Jumat, 26 April 2013

Ada Cinta Dalam Rempeyek


DALAM pulang 'kampuang', seringkali saya tidak memberi kabar dulu. Bukan apa-apa. Termasuk bukan ingin mengejutkan orang tua yang sudah sekian waktu tidak saya sambangi. Bukan. Saya hanya tidak ingin membikin repot saja.

Dalam pulang itu, selain rindu kepada orang tua, ada pula rindu akan suasana desa. Termasuk, tentu saja, kangen kulinernya. Pernah, ketika pulang dulu, ibu ingin menyambut anak gantengnya ini (ekhm, ekhm...) dengan memasak istimewa. Kala itu beliau akan bikin opor ayam. Tentu saya larang. Di kota, nyaris saban hari saya makan daging ayam, sekalipun itu ayam potong. Di kampung saya akan dimasakkan ayam? Tidak, tidak. Sekalipun itu ayam kampung, dan sekalipun itu peliharaan Ibu dan Ayah sendiri.

Saya malah ingin menikmati masakan yang jarang sekali saya temui di kota; misalnya eseng-eseng genjer, atau tumis pakis, atau botok lempuyang, atau sayur lompong atau pecel kembang turi. Dimakan bareng nasi hangat, lengkap dengan ikan asin. Hmmm, mak nyus....

Entahlah, semakin sering memakan daging ayam, semakin ia terasa biasa. Padahal saat saya kecil dulu, makan daging ayam itu ruarrr biasa enaknya. Maklum, kalau Ayah tidak sedang ada undangan kenduri, tak bakalan lidah ini merasakan gurihnya daging ayam.

Dua minggu yang lalu saya pulang dengan rencana yang demikian; diam-diam. Saya hanya cerita kepada adik saya yang juga tinggal di Surabaya. Nahasnya, saat kakak saya yang tinggal di Bali menelepon, adik saya keprucut ngomong kalau saya akan mudik. Begitulah yang akhirnya terjadi, gethok tular. Ketika kakak saya yang di Bali itu menelepon tetangga depan rumah, ia bicara pula kalau saya akan pulang. Intinya, kabar kepulangan saya itu akhirnya sampai juga ke Ibu. 

Maka, yang terjadi ketika saya sampai rumah, ada kesibukan di dapur menyambut saya; Ibu bikin rempeyek kacang sedemikian banyak. Dan tak mungkin itu akan habis saya kunyah dalam kepulangan saya yang hanya menginap semalam. Jadi?

“Kalau kamu pulang besok, Ibu titip ini untuk anakmu dan anak adikmu. Ibu tahu mereka pada suka makan rempeyek,” kata ibu yang saya perhatikan kulitnya sudah semakin penuh wiru, keriput dimakan usia.

Sungguh, Ibu saya –sebagaimana Ibu Sampeyan—sangat menyayangi cucu-cucunya. Beliau sampai hapal betul apa saja kesukaan cucu-cucunya. Cinta untuk mereka itu bisa diwujudkan bermacam-macam. Dan kali ini Ibu saya mewujudkan cinta itu dalam bentuk rempeyek. Adakah yang salah? Tentu tidak. Tetapi masalahnya adalah; saya pulang ini naik motor. Yang tentu bisa mengakibatkan rempeyek yang dibikin spesial dengan ukuran lebar-lebar itu akan remuk redam dibawa menempuh perjalanan nyaris sepanjang 200 kilometer!

Begitulah kasih orang tua. Dan itu bukan sekali itu saja saya alami. Dulu pernah saya dikasih oleh-oleh ubi goreng saat akan pulang balik ke Surabaya. Sekalipun di kota mudah sekali saya membeli ubi goreng atau rempeyek, sepertinya kasih Ibu sangat sulit –kalau malah bisa dibilang tidak mungkin—didapatkan di tempat lain. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar