SEKARANG ini, menurut Sampeyan,
kendaraan apa yang layak disebut raja jalan raya? Truk, bus, angkot?
Menurut saya kok semua yang dibilang di atas barusan itu kurang
tepat. Jawaban yang saya inginkan adalah R-2. Ya, sepeda motor!
Jangan dilihat bentuknya yang ramping.
Tetapi tengoklah jumlahnya. Makin hari, sepertinya, makin dikuasai
saja setiap jengkal jalan olehnya. Ia, di tangan pengendara yang
ugal-ugalan, bisa memakan jatah lajur kendaraan lain sekalipun,
sebenarnya, ia telah disediakan lajur tersendiri; lajur kiri.
Sekalipun merajai jalanan, ia secara
risiko adalah yang paling rentan. Tiada bodi atau bemper yang bisa
menahannya dari benturan bila terjadi kecelakaan. Sejauh ini, tiada
pula pernah saya dengar, motor mahal sekalipun, ada kantung udara
otomatis (ABS) yang mengembang bila tubrukan.
Melihat kenyataan bahwa anak seusia SMP
belum boleh mngendarai motor bila ke sekolah, akan menimbulkan
lonjakan jumlah motor baru di jalanan memasuki tahun ajaran baru
nanti. Bagi orang tua yang mampu, adalah lazim membelikan motor
anaknya begitu masuk SMA. Padahal, jumlah lulusan SMA tentu ribuan
jumlahnya. Belum lagi pembeli motor baru di kalangan masyarakat umum.
Yang karena ongkos angkutan umum tentu akan naik saat harga BBM naik
(lagi) nanti, pastilah memilih menyisihkan uang demi bisa membayar
uang muka agar bisa memiliki motor baru. Dengan motor sendiri, secara
kalkulasi, tentu masih terasa ringan dibanding dengan kemana-mana
harus naik angkot.
Setiap berangkat kerja, dan nyaris
setiap hari merasakan betapa macetnya jalanan di jam berangkat (dan
pulang), seringkali saya saya mendapati ribuan helm terlihat pating
penthus di pandang dari belakang. Dengan rapatnya jarak antar
pengendara R-2, bila sedikit saja terlibat senggolan, bisa berbeuntut
celaka. Dan celaka itu makin serius bila si pengendara menggeber
tunggangannya dengan kecepatan seenak udelnya.
Pagi tadi, saat berangkat kerja, di
sebelum perlintasan KA di jalan Margorejo Indah, di pinggir jalan
saya lihat ada seorang lelaki duduk di pinggir jalan dengan dengkul
bundas, babras dan berdarah.
Di dekatnya ada seorag polisi dan dua orang laki-laki lain. Entah
siapa dua lelaki itu. Teman atau lawan dalam insiden kecelakaan kecil itu,
saya tidak tahu.
Sebagaimana pengendara motor lain, saya hanya menoleh dan tidak menepi. Lagian, kalau ikut menepi dan
merubung si celaka, saya mau apa? Tidak ada yang bisa saya perbuat
untuknya. Dan bukan tidak mungkin hal itu malah bikin lalin makin
macet saja.
Itu akan berbeda, misalnya, bila di
jok motor saya tersedia obat merah dan perban. Dengan dua benda itu,
tentu saya bisa menetesi dengkulnya yang babras itu dengan
obat merah lalu membalutnya dengan perban sedemikian rupa.
Ini, membawa perlengkapan PPPK ini,
sepertinya juga penting mengingat kecelakaan bisa menimpa siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Tentu kita tak berharap ada yang
celaka, tetapi kalau ada, dan itu terjadi di dekat kita, paling tidak kita
bisa melakukan tindakan yang manusiawi sebagai manusia. Dan bukankah
seyogyanya berbuat baik kepada orang lain itu tak perlu menunggu
menjadi caleg dulu? *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar