SEPERTI saran
seorang teman, sebisa mungkin aku menghindari untuk mengawali cerita ini dengan
menyebut matahari atau langit. Tetapi karena ia, temanku itu, selalu bilang
bahwa ibunya adalah seorang bidadari, mau tidak mau aku harus menyebut langit
sebagai asal dari ibunya. Bidadari, seperti pernah kubaca pada buku-buku
dongeng yang aku pinjam di perpustakaan saat SD dulu, bertempat tinggal di
khayangan.
Salah satu kisah yang samar-samar aku ingat adalah ketika
para bidadari turun ke bumi untuk mandi di sebuah sendang, ada seorang pemuda
yang diam-diam mencuri selendang milik salah satu bidadari. Dan, saat yang lain segera terbang
pulang ke khayangan sehabis mandi, satu di antara bidadari itu, kalau tidak
salah namanya Nawangwulan, tidak bisa terbang karena selendangnya hilang.
Pencuri selendang itu, yang kemudian menjadi suami dari bidadari itu, Joko
Tarub namanya. Tetapi, temanku itu bukan anak Joko Tarub.
Ayahnya bernama Gelam. Seorang tukang judi yang sekarang
sudah mendiang.
Sama seperti engkau, mula-mula aku menganggap temanku itu,
ohya namanya Rindang, adalah sedang mengigau ketika selalu menyebut kalau
ibunya adalah bidadari. Itu adalah sebuah pernyataan yang menjengkelkan. Sama
menjengkelkan ketika engkau mempunyai teman yang kemana pun ia berada selalu
memasukkan jari telunjuknya ke lubang hidung; ngupil. Atau teman lain yang
selalu (walau tidak sedang pilek) menarik napas sampai berbunyi ‘ngok’ di
hidungnya, lalu memaksa --dengan suara yang tak kalah menjijikkan-- entah ingus
entah dahak, untuk segera meloncat dari tenggorokannya. Dan, cuh!, ia
meludahkannya secara cuek tidak jauh dari tempatnya berada.
“Ibuku bidadari, ayahku tukang judi,” itu yang ia ucap kala
pertama kali aku bertanya tentang orangtuanya.
Tentu saja aku tertawa. Dan menganggap ia sedang berseloroh.
Engkau tahu, sebuah seloroh tidak seharusnya dilekatkan lama-lama dalam
ingatan. Tetapi tentang yang ia ucap tadi, aku buat sebagai sebuah
perkecualian. Namun demi agar aku tidak ikutan dibilang begini (menulis kata
barusan aku membuat tanda jari telunjuk yang kumiringkan tepat di jidat) oleh
teman-temanku yang lain, kubuat pengakuanku itu hanya kuketahui sendiri. Tak
pernah itu aku ungkap langsung kepada Rindang.
Keyakinan orang tak selalu sama, dan sekalipun aku akan
menceritakan yang aku yakini tentang kebenaran cerita asal-usul Rindang, sama
sekali aku tidak memaksa engkau untuk begitu saja menelan mentah-mentah
ceritaku ini.
“Malam itu,” begitu Rindang pernah mengawali ceritanya
kepadaku,” ada pertunjukan tayub di kampung ayahku.”
Pertunjukan itu digelar dalam rangka acara tahunan bersih
desa. Tetapi tahun itu, karena semua petani di desa sedang bernasib bagus
karena harga bawang yang baru mereka panen menjulang, disepakati acara bersih
desa mengundang grup tayub terbaik di
karesidenan.
Benar saja, tidak hanya gamelannya yang mengkilap kuning
keemasan, para penarinya pun cantik-cantik luar biasa. Bulan sedang purnama,
ditambah semua petani yang baru panen bawang tebal-tebal kantongnya, membuat
acara itu meriah sekali. Semua warga desa tumplek-bleg di lapangan depan balai
desa. Ratusan penjual makanan menggelar dagangan di pinggir lapangan. Agak
lebih ke pinggir, dibawah rimbun rumpun bambu, beberap arena permainan juga
digelar. Ada judi dadu, ada cap jie kie,
dan entah apa lagi.
Wajar sudah, di mana pun di desa itu ada hiburan, selalu ada
arena perjudian yang menyertainya. Dan di mana pun ada arena perjudian,
pastilah di situ ada Gelam. Lelaki bertubuh gempal berkulit legam dengan kumis
sekepal melintang di atas bibirnya yang hitam. Gelang akar melingkar di lengan,
cincin batu akik warna ungu dengan emban
emas putih bertengger di jari tengah tangan kanannya. Konon cincin itu
pemberian seorang dukun sakti agar ia selalu menang dalam berjudi.
Tetapi, seperti pepatah yang mengatakan tiada ceritanya
orang kaya dari hasil berjudi, Gelam pun sama. Sekali pun batu akik warna ungu
itu selalu ia kenakan, nasibnya di meja judi jarang sekali terang. Namun engkau
pasti tahu, orang yang sudah gila judi, seberapa kali pun ia kalah, tak akan
mudah membuatnya kapok.
Seperti halnya orang-orang waras berharap nasibnya berubah
lebih baik dengan cara bekerja, Gelam pun punya harapan menang besar di hari
lain. Kalah hari ini adalah kemenangan yang tertunda. Saat kalah, ia akan
pulang ke rumah mangambil modal lagi. Ia tuntun seekor sapi dari kandang, ia
jual dengan cepat memakai patokan harga yang asal lekas laku ke seorang kenalan
blantik sapi di desa Sembungan.
Orang tuanya tak henti-henti mengelus dada akan kelakuan
Gelam. Malam itu, malam ketika ada acara bersih desa di kampung itu, dalam dua
bulan terhitung ia sudah menjual tiga ekor sapi untuk modal berjudi. Pernah
ibunya mengingatkan agar ia berhenti berjudi dan bekerja membantu ayahnya
menggarap sawah untuk ditanami bawang, tetapi Gelam sungguh anak yang nyaris durhaka.
Ia bantah perkataan perempuan tua yang kulitnya sudah keriput itu.
Ayahnya, yang lebih pendiam ketimbang ibunya, punya cara
lain untuk agar Gelam mengubah perilakunya. Ia mendekati pakde Paidi yang
kondang sebagai dandan, mak comblang.
Tak terhitung lelaki atau perempuan yang tak juga menikah di desa ini,
mendapatkan jodoh lewat perantara si pakde Paidi.
Tetapi menghadapi Rindang, ia seperti baru belajar menjadi
mak-comblang. Gagal total. Baik lewat cara samar maupun cara terang benderang.
Kesimpulan pakde Paidi; otak Gelam sudah sedemikian gilanya kepada judi,
sehingga tak tersisa sedikitpun pikiran untuk menikah. Terakhir yang ia dengar,
diam-diam ia telah menggadaikan salah satu petak sawah milik orang tuanya.
oOo
Lewat dini hari, uang modal judinya habis. Tetapi kawannya,
yang sedang bernasib baik malam itu, membelikannya sebotol minuman. Dengan ikat
kepala tak beraturan, Gelam bangkit dari arena judi menuju kerumunan orang di
depan panggung tayub. Aneh, otaknya yang mendidih karena kalah judi seharga seekor sapi, langsung agak adem
melihat penari tayub yang cantik-cantik. Lebih-lebih ketika kemudian para
penari itu turun panggung dan mengajak para penonton ikutan menari.
Dan Gelam yang sedang bernasib buruk di meja judi, mempunyai
nasib bagus di arena tayub. Seorang penari, yang tercantik menurut penglihatan
matanya yang mulai terpengaruh tuak, mengalungkan selendang ke pundaknya;
mengajaknya menari bersama.
Gamelan terus ditabuh. Gelam sungguh menikmati malam itu
bersama seorang penari yang baru sekali itu dia kenali. Dalam gerakan yang
tetap menari, sesekali ia mendekatkan mulutke telinga penari itu, “Siapa
namamu?” tanyanya.
Sekarang ganti, penari itu, sambil terus bergerak mengikuti
irama, mendekatkan mulut ke telinga Gelam, “Namaku Gayatri.”
Menari lagi. Makin menjadi. Aneh, Gelam merasa ia bahagia
sekali malam itu. Lupa sudah akan kekalahan di meja judi. Subuh sebentar lagi
datang. Pertunjukan harus segera berakhir. Padahal Gelam masih ingin lebih lama
lagi menari bersama Gayatri. Seperti juga yang pernah engkau alami, ada hal-hal
yang memang sesuai dengan harapan. Betul, hasrat hati Gelam itu sedang tidak
bertepuk sebelah tangan. Sekalipun pertunjukan telah berhenti, ia mengajak
Gelam meneruskan menari di kamar ganti. Sebuah tarian penuh gelora. Sampai
terjadi sesuatu yang semestinya tidak terjadi.
Sejak itu, Gelam agak berubah perangainya. Ini wajar saja
sebenarnya. Bukankah orang yang sedang jatuh cinta selalu begitu? Pada titik
ini, benar yang dipikirkan Ayahnya, hanya perempuan yang dicintainya yang bisa
mengubah perilakunya.
Kemarin-kemarin, di mana pun ada pertunjukan tayub, Gelam
selalu hadir hanya untuk satu tujuan; berjudi. Sekarang berubah, ia juga
mencari Gayatri. Dari panggung satu ke panggung lainnya, tak juga ada.
Berminggu-minggu ada dendam rindu di dadanya. Sebagaimana judi, cinta memang
juga telah membuatnya gila.
Tak terbilang jumlah para penari tayup yang ditanya apakah
mengenal Gayatri, hanya gelengan kepala yang Gelam temui. Aneh, bahkan grup di
mana pernah Gayatri manggung di desanya, penari lainnya tak ada yang kenal
siapa Gayatri.
Enam bulan setelah mencari tiada hasil, ia kembali memiliki
satu fokus; berjudi. Habis sudah sapi milik orang tuanya, sawahnya pun tak
tersisa. Memikirkan anak satu-satunya yang begitu itu, ibunya menjadi
sakit-sakitan, tujuh bulan sejak acara bersih desa itu, ia berpulang. Ayahnya
menyusul empat puluh hari kemudian. Sekalipun begitu, Gelam tak juga tobat. Tak
kuat berjudi dengan modal besar, ia masih saja menyemai mimpi lewat jalan judi
togel.
Di tangan Gelam tak lagi ada batu akik warna ungu yang
terbukti sama sekali tidak bertuah. Ia larung barang sialan itu di dam desa
suatu malam, ketika ia akan semedi di bawah pohon trembesi tua tidak jauh dari
situ. Dalam judi togel, sebagaimana tetanggamu, Gelam lebih sering mengandalkan
petunjuk mimpi. Dan tidur di tempat angker di bawah pohon trembesi tua itu, ia
berharap akan mendapatkan wangsit nomor sip.
Otaknya saban hari dipenuhi angka-angka judi, tetapi ia sama
sekali lupa kalau malam ini genap sepuluh bulan sejak ia bertemu Gayatri.
Dasar Gelam, bukannya semedi melek di tempat itu, ia malah
tidur mendengkur berselimut sarung di atas lincak,
dipan bambu yang entah siapa yang membuatnya di situ. Suasana malam yang dingin
membuatnya tidur meringkuk seperti sedang mencium lutut.
Yang ia harap benar-benar datang. Ia bermimpi didatangi
Gayatri. Dengan baju dan selendang warna hijau, ia datang tidak sendiri. Ia
menggendong bayi laki-laki yang dibungkus selimut hangat. Bayi itu sedang
pulas dengan pipi montok sangat
menggemaskan.
“Ini anak kita, Kang,” kata Gayatri. “Sebagai ibu, aku
sungguh mencintainya. Tetapi di negeriku, aku tidak boleh merawat bayi
laki-laki. Maka, dengan berat hati aku serahkan anak kita ini kepadamu.
Rawatlah agar kelak ia menjadi lelaki yang mulia. Untuk biaya hidupnya, juga
untuk Sampeyan, ini aku tinggali sesuatu. Berhematlah agar cukup.” Gayatri
meletakkan bayi mungil itu di dekat Gelam dengan hati-hati. Matanya yang sembab
adalah mata setiap ibu yang tak tega meninggalkan anaknya. Tetapi baginya tiada
pilihan lain. Ia pergi melayang lagi dengan berurai air mata.
Tangis bayi membuat Gelam terjaga dari tidurnya. Ia nyaris
pingsan mendapati mimpinya yang nyata. Ia dekap bayi mungil yang kedinginan
itu. Ia tengadah mencari sosok Gayatri yang telah terbang tinggi. Bayangannya
pun tak tersisa. Matanya kemudian malah menatap buntalan kain warna putih yang
tergeletak di dekat tidurnya; astaga, isinya berbatang-batang emas!
Mulai hari itu Gelam benar-benar berubah. Sama seperti
suamimu, ketika ia telah menjadi Ayah ia akan berbeda dibanding saat belum
memiliki buah hati. Kalau suamimu itu masih saja berperilaku seperti orang
bujang, niscaya ia sungguh suami yang durhaka!
Tetapi, tidak sedikit orang yang malah menganggap Gelam
sudah gila. Kesana kemari membawa bayi laki-laki yang tidak diketahui
asal-usulnya, jelas cukup alasan bagi orang sedesa untuk menganggapnya telah
kehilangan ingatannya. Lebih-lebih ketika ia selalu bilang bahwa bayi yang
digendongnya itu adalah anaknya. Anak yang didapat dari seorang perempuan cantik
bernama Gayatri. “Ia seorang bidadari,” katanya selalu.
Jelas Gelam masih waras. Keputusannya pergi ke luar daerah
untuk menghindari julukan gila dari setiap orang adalah bukti bahwa ia tidak
segila yang dituduhkan orang. Sekaligus ia ingin membesarkan anaknya itu, yang
kemudian diberinya nama Rindang, supaya --sesuai pesan Gayatri-- agar menjadi
lelaki mulia. Dengan ditinggali sekian banyak batang emas, Gelam sama sekali
tidak kerepotan membiayai Rindang. Sekalipun ia sama sekali buta alif-ba-ta, ia masukkan Rindang ke
sekolah yang kental pendidikan agamanya. Melihat Rindang makin besar, tidak
bisa dimungkiri Gelam turut pula bahagia. Semakin besar Rindang, sebenarnya
semakin besar pula rindunya kepada Gayatri. Tetapi kemana mesti mencari? Di
langit ke berapakah ia tinggal?
Ketika Rindang umur tujuh belas, ketika Gelam tiada kuasa
menahan rindu terhadap Gayatri, ia membuat keputusan bulat; menyusul Gayatri ke
langit. Caranya; harus mati. Tiada jalan lain bagi Gelam untuk bertemu
perempuan istimewa itu selalin menemuinya di langit. Untuk ke langit, ia pikir,
matilah satu-satu jalan.
Maka, malam itu, ia tinggalkan selembar surat di kamar
Rindang. Semacam surat wasiat, juga pesan; agar Rindang berusaha menjadi lelaki
mulia. Untuk biaya hidup, masih ada beberapa batang emas murni pemberian
Gayatri yang ia letakkan di bawah tempat tidur. Gelam pergi selama-lamanya
lewat sayatan urat nadi di pergelangan tangan kanannya saat Rindang belum
pulang sekolah.
Sebagai anak, Rindang sungguh menyesalkan tindakan ayahnya.
Menyusul ibunya yang seorang bidadari itu memang langitlah tempatnya, tetapi
(sebagaimana pernah ia dengar dari guru agamanya) tempat bagi jiwa yang mati
karena bunuh diri di neraka lah tempatnya. Jelas sudah, tiada bakal ketemu.
Langit di atas, neraka di bawah.
oOo
Saat aku menceritakan tentang asal-usul Rindang ini
kepadamu, kami sudah lulus kuliah dan kebetulan bekerja pada media yang sama.
Ia reporter, aku fotografer. Seperti halnya engkau yang mempunyai keyakinan
hidup, keyakinan bahwa ibunya adalah bidadari tak pernah luntur dari hati
Rindang. Dan saat aku sudah mempunyai pacar seorang adik kelas saat kuliah
dulu, Rindang tetaplah belum tertarik kepada perempuan. Atau jangan-jangan,
karena berkeyakinan bahwa ibunya adalah bidadari, ia nanti juga harus mempunyai
pacar seorang perempuan yang secantik bidadari.
Aku pikir itu bukan tidak mungkin terjadi. Bukankah menilai
cantik dan tidak itu bisa pula dengan cara subjektif. Dan seperti halnya
engkau, ketika sedang jatuh cinta, perempuan yang bagi temanmu tidak terlalu
cantik, tetapi bagimu yang sedang kasmaran kepadanya, ia adalah tercantik
sedunia!
Setelah dua Minggu bersama Mas Pemred meliput Tour de France, ketika masuk kantor,
Rindang langsung menghampiriku saat aku sedang meletakkan tas kamera di meja.
Dua minggu tak bertemu, kudapati ada sorot lain di matanya. Kalau engkau
bersahabat sangat dekat dengan seseorang, hanya lewat matanya engkau akan tahu
apa yang ada di hatinya. Baik saat sedih, maupun saat ia jatuh cinta.
“Lihat ini,” katanya sambil menyalakan layar ponselnya.
Terlihat di situ ia sedang foto bareng seorang perempuan berwajah Eropa Timur.
“Namanya Rania,” Rindang menerangkan tanpa aku tanya.
“Rusia?”
“Kazakstan.”
“Hmm, secantik bidadari...” pujiku.
Hanya orang yang jatuh cinta yang juga bangga ketika kita
memuji orang yang istimewa di hatinya.
Rindang bercerita seminggu yang lalu berkenanalan dengannya,
saat meliput acara seni di Jakarta International Art. Entahlah, dari sekian penari balet, hanya
Rania yang baginya amat istimewa. Ada aura yang beda memancar darinya.
Dalam seminggu itu, ia menjadi amat dekat. Bermula dari
wawancara, berlanjut ke makan siang. Berlanjut ke jalan-jalan saat siang;
karena kalau malam Rania ada pertunjukan. Selanjutnya, “Sepertinya aku
menyukainya,” kata Rindang.
“Cinta?”
Rindang tersenyum. “Mudah-mudahan itu tahap berikutnya.”
Aku yang ganti tersenyum. Bila saatnya tiba, memang siapapun
akan jatuh cinta.
Malam ini Rindang mengajakku berkenalan dengan Rania. Benar
yang ia bilang, perempuan itu sungguh memesona. Rambutnya yang hitam-hitam
pirang, matanya yang menawan, dengan tubuh semampai nan anggun.
Baru setengah jam berkenalan, ia sudah terasa akrab
denganku. Dengan bahasa Inggris logat Kazakstan, kutimpali dengan bahasa
Inggisku yang medok beraksen Jawa. Heranku, Rindang yang malah agak pendiam.
Ada apa?
Ya, tadi siang memang Rindang sempat bilang kalau besok
Rania sudah mesti balik ke negaranya. Itu, sepertinya, yang terasa berat bagi
siapapun yang sedang kasmaran.
“Kenapa kau?” Rania bertanya kepada Rindang. “Sakit?”
“Aku takut mendengar jawabanmu.”
Rania tersenyum, aku yang malah tidak mengerti. Jawaban atas
apa? Oh, sepertinya, aku harus menjauh dari mereka. Tidak sopan mendengar
pembicaraan yang sifatnya pribadi. Namun saat aku mohon diri, “Engkau telah
tahu segala hal tentangku, maka, aku ingin engkau mendengar pula apa jawaban Rania atas cintaku,” setelah itu,
kulihat mata Rindang memohon izin pada Rania.
Aku masih saja merasa berada di tempat yang tak semestinya.
“Oke, tidak masalah kalau engkau yang menginginkannya,”
kulihat Rania menarik napas dalam.
Aku dan Rindang beberapa saat berada dalam menunggu kalimat
Rania berikutnya. Mungkin hanya setengah menit, tapi itu terasa lama sekali.
“Siapapun akan berat mengatakan ini,” kata Rania kemudian.
Kulirik Rindang yang makin gelisah. Kutaksir di otaknya
sedang membayangkan Rania di negerinya telah punya kekasih atau malah suami.
Tetapi, sebuah kenyataan harus diungkapkan. Apa pun itu.
“Sebenarnya aku ke sini atas petunjuk ibu,” Rania berkata
dengan intonasi tertata. “Dan benar kata ibu; kita akan bertemu. Tapi kita
hanya boleh saling cinta sebagai saudara, bukan kekasih.”
Seperti halnya aku, otak Rindang pun mungkin sedang tidak
ngeh dengan yang dikatakan Rania.
“Apakah ibumu seorang peramal?” lancang aku bertanya.
Dan syukurlah, ia tidak tersinggung atas pertanyaanku. Rania
malah tersenyum, lalu memandang Rindang, “Bukan, ibu kami adalah perempuan yang
sama, ia seorang bidadari...” *****
catatan: cerpen ini juga saya publish di www.ediwinarno1.wordpress.com
catatan: cerpen ini juga saya publish di www.ediwinarno1.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar