari dada Ayah. Bersiap mendengar permintaan Ayah.

“Satu saja,” kata Ayah. “Jangan jatuh cinta saat ini.”

“Kenapa begitu, Yah?” tanya Cinta dalam rengekan manja.

Ayah meraih kepala Cinta dan memeluknya dengan sayang. Ayah membelai rambut Cinta dengan lembut. Dengan lembut pula Ayah lalu membisikkan alasan kenapa Cinta tidak boleh jatuh cinta dulu, “Karena kamu baru kelas lima...” *****