Rabu, 15 Mei 2013

Kotak Obat di Jok Motor

SEKARANG ini, menurut Sampeyan, kendaraan apa yang layak disebut raja jalan raya? Truk, bus, angkot? Menurut saya kok semua yang dibilang di atas barusan itu kurang tepat. Jawaban yang saya inginkan adalah R-2. Ya, sepeda motor!

Jangan dilihat bentuknya yang ramping. Tetapi tengoklah jumlahnya. Makin hari, sepertinya, makin dikuasai saja setiap jengkal jalan olehnya. Ia, di tangan pengendara yang ugal-ugalan, bisa memakan jatah lajur kendaraan lain sekalipun, sebenarnya, ia telah disediakan lajur tersendiri; lajur kiri.

Sekalipun merajai jalanan, ia secara risiko adalah yang paling rentan. Tiada bodi atau bemper yang bisa menahannya dari benturan bila terjadi kecelakaan. Sejauh ini, tiada pula pernah saya dengar, motor mahal sekalipun, ada kantung udara otomatis (ABS) yang mengembang bila tubrukan.

Melihat kenyataan bahwa anak seusia SMP belum boleh mngendarai motor bila ke sekolah, akan menimbulkan lonjakan jumlah motor baru di jalanan memasuki tahun ajaran baru nanti. Bagi orang tua yang mampu, adalah lazim membelikan motor anaknya begitu masuk SMA. Padahal, jumlah lulusan SMA tentu ribuan jumlahnya. Belum lagi pembeli motor baru di kalangan masyarakat umum. Yang karena ongkos angkutan umum tentu akan naik saat harga BBM naik (lagi) nanti, pastilah memilih menyisihkan uang demi bisa membayar uang muka agar bisa memiliki motor baru. Dengan motor sendiri, secara kalkulasi, tentu masih terasa ringan dibanding dengan kemana-mana harus naik angkot.

Setiap berangkat kerja, dan nyaris setiap hari merasakan betapa macetnya jalanan di jam berangkat (dan pulang), seringkali saya saya mendapati ribuan helm terlihat pating penthus di pandang dari belakang. Dengan rapatnya jarak antar pengendara R-2, bila sedikit saja terlibat senggolan, bisa berbeuntut celaka. Dan celaka itu makin serius bila si pengendara menggeber tunggangannya dengan kecepatan seenak udelnya.

Pagi tadi, saat berangkat kerja, di sebelum perlintasan KA di jalan Margorejo Indah, di pinggir jalan saya lihat ada seorang lelaki duduk di pinggir jalan dengan dengkul bundas, babras dan berdarah. Di dekatnya ada seorag polisi dan dua orang laki-laki lain. Entah siapa dua lelaki itu. Teman atau lawan dalam insiden kecelakaan kecil itu, saya tidak tahu.

Sebagaimana pengendara motor lain, saya hanya menoleh dan tidak menepi. Lagian, kalau ikut menepi dan merubung si celaka, saya mau apa? Tidak ada yang bisa saya perbuat untuknya. Dan bukan tidak mungkin hal itu malah bikin lalin makin macet saja.

Itu akan berbeda, misalnya, bila di jok motor saya tersedia obat merah dan perban. Dengan dua benda itu, tentu saya bisa menetesi dengkulnya yang babras itu dengan obat merah lalu membalutnya dengan perban sedemikian rupa.

Ini, membawa perlengkapan PPPK ini, sepertinya juga penting mengingat kecelakaan bisa menimpa siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Tentu kita tak berharap ada yang celaka, tetapi kalau ada, dan itu terjadi di dekat kita, paling tidak kita bisa melakukan tindakan yang manusiawi sebagai manusia. Dan bukankah seyogyanya berbuat baik kepada orang lain itu tak perlu menunggu menjadi caleg dulu? *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar